Oleh: Edi Sugianto, C.H. C.Ht.
Dzikir Menuju Musyahadah Sosial
Marilah kita bersama-sama muhasabah,
menghitung-hitung diri dan hati kita masing-masing, sudahkan keduanya kita tata
sedemikian rupa hingga menambah nilai ketakwaan kita kepada-Nya. Hati ini harus
selalu kita jaga, jangan sampai rusak terkena penyakit dan terjalar mala.
Karena penyakit hati susah nian diobati, namun demikian insyaalah mudah
dihindari. Dan bila terasa diri ini banyak dosa segeralah minta ampunan
kepada-Nya dengan memperbanyak zikir, agar kita menjadi suci kembali. Karena
Dia Allah adalah Tuhnan Maha Suci yang sangat menyukai kesucian. Maka hendaknya
kita senantiasa dalam kondisi suci baik suci bathin maupun bathin.
“ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat
kepadamu.”
(QS.
al-Baqarah ayat 152)
Ayat di atas mengingatkan kita bahwa dalam setiap tarikan nafas dan kesadaran manusia seyogyanya selalu menempatkan Allah sebagai pelabuhan terakhir. Berarti manusia dapat mengingat Allah di mana saja dan kapan saja selama ia masih berada di atas bumi-Nya. Kita pun sering melihat bermacam-macam ekspresi manusia dalam mengingat Allah; menangis, berdiam diri, menyanyi, menari, dan berkata-kata.
Dalam konteks ini umat Islam tidak pernah lepas dari tiga hal; “doa” (permintaan kepada Allah); “wirid” (bacaan tertentu untuk mendapatkan ‘aliran’ dari Allah); dan “zikir”, yaitu segala gerak gerik dan aktivitas yang berobsesi taqarrub kepada Allah. Termasuk juga zikir adalah melafadz kan kata-kata tertentu. Zikir sangat penting karena ia merupakan langkah pertama tapakan cinta kepada Allah.
Zikir merupakan bentuk komitmen dan kontinuitas untuk meninggalkan segala hal yang berbentuk kelupaan kepada Allah dan memasuki wilayah musyahadah (persaksian), mengalahkan rasa takut bersamaan dengan rasa kecintaan yang mendalam. Zikir dapat dimaknai juga dengan ‘berlindung kepada Allah.’ Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa zikir itu mengingat Allah yang dapat dilakukan dengan diam-diam atau bersuara.
Ma’asyiral muslimin, rahimakumullah
Zikir itu ada dua macam :
- Zikr bi al-lisan,
yaitu mengucapkan lafadz-lafadz (redaksi) yang dapat menggerakkan hati
untuk mengingat Allah. Zikir dengan pola ini dapat dilakukan pada
saat-saat tertentu dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di mesjid
pada saat selepas salat.
- Zikr bi al-qalb,
yaitu keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Zikir ini dapat
dilakukan di mana saja dan kapan saja. Jadi tidak ada pembatasan ruang dan
waktu. Pelaku sufi lebih mengistimewakan zikr bi al-qalb karena
implikasinya yang hakiki. Meskipun demikian, zakir (seseorang yang
berzikir) dapat mencapai kesempurnaan apabila ia mampu berzikir dengan
lisan sekaligus dengan hatinya.
Meskipun secara global terdapat dua
kutub zikir, namun dalam realitasnya terdapat tujuh jenis zikir :
- zikr bi al-lisan (pengucapan dan bersuara),
- zikr al-nafs (tanpa suara dan terdiri atas gerak dan
rasa di dalam),
- zikr al-qalb (perenungan hati),
- zikr al-ruh (tembus cahaya dan sifat-sifat
ilahiah),
- zikr al-sirr (penyingkapan rahasia ilahi),
- zikr al-khafy (penglihatan cahaya keindahan), dan
- zikr akhfa’ al-khafy (penglihatan realitas kebenaran
Yang Mutlak).
Yang tidak kalah pentingnya, para jama’ah muslimin yang
mulia, adalah bahwa zikir tidak menuntut seseorang untuk memahami konteks.
Zikir hanya memerlukan arahan seorang guru. Maka zikir yang efektif adalah
zikir yang diilhami dengan tepat oleh seorang guru ruhani dan selalu dalam
pantauannya. Hal ini secara sederhana dan praksis dapat kita saksikan dalam
ranah tradisi pesantren.
