Pengenalan
Abu Dzar al-Ghiffari ra. sebelum
memeluk Islam adalah seorang perampok para kabilah di padang pasir, berasal
dari suku Ghiffar yang terkenal dengan sebutan binatang buas malam dan hantu
kegelapan. Hanya dengan hidayah Allah akhirnya ia memeluk Islam (dalam urutan
kelima atau keenam), dan lewat dakwahnya pula seluruh penduduk suku Ghiffar dan
sukutetangganya, suku Aslam mengikutinya memeluk Islam.
Disamping sifatnya yang radikal dan
revolusioner, Abu Dzar ternyata seorang yang zuhud (meninggalkan kesenangan
dunia dan mengecilkan nilai dunia dibanding akhirat), berta’wa dan wara’
(sangat hati-hati dan teliti). Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak ada di
dunia ini orang yang lebih jujur ucapannya daripada Abu Dzar”, dikali lain
beliau SAWbersabda, “Abu Dzar — diantara umatku — memiliki sifat zuhud seperti
Isa ibn Maryam”.
Abu Dzar yang terkenal sebagai salah seorang daripada empat
‘tiang’ kelompok Ali bin Abi Thalib adalah suatu ‘tanda bermakna’ tentang
seorang Muslim yang komited, tegar, revolusioner, yang menyampaikan pesan
persamaan, persaudaraan, keadilan dan pembebasan. Ali Shari’ati, seorang tokoh
sosiolog-politikus dunia Islam, dalam salah satu tulisannya dengan bangga
mengatakan bahawa “Abu Dzar adalah leluhur segenap mahzab egaliter
pasca-revolusi Perancis”.
Abu Dzar berasal dari dari suku Ghiffar yang tinggal di
daerah yang dilalui oleh kafilah-kafilah dagang. Sebelum Islam, dia adalah
pemuka perompak Ghifari. Tetapi berbeza dengan perompak-perompak lain, etika
Abu Dzar dalam merompak mirip lagenda Robin Hood dalam masyarakat Inggeris. Dia
hanya merompak pengusaha-pengusaha multinasional yang kaya, yang kemudian hasil
rompakannya dibahagikan kepada orang-orang miskin.
Ketika Anis, saudaranya pulang dari Makkah, dia melapor
bahawa: “Aku bertemu dengan seorang Nabi yang menganut agama seperti kamu”.
Maka berangkatlah Abu Dzar ke Makkah dan dia beriman melalui Saidina Ali. Dia
berbai’ah kepada Nabi: “Aku berjanji akan mengatakan kebenaran walaupun pahit”.
Sumpah Abu Dzar: “Aku berjanji akan mengatakan kebenaran
walaupun pahit” adalah bukan sekadar sumpah di mulut saja. Sumpah Abu Dzar
tidaklah sama dengan janji-janji para politikus yang kadang-kala hanya
digunakan untuk tujuan politik untuk mencapai kekuasaan. Sumpah Abu Dzar juga
lain dengan suara pemimpin mahasiswa yang kadang-kala diucapkan hanya sebagai
simbol untuk melegitimasi ‘agenda’ mahasiswa sebagai ‘agent of change’. Sumpah
seorang Abu Dzar adalah sumpah seorang penganut ideologi yang bersedia untuk
syahid demi tertegaknya kebenaran. Abu Nu’aim menceritakan peribadi Abu Dzar
dengan puitis:
Khadimar Rasul, wata’allamal ushul, wa nabad zal fudhul
(Dia mengabdi kepada Rasul mulia, belajar dasar-dasar agama, dan melemparkan kemegahan dunia)
Pernah suatu hari Abu Dzar berkata di hadapan banyak orang,
“
Ada tujuh wasiat Rasulullah SAW yang selalu kupegang teguh:
Ada tujuh wasiat Rasulullah SAW yang selalu kupegang teguh:
- Aku disuruhnya agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri dengan mereka.
- Dalam hal harta, aku disuruhnya memandang ke bawah dan tidak ke atas (pemilik harta dan kekuasaan)).
- Aku disuruhnya agar tidak meminta pertolongan dari orang lain.
- Aku disuruhnya mengatakan hal yang benar seberapa besarpun resikonya.
