Hampir
semua daerah di Indonesia memiliki ciri khas dan karakteristik masing-masing.
Demikian pula halnya dengan Kota Martapura, ibu kota kabupaten Banjar. Salah
satu identitasnya adalah kentalnya nuansa keagamaan dan maraknya syiar dakwah
keislaman yang ditunjukkan dengan kehadiran para alim ulama dan aulia.
Kota
ini menjadi ikon pusat pendidikan Islam di wilayah Kalimantan. Murid-murid
lembaga pendidikan di kota ini, menyebar ke berbagai kawasan di Kalimantan
Selatan, Tengah dan Timur, bahkan di pulau Jawa. Mereka inilah yang
melaksanakan dakwah dan pembinaan umat. Pusat pendidikan yang amat dikenal dari
sisi pendidikan Islam ini adalah Pondok Pesantren Darussalam. Lembaga inilah
yang telah mematok pancang dan berkiprah dalam sejarahnya, hingga sebutan
Serambi Mekah untuk kota ini jadi pantas dilekatkan. Kalau tidaklah karena itu,
mungkin akan panjang perdebatan yang dapat dilakukan menyangkut sebutan yang
demikian indah.
Sebagai
kota berjuluk Serambi Mekkah, peran ulama sangat menentukan dalam sendi-sendi
kehidupan sosial kemasyarakatan. Ia merupakan sosok pembimbing dan pencerah
bagi umatnya. Saat ini terdapat tiga peraturan daerah yang menggambarkan
hubungan baik antara pemerintah dan ulama dalam mewujudkan masyarakat yang
agamis, yaitu Perda Ramadhan, Perda Jum’at Khusyuk dan Perda Khatam Al-Qur’an.
Eksistensi
ulama setidaknya diperkuat dengan banyaknya tempat peribadatan, majelis ta’lim,
pengajian, madrasah, pesantren dan ribuan santri atau jamaah. Ini menjadi nilai
lebih bagi perkembangan suatu daerah seperti kabupaten Banjar yang terus
membangun. Maka tak heran, posisi ulama menduduki tempat di atas rata-rata,
jika dibandingkan dengan daerah lainnya.
Deretan
nama ulama besar menghias lembaran sejarah sesuai situasi dan waktu, dilahirkan
dari sini, sebutlah nama Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang makamnya di
Kelampaian, Astambul, diziarahi ribuan orang setiap hari. Ada pula nama KH
Muhammad Samman Mulia (Guru Padang), KH Muhammad Syarwani Abdan (Guru Bangil),
KH Abdurrahman Siddiq (Indragiri), KH Kasyful Anwar, KH Anang Sya’rani Arif,
Tuan Guru KH Zainal Ilmi, KH Muhammad Husin Qodri, KH Muhammad Salman Jalil, KH
Badruddin, KH Muhammad Rosyad dan seterusnya yang walau sudah almarhum tapi
namanya tetap harum dan melegenda. Ini belum lagi deretan tokoh ulama besar
sejak dulu, yang turut menghiasi dokumen historis Martapura.
Dalam
kondisi kekinian, citra Martapura semakin masyhur hingga menembus batas
regional dengan sosok (almarhum) KH Muhammad Zaini Abdul Ghani. Ulama yang
populer disapa Guru Sekumpul itu bisa diibaratkan sebagai “maestro” Bumi
Serambi Mekkah Martapura. Semasa hidup almarhum, pengajian yang digelar di
Kompleks Ar-Raudhah, Sekumpul, selalu dihadiri ribuan jamaah dari pelbagai
pelosok Kalimantan.
Beliau
dikenal sebagai tokoh yang kerap dikunjungi pejabat dan orang penting negeri
ini. Sejak pengajian digelar di Sekumpul, sudah tidak terhitung lagi banyaknya
tamu yang datang. Mulai dari artis, pejabat negara, pejabat lokal, petinggi
militer hingga para menteri dan presiden beserta wakilnya.
Alhasil,
Martapura dikenal sebagai pusat pergerakan pemikiran Islam yang disegani dan
basis pendidikan Islam terkemuka di Kalsel. Dengan berlatar pendidikan Islam
yang termasyhur itu, Martapura pun dijuluki sebagai Serambi Mekkah.