Di kalangan santri, zikrullah biasanya diawali dengan zikr bi al-lisan, yaitu mengucapkan redaksi tertentu secara khusyu’ (konsentrasi), istiqamah (kontinuitas) dan thuma’ninah (stabil). Mula-mula zikr bi al-lisan dilakukan sebagai bagian dari ritual keagamaan, misalnya mengucapkan lafadz “subhanallah al-adzim” sebanyak 21 kali, 40 kali, 150 kali, 300 kali bahkan lebih dari itu. Teori-teori zikir ini sudah tentu mengacu kepada ajaran sufi yang telah dipercaya otentisitasnya. Sehingga zikr bi al-lisan tidak hanya sebatas ritual, tapi tahapan yang memfokus. Sehingga pada tahap tertentu secara otomatis mewujud dalam rutinitas hati dimana hati dengan sendirinya tergerak menuju ke alam musyahadah.
Pada tahap awal pengucapan zikir memang terasa sebatas lisan. Meskipun demikian hal ini bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja seseorang perlu meningkatkan kualitas zikirnya hingga benar-benar mengantarkannya pada kondisi persaksian atas kesucian dan keagungan Allah. Kontinuitas zikir mampu membawa manusia pada satu tahapan dimana persaksian terhadap Allah memenuhi wilayah qalb (hati). Pada tahap ini zikir tidak lagi berada di wilayah kesadaran namun juga masuk dalam wilayah ketidaksadaran. Sehingga proses zikir pun berjalan di kala terjaga, tidur, pingsan, mati suri, bahkan sakaratul maut.
Sebagaimana di singgung di atas bahwa orientasi zikir adalah penataan qalb. Qalb memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena baik buruk aktivitas manusia sangat bergantung kepada kondisi qalb.
Konsepsi zikir di atas menunjukkan bahwa zikir merupakan pelatihan hati untuk ber musyahadah kepada Allah. Musyahadah berarti pengabaian manusia atas perilaku yang destruktif dan kemunculan obsesi untuk menjadi pribadi yang sempurna. Musyahadah inilah makna hidup yang telah lama menghilang dari kehidupan manusia sehingga manusia terperangkap ke dalam berbagai krisis; krisis sosial, krisis struktural dan krisis etika. Hilangnya musyahadah dari diri manusia beriringan dengan orientasi hidup yang serba materi. Maka kehidupan manusia tidak lagi berkualitas karena pengabaiannya atas makna dan nilai. Kerja keras hanya diukur seberapa besar produk yang dihasilkan dan seberapa lama waktu yang telah dihabiskan. Padahal kerja keras juga mencakup nilai seberapa besar manfaat produk yang dihasilkan bagi kehidupan dan seberapa lama produk itu memberi manfaat bagi kemanusiaan.
Di sinilah peran zikir, yaitu memacu manusia untuk bertindak berdasarkan pemanfaatan dan kemaslahatan. Ma’ruf al-Kharkhi, seorang sufi besar, mengatakan bahwa hidup yang hakiki adalah kepedulian terhadap hakikat dan berpaling dari kepalsuan. Bila demikian, segala rupa tindakan lahiriah membutuhkan kejujuran, profesionalitas, dan berorientasi kemaslahatan secara luas. Dalam konteks ini kita dapat memerhatikan pribadi-pribadi sempurna, seperti; Umar bin Abdul Azis—yang layak disebut sufi—adalah seorang pemimpin negara (khalifah) berkualitas yang berhasil menjadikan kekuasaannya lebih bermakna bagi kehidupan; Jabir bin Hayyan, sufi sekaligus ilmuwan; Fariduddin al-Atthar, sufi dan juga konglomerat. Artinya, bahwa kesufian seseorang tidak akan menghalangi aktivitas sehari-harinya sebagai manusia biasa yang butuh pada pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita kemanusiaan.
Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang ganjil sepanjang manusia mampu menjaga proporsionalitas antara ilmu, amal dan kebersihan hati (tazkiyah al-qalbi).