- Aku disuruhnya agar tidak pernah takut membela agama Allah.
- Dan aku disuruhnya agar memperbanyak menyebut ‘La Haula Walaa Quwwata Illa Billah’. “
- Dipinggangnya selalu tersandang pedang yang sangat tajam yang digunakannya untuk menebas musuh-musuh Islam. Ketika Rasulullah bersabda padanya, “Maukah kamu kutunjukkan yang lebih baik dari pedangmu? (Yaitu) : Bersabarlah hingga kamu bertemu denganku (di akhirat)”, maka sejak itu: Ia mengganti pedangnya dengan lidahnya yang ternyata lebih tajam dari pedangnya.
Dengan lidahnya ia berteriak di jalanan, lembah, padang
pasir dan sudut kota menyampaikan protesnya kepada para penguasa yang rajin
menumpuk harta di masa kekhalifahan Ustman bin Affan. Setiap kali turun ke jalan, keliling kota, ratusan orang mengikuti di belakangnya, dan ikut meneriakkan
kata-katanya yang menjadi panji yang sangat terkenal dan sering diulang-ulang,
“Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka
akan diseterika dengan api neraka, kening dan pinggang mereka akan diseterika
dihari kiamat!”
Teriakan-teriakannya telah menggetarkan seluruh penguasa di
jazirah Arab. Ketika para penguasa saat itu melarangnya, dengan lantang ia
berkata, “Demi Allah yang nyawaku berada dalam genggaman-Nya! Sekiranya
tuan-tuan sekalian menaruh pedang diatas pundakku, sedang mulutku
masih sempat menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar darinya,
pastilah akan kusampaikan sebelum tuan-tuan menebas batang leherku”
Di Zaman Ke Khalifahan Ustman bin Affan
Sepak terjangnya menyebabkan penguasa tertinggi saat itu
Ustman bin Affan turun tangan untuk menengahi. Ustman bin Affan menawarkan
tempat tinggal dan berbagai kenikmatan, tapi Abu Dzar yang zuhud berkata, “aku
tidak butuh dunia kalian!”.
Pada zaman Utsman, dia melihat sebahagian dari ruling elite Jahiliyyah tampil
kembali. Marwan bin Al-Hakam, yang pernah diusir Nabi SAW dari Madinah, menjadi
Setiausaha Negara. Muawiyah, putra Abu Sufyan, menjadi gabenor di Syria.
Sementara itu, kekayaan hanya dibahagikan kepada keluarga penguasa. Al-Walid
bin Uqbah, yang disebut fasiq dalam Al-Qur’an diberi 100,000 dirham. Mahzur,
pusat perdagangan yang dahulunya milik bersama, sekarang diserahkan kepada satu
tangan saja, yakni Marwan bin Al-Hakam. Ladang rumput yang dahulunya boleh
dimasuki oleh ternakan siapapun sekarang dimonopoli oleh Bani Umayyah.
Di Syria dilihatnya juga bahawa Muawiyah telah menjadi majikan kepada harta baitulmal dan juga atas kehidupan dan milikan rakyat. Dia melihat Muawiyah menghambur-hamburkan harta baitulmal, melesapkan bantuan untuk kaum Muslimin dan membunuh orang sesukanya.
Di Syria dilihatnya juga bahawa Muawiyah telah menjadi majikan kepada harta baitulmal dan juga atas kehidupan dan milikan rakyat. Dia melihat Muawiyah menghambur-hamburkan harta baitulmal, melesapkan bantuan untuk kaum Muslimin dan membunuh orang sesukanya.
Sementara itu di sisi lain dia melihat bahawa rakyat dan
para pejuang zaman Rasulullah hidup dengan sengsara. “Sampai ada salah seorang
di antara mereka yang bergolok-gadai, hanya sekadar untuk membeli beberapa
potong roti…” tulis Al-Husaini dalam bukunya, Imam Al-Muhtadin.
Semua ini membuatkan Abu Dzar marah. Dia kemudian teringat
akan pesanan Nabi SAW: “Hai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu apabila berjumpa
dengan penguasa yang mengambil ufti untuk dirinya dari kedudukannya?”. “Demi
Allah yang mengutus anda ya Rasulullah, akan aku tebas mereka dengan pedangku”,
kata Abu Dzar. Nabi SAW memberi nasihat, “Aku tunjukkan cara yang lebih baik.
