Buya Hamka menyebut Syekh Ahmad
Khatib bintang Masjidil Haram. Mertuanya sendiri, Saleh Kurdi, tergolong kaya
dan sering membantu Syarif manakala penguasa Mekkah itu kesulitan finansial.
Beliau guru Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari. Mengapa penganut mazhab Syafi’i
ini mengizinkan murid-muridnya membaca karangan-karangan Abduh?
AHMAD KHATIB sering disebut-sebut
pelopor gerakan pembaruan Islam pada awal abad ke-20 di Indonesia.
Sekurang-kurangnya guru bagi kaum modernis generasi awal Dia memang guru kaum
muda angkatan pertama semisal Ahmad Dahlan, Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Haji
Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah
Ahmad. Tapi jangan lupa, Syekh Khatib juga guru Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri
Nahdlatul Ulama, organisasi yang dicap kolot itu. Paling kurang tradisional,
sebagai lawan modernis yang dilekatkan pada Muhammadiyah yang didirikan Kiai
Dahlan
Syahdan, generasi pertama kaum muda
itu punya minat yang besar dalam perkara yang berkaitan dengan ilmu hisab.
Semangat ilmiah yang satu ini sampai sekarang diwarisi oleh para pemimpin
Muhammadiyah, terutama dalam perkara penentuan hari lebaran. Ahmad Dahlan
dikirim ke Mekkah untuk belajar, sesudah terjadi heboh dengan penetapan kiblat
dalam Masjid Agung di Yogyakarta. Ilmu bumi dan ilmu alam merupakan mata
pelajaran kegemaran Dahlan muda. Maka, bukan kebetulan di Mekkah beliau berguru
kepada Ahmad Khatib, yang juga mementingkan ilmu yang berhubungan dengan
menghitung. Syekh Khatib yang dikenal penentang gigih tarekat dan adat
Minangkabau dalam perkara hokum waris ini memang punya reputasi sebagai ahli
ilmu hitung dan hisab. Beliau mengarang Raudah al-Hussab fi ‘Ilm al-Hisab,
membahas ilmu berhitung dan ilmu ukur, terutama sebagai ilmu bantu untuk hukum
Islam, dan Al Jawahir al Naqiyyah fi’l A’mal al Jaibiyyah, berupa pedoman untuk
pengetahuan tentang tanggal dan kronologi. Kedua kitab ini diterbitkan di
Kairo, masing-masing tahun 1310/1892 dan tahun 1309/1891.
Kita tambahkan, beliau antara lain
juga mengarang Kitab Riyadu’l Wardiyah fi-Usulit-Tauhid w’l Furi’il Fiqh”, yang
bisa dianggap sebagai pedoman praktis untuk ilmu aqidah dan syari’ah. Dari
karangan-karangannya itu, ditambah kitab-kitabnya yang lain, Ahmad Khatib
tampaknya tidak mencapai derajat kesarjanaan yang dimiliki oleh Nawawi Banten.
Dia mengarang karangan yang lebih sederhana, tetapi karangan yang lebih dekat
dengan diskusi sehari-hari, sehingga cukup banyak karangannya yang boleh
dianggap sangat relevan. Apalagi sebagian besar karangannya ditulis dalam
bahasa Melayu, sehingga merupakan sumbangan dalam mendirikan Khazanah Islam
dalam bahasa Indonesia.
Meskipun kaum muda itu memperoleh
pengajaran dari Syekh Khatib, bukan sendirinya harus mengikuti paham guru
mereka. Sebetulnya tidak aneh: bukankah Washil ibn ‘Atha memisahkan diri dari
gurunya, Abul Hasan Asy’ari? Ahmad Khatib tidak bisa membebaskan dirinya dari
tradisi keagamaan bermazhab. Beliau tetap berpegang alias bertaqlid kepada
mazhab Syafi’i. Dia memang menyuruh murid-muridnya membaca karangan Muhammad
Abduh, tokoh pembaru dari Mesir yang pemikirannya amat berpengaruh pada Dahlan
itu. Tetapi hal ini tidak berarti Ahmad Khatib setuju dengan
pemikiran-pemikiran Abduh. Rupanya beliau membolehkan murid-muridnya membaca
karangan-karangan Abduh, supaya pemikiran-pemikiran pembaharu dari Mesir itu
ditolak.
