Rabu, 15 Februari 2012

Ahlus Sunnah wal Jama'ah (bagian pertama)

Istilah ini pertama kali muncul berdasarkan hadis Nabi tentang Iftiraq (perpecahan umat) :“umatku ini akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya akan masuk neraka kecuali satu saja. Para sahabat bertanya : “Siapa mereka itu wahai Rasulullah ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka itu yang mengikuti sunnahku dan jamaah para sahabatku pada hari ini”  (HR Tirmidzi dan Ath-Thabrani)

Ahlus Sunnah = mengikuti sunnah Nabi
Wal Jama’ah = dan jama’ah para sahabat, serta selalu bersatu dalam jama’ah kaum muslimin.

Bani Umayah pernah mengklaim sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah untuk propaganda kekuasaannya, karena kenyataannya mayoritas kaum muslimin bersatu dibawah kepemimpinan khalifah dari kalangan mereka. Propaganda itu untuk menyudutkan kelompok-kelompok yang menentang dan memberontak terhadap Khalifah, yaitu kelompok Syiah dan Khawarij.
Istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kemudian dipopulerkan oleh Imam Abu Hasan Asy’ari (260 H - 326 H) untuk memberi identitas kepada para pengikut theologi Asy’ariyah. Istilah itu untuk membedakan dengan kelompok Mu’tazilah dan berbagai aliran theologi sesat lainnya : Jabariyah, Qadariyah, Jahmiyah, Musyabibah, Mujasimah, Mu’atilah.

Pada perkembangan selanjutnya, Ahlus Sunnah Wal Jamah dikodifikasikan dengan lebih jelas oleh Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya Al Farq Bain Al Firaq (perbedaan diantara aliran-aliran), beliau merumuskan ada delapan kelompok yang termasuk golongan Ahlus Sunnah Waljamaah yaitu:

  1. Mutakallimin (ulama kalam/theologi) yaitu orang yang memahami secara pas masalah-masalah keesaan Tuhan, kenabian, hukum- hukum, janji dan ancaman, pahala dan ganjaran, syarat ijtihad, Imamah, dan pimpinan ummat, dengan mengikuti metodologi aliran as-Shifatiah (menetapkan sifat-sifat Tuhan) yang tidak terseret ke dalam faham antropomorfis (tasybih) dan ta’thil (meniadakan sifat2 Allah) serta bid’ah kaum Syi’ah, Khawarij dan sederet golongan bid’ah lainnya.
  2. Fuqaha (ulama fiqih) yaitu para Imam Mazhab Fiqh, baik dari ahlur ra’yi maupun ahlul Hadits, yang menganut aliran al-Shifatiah (menerima sifat2 Allah) dalam masalah teologi menyangkut Tuhan dan sifat-sifat yang azali, membersihkan diri dari faham Qadariah dan Mu’tazilah. Menetapkan adanya ru’yah (melihat Tuhan di hari kemudian), kebangkitan, pertanyaan kubur, telaga, jembatan, syafa’at dan pengampunan dosa selain syirik serta menetapkan kekekalan nikmat bagi ahli sorga dan kekelan siksa terhadap orang-orang kafir dalam neraka. Disamping itu, ia mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan tetap menghormati Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at di belakang para Imam yang tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan hukum dari Qur’an, hadits dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf (sejenis sepatu), jatuhnya
    thalaq tiga, mengharamkan mut=92ah, dan memandang wajib mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.
  3. Muhaditsin (ulama hadis) yaitu mereka yang ahli dalam melacak jalur-jalur Hadits dan Atsar dari Nabi, mampu membedakan antara yang shahih dan tidak, menguasai al-Jahr wat-Ta’dil (sebab-sebab kebaikan dan kelemahan seorang perawi Hadits) dan tidak terlibat dalam perilaku bid’ah yang sesat.
  4. Ahlul Lughot (ulama bahasa Arab) yaitu mereka yang ahli di bidang kesusasteraan, Nahwu Sharaf, dan mengikuti jejak pakar bahasa semisal al-Khalil, Abu Amr bin Al ‘Ala, Sibawaihi, al-Farra’, al-Akhfasy, al-Ashma’i, al-Muzany, Abu Ubaid dan sederet tokoh-tokoh lainnya dari Kufah dan Bashrah, yang tidak tercampur ilmunya dengan bid’ah kaum Qadariah atau Rafidah atau Khawarij.
  5. Mufassirin (ulama tafsir) yaitu mereka yang mengetahui aneka ragam qira’at Qur’an dan orientasi penafsirannya dan pena’wilannya sesuai dengan aliran Ahlussunnah waljama’ah tanpa terpengaruh kepada pena’wilan para pengikut hawa nafsu yang sesat.
  6. Mutasawwifin (ulama tasawuf) yaitu para Zuhad Sufi yang giat beramal dengan tulus ikhlas dan menyadari sepenuhnya bahwasanya baik pendengaran, penglihatan dan hati semuanya dipertanggungjawabkan di depan sang Khaliq yang takkan bisa lalai sebiji atom pun dari pandangannya. Olehnya itu, mereka giat beramal tanpa banyak bicara, konsisten dalam ketauhidan, menafikan tasybih serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
  7. Mujahidin yaitu mereka yang bertempat di pos-pos pertahanan kaum Muslimin untuk menjaga kemanan negara dari serangan musuh, menjaga kehormatan ummat Islam baik materil maupun moril dengan berupaya menumbuhkan di pos-pos pertahanan mereka aliran Ahlussunnah waljama’ah.
  8. Semua orang di semua negara yang di dalamnya dikuasai oleh syi’ar Ahlussunnah waljama’ah dan yang mengikuti ketujuh kelompok diatas.
Selanjutnya Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 429 H) dalam bukunya yang sama Al Farq Bain Al Firaq pada bab lima merumuskan 15 arkanul din (rukun/ pokok agama) bagi Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu dasar-dasar atau ushulnya ialah:

Rukun Yang Pertama,  

Yang disepakati dikalangan mereka rukun pertamanya mengithbatkan hakikat-hakikat dan ilmu-ilmu yang mereka ijma’kan tetapnya ilmu-ilmu itu dengan makna-makna yang ada pada para ulama dan dianggap sesat mereka yang menafikan ilmu dan lain-lain sifat (a’rad) seperti yang berlaku pada golongan “Sophists” (ini boleh terkena pada pemikiran pascamodernisme) yang menafikan ilmu dan hakikat-hakikat benda-benda yang ada. Demikian pula sesatnya mereka yang menganggap semua pegangan dan kepercayaan sebagai sah walau pun yang saling berlawanan dan bercanggahan. Ulama ahli Sunnah membahagikan ilmu manusia kepada yang bersifat badihiah, yang hissi, dan istidlali - mereka yang menafikan ilmu yang bersifat badihi dan hissi - melalui pengamatan pancaindera - sebagai golongan degil. Mereka yang menafikan ilmu dari tilikan akal (al-nazar) dan istidlali (dengan mengambil dalil pemikiran) , kalau ianya seperti golongan Sumniyah yang mengingkari penilikan akal dalam ilmu akliah ia kafir mulhid, seperti golongan dahriah atau materialist, yang berpegang kepada sediakalanya alam, penafian adanya Tuhan Pencipta alam, berserta dengan fahaman membatalkan semua agama-agama (dan ini juga menyentuh pemikiran pascamodernisme sekarang).