Bersabarlah sampai engkau berjumpa denganku”. Bagi Abu Dzar, bersabar adalah
bukan bererti diam. Kerana bagi Abu Dzar kebenaran yang bisu adalah bukan
kebenaran. Baginya kebenaran adalah mengatakan sesuatu yang hak dengan
terus-terang dan menentang yang batil.
Mengingatkan wasiat Nabi di atas, Abu Dzar bangkit dengan
tidak menghunus pedang, tetapi dengan menyampaikan kontrol sosial. Abu Dzar
meminta kepada orang yang berkuasa untuk berlaku adil terhadap rakyat miskin
yang telah kehilangan hak-haknya. Dia juga mendorong masyarakat untuk merebut
hak mereka dan membanteras kemiskinan yang mendekatkan diri kepada kekufuran.
Dia juga melakukan demonstrasi-demonstrasi dan tunjuk perasaan menentang
kezaliman penguasa.
Ketika melihat Abu Darda sedang membangunkan rumah mewah,
Abu Dzar memperingatkan, “Engkau angkut batu-batu di atas tengkuk orang lain”.
Kemudian pernah suatu hari, Abu Dzar hadir di majlis khalifah. Khalifah
bertanya: “Setelah menyerahkan zakat, apakah masih ada kewajiban lain?”. Kata
Kaab: “Tidak, cukuplah dengan zakat itu.” Abu Dzar kemudian memukul dada Kaab:
“Engkau dusta, hai anak Yahudi. Allah berfirman: Bukanlah kebaikan itu
menghadapkan wajahmu ke Barat atau ke Timur. Kebaikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari akhir, para malaikat, kitab, dan para nabi. Memberikan harta yang
dicintainya kepada keluarga dekat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, para
peminta, para tawanan,…”. (Al-Baqarah 177).
Ketika khalifah bertanya bolehkah khalifah menggunakan harta kaum muslimin sekehendaknya, Kaab menjawab boleh. Abu Dzar marah dan kemudian memukulkan tongkatnya ke dada Kaab. Dia akhirnya diperintahkan pergi meninggalkan Madinah, dan diusir ke Syria.
Ketika khalifah bertanya bolehkah khalifah menggunakan harta kaum muslimin sekehendaknya, Kaab menjawab boleh. Abu Dzar marah dan kemudian memukulkan tongkatnya ke dada Kaab. Dia akhirnya diperintahkan pergi meninggalkan Madinah, dan diusir ke Syria.
Di Syria ketika Muawiyah membangunkan istana megah
Al-Khadhra, Abu Dzar setiap hari berteriak di depan pintu gerbangnya: “Orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah,
khabarkan kepada mereka seksaan yang pedih. Kemudian kepada Muawiyah, dia
berkata: “Kalau rumah ini engkau bangunkan dengan hartamu sendiri, engkau
berlebih-lebihan. Kalau engkau bangun ini dengan harta rakyat, sesungguhnya
engkau khianat”.
Kerana aksi-aksinya ini Abu Dzar dianggap telah mengganggu
keamanan. Dan menimbulkan resah masyarakat. Oleh kerana itu, banyak
tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintahan Bani Ummayah
terhadapnya. Mereka tidak mengizinkan Abu Dzar untuk bergaul dengan rakyat.
Atas perintah Uthman, Muawiyah pernah berkata kepada sahabat besar Nabi ini:
“Wahai musuh Allah! Engkau menghasut orang menentang aku dan berbuat sesukamu.
Apabila aku ingin membunuh sahabat Nabi tanpa izin khalifah, engkaulah
orangnya”. Abu Dzar menjawab: “Saya bukan musuh Allah atau NabiNya. Justeru
engkau dan ayahmu yang menjadi musuh Allah. Kamu berdua masuk Islam secara
lahiriah, sementara kekafiran masih tersembunyi dalam hati kamu”.
Menghadapi onarnya di Syria, Uthman memerintahkan Muawiyah
untuk mengirim Abu Dzar ke ibukota. Muawiyah kemudian menuruti perintah Uthman.
