Oleh: Abu Ahmad Said Yai
Artinya: “Maka tetaplah kamu
(pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah bertaubat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas!
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS Hûd: 112)
RINGKASAN TAFSÎR[1]
(Maka tetaplah kamu [pada jalan yang
benar]), yaitu ber-istiqâmah-lah
kamu, (sebagaimana diperintahkan kepadamu)
Di dalam kitab-Nya,
ber-‘aqîdah-lah yang benar, beramal solehlah dan tinggalkan kebatilan
tanpa menyimpang ke kiri ataupun ke kanan dan terus meneruslah dalam keadaan
seperti itu sampai kamu wafat. (dan [juga] orang yang telah bertaubat
bersama kamu), yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kaum mu’minin. Agar kalian mendapatkan balasan yang baik kelak di
hari penghisaban (yaumul-hisâb) dan hari pembalasan (yaumul-jazâ’).
(Dan janganlah kalian
melampaui batas!), yaitu berlebih-lebihan dari batas-batas yang telah
ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik di dalam ber-‘aqîdah
maupun beramal.
(Sesungguhnya Dia Maha melihat
apa yang kalian kerjakan)
dan Dia tidak akan pernah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan dan Maha
mengetahui segala sesuatu yang disembunyi-sembunyikan meskipun tidak tampak di
hadapan manusia.
Ayat apakah yang mengandung perintah
terberat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ayat di ataslah yang menurut Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat berat untuk dilaksanakan.
Ibnu ‘Abbâs radhiallahu ‘anhu
berkata:
Artinya: “Tidaklah ada satu ayat pun
yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini. Oleh karena itu, ketika beliau
ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada sahabatnya, ‘Yang telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan
surat-surat semisalnya.”[2]
Mengapa ayat tersebut dianggap
sangat berat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Karena pada ayat tersebut mengandung
perintah untuk ber-istiqâmah.
Sebenarnya seperti apakah istiqâmah
yang dimaksudkan, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa
sangat berat ketika mendapatkan perintah tersebut? Inilah yang menjadi bagian
pembahasan artikel ini, serta penulis menambahkannya dengan sebab-sebab agar
bisa ber-istiqâmah, cara termudah untuk ber-istiqâmah, hal-hal
yang dapat merusak dan menghalangi ke-istiqâmah-an serta keutamaan orang
yang ber-istiqâmah.
Pengertian istiqâmah
Para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan istiqâmah, di antara definisi mereka yang mereka sebutkan adalah
sebagai berikut:
- Abu Bakr Ash-Shiddîq ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allah dengan segala apapun.”[3]
- ‘Umar bin Al-Khaththâb radhiallahu ‘anhu: “Istiqâmah adalah lurus pada ketaatan/melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4]
- Abul-Qâsim Al-Qusyairi: “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5]
- An-Nawawi: “Lurus pada ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.” [6]
- Ibnu Rajab Al-Hanbali: “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, baik yang dzhâhir maupun yang bâthin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.” [7]
Hakikat istiqâmah
Dari definisi-definisi
(pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa hakikat istiqâmah
meliputi hal-hal berikut:
- Mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik
- Berjalan di atas kebenaran/agama yang haq.
- Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah, baik yang dzhâhir maupun yang bâthin.
- Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh.
- Teratur dalam mengerjakan ketaatan.
- Terus menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun ke kiri sampai ajal menjemput.
Sebab-sebab agar dapat ber-istiqâmah
Seseorang bisa ber-istiqâmah karena
sebab-sebab sebagai berikut:
- Taufîq dan hidâyah dari Allah subhanahu wa ta’ala
Inilah sebab yang paling utama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan
dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kesesatannya,
niscaya Allah akan menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit.”
(QS Al-An’âm: 125)
Oleh karena itu, sebisa mungkin kita
melakukan berbagai hal yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala agar
Allah memberikan taufîq dan hidâyahnya kepada kita.
- Doa
Allah mengabulkan doa para hambanya.
Oleh karena itu, jika kita ingin ber-istiqâmah, kita harus banyak
memohon kepada Allah agar bisa menjadi mustaqîm (orang yang ber-istiqâmah).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.”