Kalau orang demikian berpegang kepada tilikan akal dalam ilmu akliah dan menolak kias dalam cawangan hukum Syara’ seperti mazhab Zahiriah, itu tidak membawa kepada kekufuran. Ahlis-Sunnah mengajarkan pancaindera yang mengesani perkara-perkara zahir yang boleh dikesani olehnya (al-mahsusat) ialah pemandangan mata bagi mengesani apa yang boleh dilihat, perasa yang mengesani seperti rasa makanan, penciuman bagi mengesani bau, sentuhan bagi mengesani panas dan sejuk, basah dan kering, sifat lembut dan kasar.       

Ahlis-Sunnah mengajarkan apa-apa yang dicapai melalui pancaindera ini berupa sebagai makna-makna (al-ma’ani) yang berdiri dengan alat-alat pancaindera itu. (Ilmu yang berpunca daripada pengesanan melalui pancaindera dan tilikan akal boleh diperpanjangkan dengan perlaksanaan kaedah saintifik, penyelidikan, dan pemikiran serta rumusan ilmu pengetahuan dan alat-alat kelengkapan yang diperlukan zaman sekarang sampailah kepada ICT dan seterusnya). Mereka mengajarkan bahawa khabar berita yang mutawatir - yang sampai melalui punca yang terlalu banyak yang tidak memungkinkan salahnya - adalah jalan ilmu yang daruri - tidak boleh tidak - yang sah bila cukup syarat-syaratnya pada mereka. Termasuk ke dalam contoh ini ialah pengetahun kita tentang para nabi dan raja-raja sebelum kita dalam sejarah. Adapun sahnya penegasan tentang pangkat kenabian para anbiya itu maka itu sah melalui hujah-hujah nazariah atau tilikan akal. Maka dikirakan kafir mereka yang mengingkari ilmu dari kaedah atau jalan riwayat mutawatir. Mereka memperincikan ciri-ciri riwayat yang mutawatir, yang mustafid, dan yang bersifat ahad, yang terakhir dengan periwayat seorang atau terlalu sedikit. Berita ahad pada Ahlis-Sunnah bila sahih sandarannya dan matannya tidak mustahil pada akal, maka mesti diamalkan ajarannya. Dengan kaedah ini para ulama fiqh mensabitkan kebanyakan hukum Syariat dalam ibadat, mu’amalat, dan lain-lain bab haram dan halal.
 
Mereka menganggap sesat golongan-golongan yang menggugurkan wajib beramal dengan riwayat ahad seperti golongan Syiah Rafidah, Khawarij, dan lain-lain golongan yang mengikut hawa nafsu mereka. Khabar mustafid adalah ditengah-tengah antara mutawatir dan ahad - mesti berilmu dengannya dan mesti beramal dengannya. Termasuk di bawah kaedah ini ialah ilmu tentang beberapa ma’jizat Nabi s.a.w. seperti terbelah bulan, bertasbihnya anak batu, meratapnya pelepah tamar, cukupnya makanan sedikit bagi orang ramai dan seterusnya.
Khabar mustafid banyak terdapat dalam hukum Syara’ seperti nisab zakat, had khamar, ilmu tentang menyapu dua kasut panjang, hukum rejam, dan yang sepertinya yang disepakati ulama fiqh tentang penerimaan terhadapnya; dianggap sesat mereka yang menyalahi mereka dalam hal ini seperti golongan Khawarij, yang mengingkari rejam. Dan dikirakan kafir mereka yang mengingkari ru’ya atau memandang Allah di Syurga, Kolam nabi di akhirat, syafa’ah dan azab kubur. Sabitnya Quran, zahirnya, dan mu’jizatnya yang menyebabkan ianya tidak boleh ditentang itu melalui riwayat mutawatir yang menjadikannya ilmu daruri. Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Allah mentaklifkan para hambaNya mencapai ma’rifat terhadapNya, dan mereka diwajibkan tentangnya, juga mereka disuruh berma’rifat dalam hubungan dengan RasulNya, dan KitabNya, serta beramal dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah nabiNya. Dianggap kafir mereka yang menegaskan bahawa Allah tidak menyuruh ma’rifat seseorang itu, seperti yang diperpegangi oleh Thumamah, dan al-Jahiz, dan segolongan daripada Syiah Rafidah.