Abu Dzar diikatkan di atas unta yang pelananya tidak diberi alas. Ketika sampai
di Madinah sebahagian pahanya tergelupas, dan punggungnya pun cedera. Dalam
perjalanan dari Damsyik ke Madinah, dia dikawal oleh para tentera.
Ketika Utsman melihat Abu Dzar, dia memprotes kegiatan
sahabat Nabi ini. Abu Dzar menjawab: “Saya mengharapkan kebaikan dari anda,
tetapi anda malah menipu saya. Begitu juga, saya mengharapkan kebaikan teman
anda (Muawiyah) tetapi dia pun menipu saya”. Uthman berkata: “Engkau pembohong.
Engkau hendak menimbulkan kerusuhan. Engkau menghasut seluruh rakyat Syria
menentang kami”. Abu Dzar menjawab dengan tenang: “Anda harus mengikuti
langkah-langkah Abu Bakar dan Umar. Apabila anda berbuat demikian tidak akan
ada orang yang mengatakan sesuatu terhadap anda”. Uthman menjawab: “Semoga
ibumu mati! Apa hubungan anda dengan urusan ini”. Abu Dzar menjawab: “Sepanjang
berkaitan diri saya, tidak ada pilihan selain menyuruh manusia berbuat baik dan
mencegah mereka dari kejahatan”.
Perseteruan antara keduanya semakin menjadi serius. Abu Dzar menuduh ketundukan Uthman kepada keinginannya sendiri sebagai ketidaktaatan kepada Allah dan tidak adil kepada makhlukNya. Uthman sangat tersinggung lalu berteriak: “Wahai manusia! Katakan padaku apa yang harus dilakukan terhadap pembohong tua ini. Apakah aku harus memukulnya, membunuhnya atau membuang dia dari wilayah Islam? Dia telah menciptakan perpecahan di kalangan kaum muslimin”. Pada saat itu Saidina Ali sedang berada di sana. Dia berpaling kepada Utsman dan berkata: “Saya pernah mendengar Nabi Suci SAW bersabda bahawa tidak ada seorang pun di bawah kolong langit ini yang lebih jujur selain daripada Abu Dzar”.
Perseteruan antara keduanya semakin menjadi serius. Abu Dzar menuduh ketundukan Uthman kepada keinginannya sendiri sebagai ketidaktaatan kepada Allah dan tidak adil kepada makhlukNya. Uthman sangat tersinggung lalu berteriak: “Wahai manusia! Katakan padaku apa yang harus dilakukan terhadap pembohong tua ini. Apakah aku harus memukulnya, membunuhnya atau membuang dia dari wilayah Islam? Dia telah menciptakan perpecahan di kalangan kaum muslimin”. Pada saat itu Saidina Ali sedang berada di sana. Dia berpaling kepada Utsman dan berkata: “Saya pernah mendengar Nabi Suci SAW bersabda bahawa tidak ada seorang pun di bawah kolong langit ini yang lebih jujur selain daripada Abu Dzar”.
Pada suatu ketika timbul gagasan Utsman untuk berdamai
dengan Abu Dzar. Dia mengirimkan dua ratus keping wang emas kepada Abu Dzar
untuk keperluan hidupnya. Abu Dzar bertanya kepada orang yang membawa wang tersebut:
“Apakah Uthman memberikan jumlah wang yang sama kepada setiap muslim?”. Orang
tersebut mengatakan tidak. Abu Dzar mengembalikan wang tersebut seraya berkata:
“Saya termasuk anggota umat Islam dan oleh kerana itu maka saya hanya harus
mendapatkan jumlah yang sama dengan orang lain”. Tatkala dia menolak wang itu,
dia tidak mempunyai apa-apa di rumahnya selain sekerat roti kering.
Akhirnya Utsman memutuskan untuk menghukum Abu Dzar.