(QS
Al-Baqarah: 186)
- Mengikuti manhaj ahlis-sunnah wal-jamâ’ah/golongan yang selamat
Niat ikhlash dan rajin beribadah
saja tidaklah cukup untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah
harus berjalan di jalan yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia
ber-istiqâmah pada kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya
ke dalam api neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengabarkan bahwa hanya ada satu kelompok yang senantiasa
tampak dengan kebenarannya, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
Artinya : ”Senantiasa ada sekelompok
orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang
tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudhârat kepada mereka
sampai datang perkara Allah dan mereka tetap dengan kebenarannya.”[8]
- Sering ber-muhâsabatun-nafs (mengintrospeksi diri)
Orang yang ingin ber-istiqâmah
harus sering ber-muhasabatun-nafs. Jika seseorang tidak
menyadari akan hakikat apa yang dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa,
maka dia tidak akan mau berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka
semakin banyak pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan
belumlah seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan
bertumpuk-tumpuk.
‘Umar radhiallahu ‘anhu
berkata:
Artinya: “Introspeksilah diri-diri
kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan amalan-amalan kalian (di hari hisab/perhitungan)!
Timbang-timbanglah diri kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan
amal)! Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang
nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari hisab).”[9]
- Mengerjakan perbuatan baik setelah mengerjakan perbuatan buruk
Salah satu sebab didatangkan ke-istiqâmah-an
adalah dengan mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang
baik. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat
dan mengembalikan harta curiannya itu, kemudian dia iringi dengan memperbanyak
sedekah. Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh
Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk.”
(QS Hûd: 114)
- Tidak meninggalkan amalan-amalan yang dulu biasa dikerjakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu
kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts
berikut:
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Abdullâh
bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu
seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian
dia meninggalkannya.”[10]
Perlu menjadi catatan, yang dituntut
dalam ber-istiqâmah bukanlah jumlah (kuantitas) amalan tersebut, tetapi
yang menjadi tuntutan adalah kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan,
meskipun amalan itu sedikit.
Cara termudah untuk mencapai ke-istiqâmah-an
Cara termudah untuk mencapai ke-istiqâmah-an
adalah dengan mujâhadatun-nafs (memaksa, melatih diri dan berjuang
sekuat tenaga). Ke-istiqâmah-an bukanlah sesuatu yang mudah diraih
seperti membalikkan tangan. Oleh karena itu, untuk bisa ber-mujâhadatun-nafs,
maka harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Harus bertekad untuk merubah diri (al-‘azm) dan ber-tawakkal kepada Allah
Tanpa tekad yang kuat ke-istiqâmah-an
tidak akan bisa dicapai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “…Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka ber-tawakkal-lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang ber-tawakkal kepada-Nya.”
(QS Ali ‘Imrân : 159)
- Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segala sesuatu
Salah satu cara menumbuhkan tekad
untuk ber-istiqâmah adalah dengan terus-menerus mencari sebab agar bisa
mencintai Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam di atas segala sesuatu. Ke-istiqâmah-an sangat erat
kaitannya dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Ada tiga hal yang apabila
ketiga hal tersebut berada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya
iman, yaitu: menjadikan kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi
kecintaannya kepada segala sesuatu selain keduanya, mencintai seseorang yang
dia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan membenci untuk kembali kepada
kekufuran sebagaimana kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api.”[11]
Dengan memiliki rasa cinta yang
seperti disebutkan di atas, maka seseorang akan terus berupaya memacu dirinya
untuk bisa ber-istiqâmah.
- Mengatur waktu dan aktivitas keseharian sebaik, sepadat dan seefektif mungkin
Seorang yang ingin ber-istiqâmah
harus benar-benar membuat jadwal kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap
bulan dan tiap tahun. Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih
diri untuk shalat malam (tahajjud), maka dia berusaha untuk tidur lebih awal
(tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya
untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.
Untuk kegiatan mingguan, contohnya:
dia menargetkan di dalam sepekan ada satu hari dimana ia harus menyempatkan
diri untuk berinfak kepada sekian orang, membantu orang lain dan tetangga.
