Sufi
Brilian
Sejauh
itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan
ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia
memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi
menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf
yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman,
seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan
pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al
Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin alGazali.
Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain
itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya.
Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin
Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf
dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan
Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam
praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak
pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan.
bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu
bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan
dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan
politik.
Setelah
karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di
pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen
dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta
perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg
dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan
Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut
mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa
tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri
yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w.
1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat
‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa
dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya
karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh
pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara.
Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-Iembaga pondok tradisional di
Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah
agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T.
Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada
sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum
tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam,
Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode
1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan
Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum
kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia
mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren.
Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul
tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang
dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren
terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.
Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.
Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekhpara pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.
Dalam
bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana
penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide
penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan
tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua
pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan
pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.
Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua
arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah
mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan
emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.