Mereka bersepakat bahawa usul Hukum Syariat ialah Quran, Sunnah, dan Ijma’ golongan Salaf. Mereka anggap kafir pihak yang menegaskan - seperti golongan Syiah Rafidah - bahawa tidak ada hujah sekarang ini pada Quran dan Sunnah kerana pada dakwaan mereka para Sahabat telah mengubah sebahagian dari Quran itu dan melakukan “tahrif” pada setengah daripadanya. Mereka anggap kafir golongan Khawarij yang menolak semua hadith-hadith Sunan yang dinukilkan oleh para periwayatnya oleh kerana mereka mengatakan para penukil hadith itu - termasuk Sahabat - menjadi kafir.Mereka menganggap kafir al-Nazzam yang menolak hujah ijma’ dan hujah mutawatir, dan yang berpegang kepada harus berlakunya persepakatan umat Islam atas kesesatan dan kemungkinan berlaku pembohongan di kalangan mereka yang terlibat dalam riwayat yang mutawatir
Rukun Yang Kedua. 

Tentang baharunya alam ini, yang mereka sepakati ialah alam itu ialah sekelian yang selain dari Allah. Maka sekelian yang lain dari Allah dan sifat-sifatNya yang azali adalah makhluk yang diciptakanNya. Pencipta alam bukan makhluk, bukan dicipta, bukan dari jenis alam, bukan dari jenis sesuatu bahagian atau juzu’ alam. Mereka bersepakat alam ini terdiri dari zat dan sifat (jauhar dan ‘arad). Mereka mengajarkan tiap jauhar - iaitu atom - tidak boleh dibahagi (Sekarang ini ianya boleh dibahagi- proton, neutron, dan sebagainya, dengan entiti-entiti baharu seperti “quarks” dan seterusnya dalam fizik quantum). Mereka mengajarkan adanya para malaikat, jin, dan syaitan-syaitan daripada makhluk-makhluk dalam alam. Mereka aggapkan kafir mereka yang mengingkari ini semua seperti golongan ahli falsafah dan puak Batiniah. Mereka menganggapkan sesat golongan yang mengajarkan fahaman serba-dua (al-thanawiyah) iaitu jisim terdiri daripada nur atau cahaya, dan zulmah atau kegelapan; yang baik daripada nur, yang jahat daripada zulmah. Mereka bersepakat tentang baharunya ‘arad pada semua jisim-jisim, dan mereka menganggap tiap-tiap ‘arad itu baharu pada tempatnya ‘arad itu tidak berdiri sendirinya. Ahlis-Sunnah bersepakat tentang fananya seluruh alam ini dan mereka mengajarkan kekalnya syurga dan neraka, syurga dengan ni’matnya dan neraka dengan azabnya melalui jalan Syara’. Mereka menganggap kafir golongan Jahmiah yang mengajarkan syurga dan neraka itu binasa. Mereka menganggap kafir Abul-Hudhail yang berpendapat akan terputusnya ni’mat syurga dan azab neraka;

