Haji Agus Salim (lahir dengan nama
Mashudul Haq (yang bermakna “pembela kebenaran”); Koto Gadang, Bukittinggi,
Minangkabau, 8 Oktober 1884–Jakarta, 4 November 1954) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang
Agus Salim lahir dari pasangan Angku
Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di
Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di
Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian
dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai
penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri.
Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di
Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia
jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu
diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8
orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di
Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem
(AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam.
Karir politik
Pada tahun 1915, Salim bergabung
dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S.
Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa
perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
anggota Volksraad (1921-1924)
anggota Volksraad (1921-1924)
anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana
bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali
digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri
Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya
dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua
di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji
Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik
Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia
politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir,
Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan
Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November
1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.