Untuk kegiatan tahunan, contohnya:
dia membiasakan untuk dapat ber-i’tikâf di sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhân, sehingga dia pun telah merencanakan hari libur/cuti dari semua
aktivitasnya.
- Melaksanakan ibadah-ibadah sebaik mungkin seolah-olah ibadah tersebut adalah ibadah yang terakhir kali dan ajal akan menjemput
Orang yang ingin ber-istiqâmah
harus membiasakan dirinya ketika mengerjakan suatu ibadah tertentu, dia
membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan hidup lama lagi, sehingga ia akan
benar-benar bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meningkatkan kualitas
ibadahnya.
- Mengintrospeksi diri atas apa-apa terhadap amalan-amalan baik yang telah ditinggalkannya dan terhadap amalan-amalan buruk yang telah dikerjakannya.
Setelah memasang target-target
ibadah dan amalan-amalan, introspeksi diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini
dilakukan agar seseorang bisa memperbaiki dirinya.
- Turut andil dalam dakwah
Setelah Allah subhanahu wa
ta’ala menyebutkan keutamaan orang yang ber-istiqâmah di dalam surat
Fushshilat, sebagaimana penulis cantumkan pada akhir di akhir pembahasan. Allah
subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang berdakwah.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah
diri.’?”
(QS Fushshilat: 33)
Ini menunjukkan ada kaitan erat
antara ke-istiqâmah-an dengan berdakwah.
- Rela bersabar untuk melatih diri dan mengekang hawa nafsu selama bertahun-tahun
Untuk dapat ber-istiqâmah
tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa nasu kita dan terus ber-mujâhadah
selama bertahun-tahun. Muhammad bin Al-Munkadir berkata:
Artinya: Saya mengekang jiwaku
selama empat puluh tahun barulah saya bisa ber-istiqâmah. [12]
Hal-hal yang merusak dan menghalangi
keistiqamahan
- Setan
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
Artinya: “Iblis menjawab: ‘Karena
Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.’.” (QS Al-A’râf: 16)
- Hawa nafsu
- Lemahnya niat untuk berubah
- Masyarakat dan keluarga yang rusak dan Islam yang dianggap asing
Masyarakat dan keluarga yang
rusak/buruk dapat menghalangi seseorang untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang
yang ingin bertobat dan ingin ber-istiqâmah sering kali merasa tidak
enak jika menyelisihi masyarakat atau keluarganya yang rusak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengabarkan bahwa Islam di akhir zaman akan terlihat asing,
sebagaimana sabda beliau:
Artinya: “Islam muncul dalam keadaan
asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Oleh karena itu,
beruntunglah orang-orang yang terasingkan.”[13]
Dan juga sabdanya shallallahu
‘alaihi wa sallam:
Artinya: “Beruntunglah orang-orang
yang asing.” Beliau pun ditanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, ya
Rasulullah?” Beliau pun menjawab, “(Mereka adalah) orang-orang shâlih
di antara orang-orang jelek/rusak yang (jumlahnya) banyak. Orang yang
menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang mematuhinya.” [14]
Oleh karena itu, jika seseorang
ingin menjalankan Islam dan beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya
saja cadar, kaum salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan
di dalam Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar
dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan memakai
cadar. Pada zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang
awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya, sebagian
orang-orang yang di-ustâdz-kan/dikyaikan juga mengatakan hal yang
serupa.
- Zaman yang penuh fitnah yang berbeda dengan zaman salaf
Zaman yang kita jalani sekarang ini
sangat berbeda dengan zaman salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum muslimin akan
mendapatkan fitnah yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah
tersebutlah yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang
untuk ber-istiqâmah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
Artinya: “Akan datang kepada manusia
suatu zaman, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara
mereka seperti orang yang memegang bara api[15].”[16]
- Tidak adanya orang yang sering menasihati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam selalu memberi nasihat dan petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga
Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan di dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu
benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS Asy-Syura: 52)
Tidak adanya seorang penasihat di suatu
daerah maka itu adalah suatu musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi
seseorang untuk ber-istiqâmah. Oleh karena itu, penulis mengingatkan
kepada pembaca yang di wilayahnya tidak terdapat sang pemberi nasihat (baca: ustâdz),
untuk segera mendatangkan sang penasihat, berhijrah ke tempat yang di sana ada
sang penasihat atau dengan cara lain agar bisa selalu dinasihati.