Pertamanya dia ingin menyerahkan Abu Dzar kepada pembunuh upahan. Tetapi,
setelah dia berfikir lagi, akhirnya dia memutuskan untuk membuang Abu Dzar ke
padang pasir Rabadzah yang tandus yang tidak dihuni oleh manusia, haiwan
mahupun ditumbuhi tanaman. Ketika saat keberangkatan Abu Dzar tiba, Uthman
melarang masyarakat menyaksikan pemergiannya. Akhirnya tidak ada yang berani
menghantarnya kecuali lima orang, iaitu Saidina Ali, saudaranya Aqil, Hasan,
Husein dan Ammar bin Yassir. Tanggungjawab pengawasan dan keberangkatan Abu
Dzar diserahkan kepada Marwan. Dengan lancang Marwan mencegah Ali dan
teman-temannya menemui Abu Dzar. Ali memarahinya dan memukul kudanya dan
berteriak: “Pergi jauh dari sini! Semoga Allah melemparkan anda ke dalam
neraka”.
Ali dan keluarganya menghantarnya ke pinggir kota. Kemudian
dia mengucapkan selamat berpisah kepada Abu Dzar dengan berkata: “Wahai Abu
Dzar, anda marah kepada orang-orang ini kerana Allah. Kerana itu maka anda
hanya harus mengharapkan ganjaran dari Dia saja. Mereka takut kepada anda
kerana kegiatan anda dapat menyebabkan mereka kehilangan dunia (kesenangan
dunia), dan anda membimbangkan mereka kerana anda hendak menjaga keimanan anda.
Lihatlah betapa mereka memerlukan agama yang atasnya anda tidak mengizinkan
mereka berbuat seenaknya, dan lihatlah betapa merdekanya anda dari dunia yang atasnya
mereka rebut hak anda. Akan anda ketahui nanti (di hari pembalasan) siapa yang
menjadi pemenang dan siapa yang iri hati. Meskipun seseorang dihindarkan dari
bumi dan langit, apabila dia bertaqwa kepada Allah, nescaya Allah pasti akan
membukakan jalan baginya. Anda akan selalu mencintai kebenaran dan menjauhi
kebatilan. Apabila anda juga menerima dunia mereka maka mereka akan menyukai
anda, dan jika anda berhutang pada dunia ini maka tentulah mereka sudah
menyediakan perlindungan bagi anda”. (Nahjul Balaghah). Abu Dzar hanya membalas
dengan linangan air matanya. “Kalian mengingatkan aku kepada Rasulullah”, kata
Abu Dzar.
Menjelang Kematian Sang Penegak
Kebenaran
Di sana dalam pengasingannya, di tanah gersang Rabadzah, dia
kelaparan bersama isteri dan anaknya. Seperti nubuwwat Nabi SAW yang
mengatakan: “Hai Abu Dzar, engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian,
engkau bakal mati sendirian juga. Tetapi serombongan orang Iraq yang saleh
kelak akan mengurus pemakamamanmu”, maka dia pun meninggal dalam pengasingan.
Diberkatilah Abu Dzar yang bangkit dan berusaha menegakkan
kebenaran sampai nafasnya yang terakhir. Dia mati kerana setia kepada
bai’ahnya. Dia mati kerana mempertahankan keyakinannya.
Akhir hidupnya sangat mengiris hati. Istrinya bertutur, “Ketika
Abu Dzar akan meninggal, aku menangis. Abu Dzar kemudian bertanya, “Mengapa
engkau menangis wahai istriku? Aku jawab, “Bagaimana aku tidak menangis, engkau
sekarat di hamparan padang pasir sedang aku tidak mempunyai kain yang cukup
untuk mengkafanimu dan tidak ada orang yang akan membantuku menguburkanmu” .
Namun akhirnya dengan pertolongan Allah serombongan musafir
yang dipimpin oleh Abdullah bin Ma’ud ra (salah seorang sahabat Rasulullah SAW
juga) melewatinya. Abdullah bin Mas’ud pun membantunya dan berkata, “Benarlah
ucapan Rasulullah!. Kamu berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan
nantinya (di akhirat) dibangkitkan sebatang kara”.
Tidakkah kalian berfikir
bahwa seorang pejuang yang zuhud dan wara serta ahli ibadah takut terhadap
penguasa untuk menegakkan kebenaran, dialah Abu Dzar Al Giffari yang
mengatakan Kebenaran Illahi terhadap siapaun, Apakah ada keteladan Abu
dzar yg ditiru dan diikuti oleh pemimpin bangsa saat ini ?