Rukun Yang Ketiga 

Berkenaan Dengan Pencipta Alam, semua peristiwa yang berlaku mesti ada yang melakukannya dan yang menjadikannya. Ahlis-Sunnah menganggap kafir Thumamah dan pengikutnya dari golongan Qadariah yang mengajarkan bahawa perbuatan-perbuatan itu timbul sendiri - al-mutawallidah - tanpa pembuatnya. Mereka mengajarkan Pencipta alam hanya menjadikan jisim-jism dan ‘arad sahaja, bukan perbuatan-perbuatan. Mereka menganggap kafir Ma’mar dan para pengikutnya dari golongan Qadariah yang mengajarkan Allah tidak menciptakan sesuatupun daripada ‘arad-‘arad yakni sifat-sifat yang ada pada jisim-jisim. Ia hanya menjadikan jisim-jisim sahaja. Jisim-jisimlah yang menjadikan ‘arad-‘arad sendirinya. Golongan pelampau atau ghulat dari kalangan Syiah Rafidah mengajarkan bahawa ‘Ali adalah jauhar makhluk, yang baharu dijadikan, kemudian ia menjadi Tuhan Pencipta Alam dengan meresap masuk - hulul - roh Tuhan ke dalamnya. Mereka ini mengajarkan Tuhan tidak ada kesudahan dan hadNya. Hasyim bin Hakam al-Rafidi mengajarkan Tuhan yang disembahnya tujuh jengkal dengan jengkalnya sendiri. Ahlis-Sunnah mengajarkan mustahil Tuhan itu ada rupa bentuk dan anggota, khilaf bagi golongan ghulat Rafidah dan para pengikut Daud al-Hawari yang mengajarkan bahawa Tuhan ada, mempunyai rupa bentuk seperti rupa manusia. Ahlis-Sunnah bersepakat mengajarkan bahawa Tuhan tidak dikandung ruang atau tempat, dan tidak berlalu atasNya perjalanan masa; ini berlawanan dengan pegangan kaum Syihamiyah dan Karramiyah yang mengajarkan bahawa Tuhan bersentuh dengan ‘Arasy.

Dinukilkan oleh Ahlis-Sunnah bahawa baginda ‘Ali rd menyataan bahawa Allah menjadikan ‘Arasy bagi menzahirkan QudratNya, bukan bagi menjadi tempat untuk ZatNya (izharan li-Qudratihi la makanan li Dhatihi). Katanya lagi: Telah ada Ia dan tiada tempat (bagiNya), dan Ia sekarang sebagaimana telah adaNya dahulu. Ahlis-Sunnah menafikan adanya kecelaan, kesahan, dan kesakitan pada Tuhan. Mereka menafikan gerak dan diam padaNya. Ini berlawanan dengan Syiah Rafidah yang mengajarkan bahawa tempatNya baharu menjadi daripada gerakNya. Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Allah Maha Kaya tidak memerlukan pertolongan makhlukNya, dan Ia tidak mendapat manafaat daripada makhlukNya untuk DiriNya, dan Ia tidak menolak kemudaratan dariNya melalui makhlukNya. Ini berlawanan dengan dakwaan para Majusi yang mengajarkan bahawa Allah menjadikan para malaikat untuk menolak kesakitan daripada Syaitan terhadapNya. Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Pencipta Alam adalah Esa. Ini berlawanan dengan Majusi yang mengajarkan ada dua yang kadim, iaitu Nur dan Zulmah. Ini juga berlawanan dengan Rafidah yang mengajarkan bahawa Allah menyerahkan tadbiran alam kepada ‘Ali, ialah Pencipta Yang Kedua (al-Khaliq al-Thani).

Rukun Yang Keempat 

Berkenaan Dengan Sifat-Sifat Allah: IlmuNya, QudratNya, HayatNya, IradatNya, Sama’Nya, BasarNya, dan KalamNya, yang semuanya Sifat-Sifat Yang Azali dan Kekal.
Mu’tazilah menafikan semua Sifat-Sifat Azali bagi Allah: mereka mengajarkan tidak ada bagi Allah sifat Qudrat, Ilmu, Hayat, Basar, dan tidak ada PencapaianNya bagi semua yang boleh didengar.Mereka mensabitkan bagiNya kalam yang baharu. Kata Ahlis-Sunnah: menafikan sifat bermakna menafikan apa yang disifatkan, sebagaimana menafikan perbuatan bermakna menafikan pembuat. Ahlis-Sunnah bersepakat Kuasa Allah berlaku atas semua yang ditakdirkan, dengan QudratNya yang satu. Dengan Qudrat yang satu berlaku semua yang ditakdirkan. Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Ilmu Allah adalah satu dengan Ilmu itulah Ia mengetahui semua maklumat secara terperinci tanpa pancaindera, cara badihiah, dan mengambil dalil.