- Banyak berkecimpung dengan urusan dunia
Banyak berkecimpung dengan urusan
dunia juga dapat menghalangi ke-istiqâmah-an.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Dan kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
(QS Ali ‘Imrân: 185)
- Teman yang jelek
Tidak diragukan bahwa teman yang
jelek sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah
teman yang baik dan soleh yang bisa mengajak kita untuk bisa ber-istiqâmah.
- Takut dikatakan sebagai orang yang soleh, alim, taat atau semisalnya
Ini juga dapat menghalangi seseorang
untuk ber-istiqamah, terutama orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi.
Akan tetapi, jika dia benar-benar mencintai Allah subhanahu wa ta’ala,
maka dia tidak akan menghiraukan hal tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya oleh seseorang tentang amalan seseorang yang
dilakukan dengan ikhlas dan tidak ingin mendapatkan pujian. Kemudian, dia pun
dipuji oleh orang-orang karena amalan tersebut.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
Artinya: “Itu adalah kabar gembira
yang disegerakan untuk seorang mukmin.”[17]
- Putus asa dengan rahmat dan pengampunan Allah sehingga tidak mau bertobat
Orang yang bergelimang dengan dosa,
biasanya terbesik di hatinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa
ber-istiqâmah, sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada
kebaikan yang pernah aku perbuat?”
Ketahuilah Allah subhanahu wa
ta’ala Maha Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
Artinya: “ (53)Katakanlah: “Hai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54)
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum
datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”
(QS Az-Zumar:
53-54)
Keutamaan orang yang beristiqâmah
Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah
sangat banyak sekali. Akan tetapi, secara umum keutamaan tersebut
tercantum pada tiga ayat berikut:
Artinya: “(30) Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka malaikat akan turun
kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa
sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan oleh
Allah kepadamu. (31) Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan
akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta. (32) Sebagai hidangan (bagimu) dari
(Rab) yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Fushshilat: 30-32)
Az-Zuhaili berkata, “…Oleh
Karena itu, agama adalah jalan untuk kebaikan manusia dan menjauhkannya dari
keburukan dan dosa. Al-Qur’an menganjurkan untuk ber- istiqâmah dan
menjanjikan balasan terbaik sebagaimana tercantum pada ayat-ayat berikut…”
(kemudian beliau menyebutkan ketiga ayat di atas-pen).[18]
Ibnul-Qayyim rahimahullah
berkata[19],
“…Oleh karena itu, agama (Islam) seluruhnya terkandung di dalam firman Allah[20]:
{ فَاسْتَقِمْ كَمَا
أُمِرْتَ } dan
firman-Nya[21]:
Sungguh besar bukan keutamaan orang
yang ber- istiqâmah?
Kesimpulan
- Ayat yang menurut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berat untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk ber-istiqâmah di dalam surat Hûd.
- Hakikat dari ke-istiqâmah-an meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran, menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir hayat.
- Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus mencari sebab-sebab ke-istiqâmah-an.
- Cara termudah untuk ber-istiqâmah adalah dengan ber-mujâhadatun-nafs
- Ada beberapa hal yang bisa merusak/menghalangi ke-istiqâmah-an seseorang. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang mu’min menjauhinya.
- Orang yang mencapai derajat ke-istiqâmah-an akan mendapat ganjaran yang sangat besar sebagaimana telah disebutkan.
Demikian. Mudahan Allah menjadikan
kita termasuk orang-orang yang bisa ber-istiqâmah sampai akhir ayat kita nanti.
Âmîn.
Daftar Pustaka
Al-Qur’ân dan Terjemahannya.
Madînah: Kompleks Percetakan Mushhaf Raja Fahd.
- Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
- Al-Jâmi’ li ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Mesir: Dârul-kutub Al-Mishriyah.
- Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj. Muhyiddin An-Nawawi. Beirut: Dârul-Ma’rifah.
- Az-Zuhd wa Ar-Raqâ’iq. ‘Abdullâh bin Al-Mubârak. Beirut: Dârul-Kutub Al-‘Ilmiyah.
- Az-Zuhd. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibâni. Beirut: Dârul-Kutub Al-‘Ilmiyah.
- Hilyatul-Auliyâ’ wa Thabaqatul-Ashfiyâ’. Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdillah Al-Ashbahâni. 1405. Beirut: Dârul-Kitâb Al-‘Arabi.
- Jâmi’ Al-‘Ulûm wal-Hikam. Ibnu Rajab Al-Hanbali. 1414 H/2003 M. Riyâdh: Dâr-Al-Muayyad.
- Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
- Mushannaf Abdir-Razzâq. Abdur-Razzâq bin Hammâm Ash-Shan’âni. 1403 H. Mushannaf Abdir-Razzâq. Beirut: Al-Maktab Al-Islâmi.
- Tafsîr Al-Qur’ân Al-’Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
- Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
- Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah dicantumkan di footnotes.
*Staf
Pengajar di Ma’had Tadrîbud-Dua’ât Al-Istiqomah dan SDIT Al-Istiqomah
Prabumulih, Sum-Sel.
[1]
Digabungkan dan diringkas dari buku-buku: Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm 4/534,
Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân hal. 390 dan Aisar At-Tafâsir 2/193.
[2]
Lihat Tafsîr AL-Qurthubi 9/107. Akhir perkataan Ibnu ‘Abbâs semisal dengan apa
yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3297 dan yang lainnya. Di-shahîh-kan
oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 955.
[3]
Lihat Jâmi’ Al-‘Ulûm wal-Hikam hal. 235.
[4]
Kitab Az-Zuhd milik Imam Ahmad hal. 115 dan Ma’âlimut-Tanzîl 4/203.
[5]
Lihat Syarh Shahîh Muslim milik An-Nawawi 1/199.
[6]
Lihat Syarh Shahih Muslim milik An-Nawawi 1/199.
[7]
Jâmi’ Al-‘Ulûm wal-Hikam hal.236.
[8]
HR Muslim no. 5059.
[9]
HR Ibnul-Mubârak di kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqâ’iq no. 307, Ibnu Abi
Syaibah di Al-Mushannaf no. 35600, Ahmad di kitab Az-Zuhd
no.639 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albâni menyatakan, “Hadîts ini
mauqûf.”. Jadi hadits ini benar datangnya dari ‘Umar radhiallâhu ‘anhu.
Lihat Silsilah Adh-Dha’îfah no. 1201.
[10]
HR Al-Bukhâri no. 1152.
[11]
HR Al-Bukhâri no. 16 dan Muslim 173.
[12]
Hilyatul-Auliyâ’ 3/147.
[13]
HR Muslim no. 389.
[14]
HR Ahmad no. 6650, dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth.
[15]
Maksudnya: di tengah malam yang sangat gelap tidak ada yang bisa dijadikan
sumber penerangan kecuali bara api. Apabila dia tidak memegangnya, maka dia
tidak bisa selamat di jalan yang penuh rintangan, seperti: jalan berduri atau
di pegunungan yang penuh dengan tebing. Apabila dia tidak berjalan, bahaya
masih juga mengancamnya, seperti: dia akan diserang binatang buas atau yang
lainnya. Sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali harus berjalan dengan membawa
bara api yang nanti akan melukai tangannya.
[16]
HR At-Tirmidzi no. 2260. Di-shahîh-kan oleh Syaikh
Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 957.
[17]
HR Muslim no. 6891.
[18]
At-Tafsîr Al-Wasîth III/2304
[19]
Lihat Tharîq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’âdatain hal. 73.
[20]
Yaitu ayat yang kita bahas ini.
[21]
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), tidak ada
ketakutan pada diri mereka dan tidak pula mereka bersedih.” (QS Al-Ahqâf: 13)