Pengantar Umum
“Ulama
Besar Indonesia: Biografi dan Karyanya” yang ditulis oleh Muhammad Ulul
Fahmi (Patebon-Kendal: Jawa Timur, 2007). Buku yang diterbitkan oleh Pondok
Pesantren Al-Itqon dan diberi kata pengantar oleh KH. Kafabihi Mahrus, Pengasuh
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, ini amat penting untuk dibaca.
Di dalamnya penulis menjelaskan 23
ulama besar Indonesia:
(1) Syekh Nawawi Al-Bantani (dari
Banten);
(2) Syekh Kholil Al-Bankalani (dari
Bankalan);
(3) Syekh Mahfudz At-Turmusi (dari
Termas);
(4) Syekh Ihsan Jampes (dari
Kediri);
(5) Syekh Hasyim Asy`ari (dari
Jombang);
(6) KH. Bisri Musthofa (dari
Rembang);
(7) Syekh Yasin Al-Fadani (dari
Padang);
(8) Syekh Ahmad Rifa`iy (dari
Kendal, Jawa Tengah);
(9) Syekh Muslih Mranggen (dari
Demak, Jawa Tengah);
(10) Ronggo Warsito (dari Tegal
Sari, Ponorog-Jawa Timur);
(11) Hamzah Al-Fansuri (dari Fansur,
Sibolga-Sumatera Utara);
(12) Syekh Ahmad Khotib
Al-Minangkabaui (dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat);
(13) Habib Usman ibn Yahya (dari
Pekojan, Jakarta);
(14 )Syamsuddin As-Sumaterani (dari
Pasai, Aceh);
(15) Nuruddin Ar-Raniri (dari Ranir,
dekat Gujarat);
(16) Abdur Ra’uf As-Sinkili (dari
Fansur, sebelah Barat Laut Aceh);
(17) Yusuf Al-Makassari (dari Goa,
Sulawesi Selatan);
(18) Syekh Abdushamad Al-Falimbani
(dari Palembang);
(19) Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari (dari Kalimantan Selatan);
(20) Husain Muhammad Nasir
Al-Mas’udi Al-Banjari (dari Martapura, Banjarmasin);
(21) Muhammad Nafis Al-Banjari (dari
Martapura);
(22) KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz
(dari Pati, Jawa Tengah);
(23) KH. Achmad Abdul Hamid (dari
Kendal, Semarang).
Di samping 23 ulama besar di atas,
penulis juga mencantumkan beberapa ulama kreatif, yakni:
(1) KH. Bisri Musthofa;
(2) Mbah Soleh Darat yang hidup
sezaman dengan Syekh Nawawi;
(3) Kiai Abul Fadhal ibn Abdus
Syukur;
(4) KH. Ali Ma’sum (PP Al-Munawwir,
Kerapyak-Yogyakarta);
(5) KH. Muslih Abdurrahman;
(6) KH. Misbah Musthofa; dan
(7) KH. Sahal Aziz Masyhuri.
Walaupun bukunya kecil dan tipis,
tapi sarat dengan informasi dan peta keilmuan para ulama kita. Tapi sangat
disayangkan, sang penulis tidak mencantumkan nama Buya Hamka. Padahal, Buya
Hamka adalah ulama terkenal yang sangat disegani. Berikutnya adalah M. Natsir.
Aku tidak tahu jelas apa alasan penulis untuk tidak mencantumkan dua nama besar
itu. Padahal, andilnya dalam keilmuan Islam sangat diakui secara internasional.
Ala kulli
hal, buku ini penting untuk dimiliki dan ditelaah. Apalagi
sebagian besar ulama kita itu banyak yang menjadi “syekh” dan mengajar di
Masjidil Haram, Mekah Al-Mukarramah. Bahkan, buku ini juga menginformasikan
bahwa masih ada 7.000 manuskrip karya ulama kita itu yang masih tersimpan di
Perpustakaan Masjidil Haram. Sayang sekali dalam Buku tersebut
tidak memuat Ulama Besar Tuan Guru Muhammad Zaini Ghani Al Banjari sebagai
Pemimpin Ulama, namun demikian kita berikan apresiasi yang baik dan respek yg
tinggi atas terbitnya buku tersebut.