Kaum Rafidah di kalangan Syiah mengajarkan Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum jadinya. Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Sifat Basar dan Sama’ Allah meliputi semua yang boleh dilihat dan didengar dan Allah berterusan melihat DiriNya dan Mendengar KalamNya.
Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Allah boleh dilihat oleh orang mukmin di akhirat. Mereka berpendapat harus melihatNya dalam tiap-tiap hal dan bagi tiap-tiap yang hidup melalui jalan akal. Dari mereka mengajarkan wajib orang mu’min melihatnya secara khusus di akhirat melalui jalan khabar dalam nas. Ini berlawanan dengan pendapat Qadariah dan Jahmiyah yang mengajarkan mustahil Ianya boleh dilihat. Ahlis-Sunnah bersepakat bahawa Kehendak Allah - Iradat dan Masyi’ahNya - tertakluk atas segala perkara. Mereka mengajarkan bahawa tidak ada yang berlaku dalam alam melainkan dengan KehendakNya, apa yang dikehendakiNya jadi, apa yang tidak dikehendakiNya, tidak jadi.

Golongan Qadariah Basrah berpendapat ada Allah kehendaki apa yang tidak menjadi, dan ada yang menjadi apa yang tidak dikehendakiNya. Ahlis-Sunnah bersepakat Hayat Tuhan tanpa roh dan makanan; dan semua arwah adalah makhluk. Ini berlawanan dengan Nasrani yang mendakwa sediakalanya bapa, anak dan roh (dalam tiga oknum mereka). Mereka bersepakat bahawa kalamullah adalah SifatNya yang azali, dan itu bukan makhluk, bukan baharu.

Rukun Yang Kelima 

Berkenaan Dengan Nama-Nama Allah, Nama-Nama Allah pada Ahlis-Sunnah adalah perkara tauqif, iaitu samaada ianya diambil daripada al-Quran atau Sunnah yang sahih atau ijma’ umat tentangnya; tidak dibolehkan qias tentangnya. Berlawanan dengan pihak seperti Mu’tazilah Basrah yang membolehkan qias. Al-Jubba’I misalnya menyesatkan bila ia memberi nama Muti’ (yang taat) kepada Allah melalui jalan qias kerana katanya Allah memberi kehendak hambaNya. Ahlis-Sunnah mengajarkan tentang adanya Sunnah yang menyebut nama Tuhyan sebanyak sembilan puluh sembilan, dan sesiapa yang membilang-bilangnya masuk syurga. Maksudnya bukan hanya menyebut dan membilang tetapi mempunyai ilmu tentangnya dan beriktikad tentang makna-maknanya. Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa Nama-Nama Tuhan ada tiga bahagian: sebahagian yang menunjukkan ZatNya, seperti al-Wahid (Yang Esa), al-Ghani (Yang Maha Kaya), al-Awwal (Yang Kadim tanpa permulaan), al-Akhir (Yang Kekal tanpa kesudahan), al-Jalil (Yang Maha Hebat), al-Jamil (Yang Maha Indah), dan lain-lain yang Ia berhak bersifat dengannya.

Sebahagian lagi yang memaksudkan Sifat-SifatNya yang azali yang bersekali dengan ZatNya seperti al-Hayy (Yang Maha Hidup), al-Qadir (Yang Maha Berkuasa), al-‘Alim (YangMaha Mengetahui), al-Murid (Yang Maha Berkehendak), as-Sami’ (Yang Maha Mendengar), al-Basir (Yang Maha Melihat), dan lain-lain Nama daripada Sifat-Sifat Yang berdiri dengan ZatNya. Sebahagian lagi Nama-Nama yang timbul daripada perbuatan-perbuatanNya seperti al-Khaliq (Yang menjadikan alam), ar-Razig (Yang Maha Mengurnia rezeki), al-‘Adil (Yang Maha Adil), dan yang sepertinya. Bagi golongan pascamodernis yang menolah naratif agung- akidah seperti ini dalam agama - dan golongan materialis, ini semua tertolak sebagai bahan-bahan tanpa makna yang tidak perlu diambil kira. Ini perlu diberi respons dan perlu dihadapi dengan berkesan).