Persoalannya
kini, masih relevankah kota itu disebut Serambi Mekah? Benarkah kota ini
mengukuhkan posisinya sebagai pusat pendidikan? Tepatkah orang-orang untuk
berinvestasi di sektor peningkatan sumber daya manusia dan ulama itu saat ini?
Beragam pertanyaan tentu masih bisa diutarakan, namun untuk menjawabnya,
diperlukan cermatan dan amatan realitas di lapangan. Bila tidak demikian,
jawaban yang akan dihasilkan justru dikhawatirkan hanya akan sampai pada sisi
pelipur lara semata.
Tak
jauh beda dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Martapura tumbuh dan
berkembang di tengah beratnya tantangan budaya. Kuatnya serbuan budaya global
yang cenderung merubuhkan sendi-sendi keberagamaan umat, membuat banyak hal
yang berubah dalam keseharian warga kota Serambi Mekkah itu. Kita tidak usah
muluk-muluk membayangkan nuansa Islami akan terasa kental di Martapura. Itu
hanyalah bayangan yang bisa membuat kita kecewa bila melihat realitasnya.
Anak-anak
sekolah yang putri dan mahasiswi, memang benar, tampil Islami dengan busana
muslimah mereka. Tapi itu hanya pada jam-jam belajar. Di luar itu, sama saja
dengan perempuan-perempuan di kota lain. Katanya, mereka berbusana Islami,
tetapi hakikatnya adalah jauh dari kesan Islam. Betapa takkan menghina,
jilbabnya yang terpasang anggun di kepala, tetapi busana yang dipakai, minta
ampun tidak Islaminya. Manalah berbaju ketat, bercelana jeans sempit pula.
Tidak ada satu pun dari deretan lekuk tubuhnya yang tidak kelihatan.
Demikian
juga halnya dengan mengabaikan panggilan azan. Tak beda dengan kota-kota lain,
di Martapura setiap waktu salat akan masuk, azan dikumandangkan. Akan tetapi,
orang yang datang ke masjid tidak seberapa. Kalau pun ada satu dua shaf,
biasanya hanyalah jemaah yang itu ke itu saja, sudah tua-tua dan uzur. Yang
namanya anak muda dan mayoritas warga kota, tetap saja hilir mudik, bergaya di
keramaian kota, tak peduli mereka dengan seruan “kemenangan” itu.
Yang
saya khawatirkan dalam konteks ini adalah, bahwa Martapura Kota Serambi Mekah
kini hanya tinggal sebutan saja. Ia tidak lagi memiliki makna sebagai slogan
yang merefleksikan realitas sesungguhnya. Slogan “Serambi Mekkah” hanya menjadi
sekedar kata-kata, sekedar slogan, sekedar tulisan, tanpa makna yang
sesungguhnya. Hanya istilah yang melekat untuk tetap enak didengar.
Realitasnya,
kota ini sudah jauh berubah. Ketika Martapura kian meninggalkan identitas itu, ketika
masyarakatnya sendiri meningggalkan identitas itu, Martapura tak ada
istimewanya —dari sudut pandang Islami— dengan kota-kota lain di Indonesia:
hiruk pikuk, asap knalpot, terminal taksi liar, pengemis dan pedagang kaki
lima, udara yang panas, ekologi kota tak terpelihara, dan seterusnya.
Dan
siapakah yang akan mau meluangkan waktu mengunjungi kota semacam itu?
Urang
Banjar sabarataan, Semoga pian-pian tidak tersinggung dengan tulisan ini. Tak
lebih yang saya kemukakan murni keinginan sebagai warga Banjar yang menantikan
Banjar menjadi kabupaten yang terkemuka. Pastinya dalam lubuk hati, Pian ingin
juga melihat Banjar menjadi daerah yang terkenal religius dan agamis di
Indonesia, bukan?
Keadaan
suatu kaum tak akan berubah kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya. Jadi,
kalau bukan Urang Banjar sendiri siapa lagi yang akan menggaungkan nama Banjar
“Kota Serambi Mekkah”