Di kalangan santri, zikrullah biasanya diawali dengan zikr bi al-lisan, yaitu mengucapkan redaksi tertentu secara khusyu’ (konsentrasi), istiqamah (kontinuitas) dan thuma’ninah (stabil). Mula-mula zikr bi al-lisan dilakukan sebagai bagian dari ritual keagamaan, misalnya mengucapkan lafadz “subhanallah al-adzim” sebanyak 21 kali, 40 kali, 150 kali, 300 kali bahkan lebih dari itu. Teori-teori zikir ini sudah tentu mengacu kepada ajaran sufi yang telah dipercaya otentisitasnya. Sehingga zikr bi al-lisan tidak hanya sebatas ritual, tapi tahapan yang memfokus. Sehingga pada tahap tertentu secara otomatis mewujud dalam rutinitas hati dimana hati dengan sendirinya tergerak menuju ke alam musyahadah.
Pada tahap awal pengucapan zikir memang terasa sebatas lisan. Meskipun demikian hal ini bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja seseorang perlu meningkatkan kualitas zikirnya hingga benar-benar mengantarkannya pada kondisi persaksian atas kesucian dan keagungan Allah. Kontinuitas zikir mampu membawa manusia pada satu tahapan dimana persaksian terhadap Allah memenuhi wilayah qalb (hati). Pada tahap ini zikir tidak lagi berada di wilayah kesadaran namun juga masuk dalam wilayah ketidaksadaran. Sehingga proses zikir pun berjalan di kala terjaga, tidur, pingsan, mati suri, bahkan sakaratul maut.
Sebagaimana di singgung di atas bahwa orientasi zikir adalah penataan qalb. Qalb memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena baik buruk aktivitas manusia sangat bergantung kepada kondisi qalb.
Konsepsi zikir di atas menunjukkan bahwa zikir merupakan pelatihan hati untuk ber musyahadah kepada Allah. Musyahadah berarti pengabaian manusia atas perilaku yang destruktif dan kemunculan obsesi untuk menjadi pribadi yang sempurna. Musyahadah inilah makna hidup yang telah lama menghilang dari kehidupan manusia sehingga manusia terperangkap ke dalam berbagai krisis; krisis sosial, krisis struktural dan krisis etika. Hilangnya musyahadah dari diri manusia beriringan dengan orientasi hidup yang serba materi. Maka kehidupan manusia tidak lagi berkualitas karena pengabaiannya atas makna dan nilai. Kerja keras hanya diukur seberapa besar produk yang dihasilkan dan seberapa lama waktu yang telah dihabiskan. Padahal kerja keras juga mencakup nilai seberapa besar manfaat produk yang dihasilkan bagi kehidupan dan seberapa lama produk itu memberi manfaat bagi kemanusiaan.
Di sinilah peran zikir, yaitu memacu manusia untuk bertindak berdasarkan pemanfaatan dan kemaslahatan. Ma’ruf al-Kharkhi, seorang sufi besar, mengatakan bahwa hidup yang hakiki adalah kepedulian terhadap hakikat dan berpaling dari kepalsuan. Bila demikian, segala rupa tindakan lahiriah membutuhkan kejujuran, profesionalitas, dan berorientasi kemaslahatan secara luas. Dalam konteks ini kita dapat memerhatikan pribadi-pribadi sempurna, seperti; Umar bin Abdul Azis—yang layak disebut sufi—adalah seorang pemimpin negara (khalifah) berkualitas yang berhasil menjadikan kekuasaannya lebih bermakna bagi kehidupan; Jabir bin Hayyan, sufi sekaligus ilmuwan; Fariduddin al-Atthar, sufi dan juga konglomerat. Artinya, bahwa kesufian seseorang tidak akan menghalangi aktivitas sehari-harinya sebagai manusia biasa yang butuh pada pemenuhan hidup dan perjuangan membangun cita-cita kemanusiaan.
Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang ganjil sepanjang manusia mampu menjaga proporsionalitas antara ilmu, amal dan kebersihan hati (tazkiyah al-qalbi).
Allah berfirman dalam Surah al-Hajj ayat 54,
”Agar
orang-orang yang diberi ilmu meyakini bahwasannya al-Quran itulah yang haq dari
Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanyadan sesungguhnya
Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang
lurus”.
Walhasil, bahwa zikir dapat membimbing seseorang untuk beraktivitas dengan hatinya. Zikir akan mempersembahkan hati manusia sebagai tempat suci di mana alam semesta menjelma sebagai bukti-bukti kehadiran Allah, kapan saja dan di mana saja. Wallahu A’lam bi al-sawab.