Rukun Yang Keenam. 

Tentang Keadilan Ilahi dan Hikmat KebijaksanaanNya. Mereka mengajarkan bahawa Allah menjadikan jisim-jisim dan ‘arad-arad yang baiknya dan yang buruknya semua sekali (kalau sekarang boleh dikatakan Ia menjadikan semua atom-atom, neutron-neutron, proton, elektron, quark-quark, serta lain-lainnya seperti yang ada ini semua, samaada dalam bentuk gelombang atau zarrah, dengan sifat-sifatnya semua sekali). Bahawa Allah menjadikan usaha para hambaNya, tidak ada yang menjadikannya selain daripada Allah. Ini berlawanan dengan golongan Qadariah yang menegaskan Allah tidak menjadikan sesuatupun daripada usaha para hambaNya, dan berlawanan dengan golongan Jahmiyah yang mengajarkan bahawa hamba tidak melakukan usaha dan tidak berkuasa atas usaha mereka. Pada Ahlis-Sunnah sesiapa yang berpegang kepada ajaran bahawa para hamba menjadikan usaha mereka, ia Qadariyah, syirik dengan Tuhannya, kerana mendakwa para hamba menjadikan seperti Tuhan mennjadikan ‘arad-‘arad seperti gerak-gerak dan diam dalam ilmu dan iradat, kata-kata dan suara. Dan - mereka mengajarkan - sesiapa yang menegaskan bahawa hamba tidak ada upaya untuk berusaha, ia tidak melakukan amal, serta tidak melakukan usaha, maka ia Jabariyah. Sesiapa yang berpegang kepada ajaran bahawa hamba berusaha bagi amalnya dan Allah pencipta usahanya, maka ia Ahlis-Sunnah. Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa hidayah adalah dari Allah dari dua segi: iaitu segi menerangkan yang benar dan menyeru kepadanya, serta membentangkan hujah-hujah dan dalil untuknya. Dari segi in maka sah dinisbahkan hidayah kepada para Rasul a.s.s dan da’I kepada agama Allah kerana mereka memberi panduan yang benar kepada Allah. Ini penafsiran terhadap ayat yang bermaksud “Sesungguhnya tuan hamba menyeru kepada Jalan Yang Lurus” (Surah al-Shura: ayat 52). Segi keduanya: hidayah pertunjuk Allah terhadap para hambaNya dalam erti menjadikan bimbingan hidayat dalam hati para hamba sebagaimana yang ada dalam ayat yang bermaksud “Maka sesiapa yang Allah kehendaki untuk memberi hidayat kepadanya, ia membukakan dadanya bagi menerima agama Islam, dan sesiapa yang Ia kehendaki supaya dibiarkan dalam kesesatan Ia menjadikan dadanya sempit…” (Surah al-An’am: ayat 126). Hidayat dalam aspek ini hanya Allah sahaja yang berkuasa melakukannya.
Ahlis-Sunnah mengajarkan bahawa sesiapa yang mati maka itu kerana ajalnya, dan Allah Maha Kuasa untuk memanjangkan umurnya. Ahlis-Sunnah mengajar tentang rezeki iaitu sesiapa yang makan atau meminum sesuatu itu rezekinya, samaada halal atau haram, itu berlawanan dengan golongan Qadariah yang menegaskan bahawa manusia kadang-kadang makan apa yang bukan rezeki baginya.