ANAK GOLONGAN ULAMA DAN ADAT
Ahmad Khatib boleh dibilang berasal dari keluarga terkemuka dan dinamis. Dia lahir di Bukittinggi pada tahun 1855. Ayahnya Jaksa Kepala di Padang. Ibunya anak Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi. Tidak syak lagi, darah yang mengalir di tubuh Ahmad Khatib berasal dari golongan ulama dan kaum adat. Unsur ulamalah yang kemudian memainkan peranan lebih penting dalam hidupnya, dan kelak bahkan dia menantang beberapa unsur dan kedudukan golongan adat. Ibunya adalah adik ibu Syekh Taher Jalaluddin (1869-1956). Dia juga punya seorang keponakan yang kelak menjadi orang besar di Republik. Namanya Haji Agus Salim.
Pada usia yang masih muda sekali, Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan kemudian bermukim di sana. Perkembangan karirnya di Mekkah digambarkan oleh Hamka sebagai berikut:
“… pada tahun 1296, yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah, bernam Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i…
Oleh
karena Syekh Sleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan
syarif-syarif di Mekkah, maka Ahamd Khatib dikenal oleh istana dan ulama-ulama
lain; dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula
bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik.
Menurut keterangan puteranya Abdul Hamid Al-Khatib, dalam satu jamuan makan
berbuka puasa di istana Syarif, ketika Syarif menjadi imam maghrib di sana, ada
bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib yang menjadi makmum dengan serta merta
menegur kesalahanitu, sehingga sehabis shalat, Syarif bertanya kepada Syekh
Saleh Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah diterangkan bahwa itu adalah menantunya,
Syarif memuji Syekh Saleh mendapat menantu pemuda yang begitu tampan, manis,
alim, dan berani. Inilah yang kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi
imam dari golongan Syafi’i di Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi
khatib, merangkap pula menjadi Guru Besar, ulam yang diberi hak mengajar agama
di Masjidil Haram.
Menurut Snouck Hurgronje, tugas
seorang Imam di Masjidil Haram cukup terbatas: dia adalah hanya anggota dari
suatu kelompok orang yang secara bergiliran memimpin salat menurut Mazhab
Syafi’i. Memamg jarang sekali seorang yang bukan Arab atau orang yang bukna
berasal dari Mekkah diangkat menjadi anggota tim ini.
Waktu Snouck Hurgronje bermukim di
Mekkah (1884/5), Syekh Ahmad Khatib belum begitu terkenal. Orientalis yang
menyamar dengan nama Abdul Ghaffar itu tidak menyebut namanya dalam buku
tentang Mekah. Satu dasawarsa kemudian, 1894, dan seterusnya barulah Snouck
menulis laporan tentang Syekh Khatib. Bahkan pada tahun 1904 Ahmad Khatib
disebut sebagai: “Seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa
di Mekkah dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara
mereka. Semua orang di Indonesia yang naik haji, mengunjungi dia”.
Menurut Haji Agus Salim dalam
kuliahya di Universitas Cornell pada tahun 1953, Syekh Ahmad Khatib tidak
mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje waktu dia mengunjungi
Mekkah. Memang dalam buku Snouck Hurgronje banyak tokoh yang menerima gambaran
yang lengkap tetapi Ahmad Khatib tidak, barangkali karena dia masih terlalu
muda pada waktu itu. Pada tahun 1905 Snouck Hurgronje dimintai pendapatnya
tentang kemungkinan Agus Salim diangkat sebagai pegawai Kedutaan di Jeddah dan
Residen Riau pada waktu itu mengemukakan keberatan: “Mungkin Agus Salim akan dipengaruhi
oleh pamannya di Mekakh yang begitu fanatik antiadat. Pada waktu itu Snouck
Hurgronje tidak melihat bahaya dalam posisi Agus Salim di Jeddah.
Boleh jadi Snouck tidak begitu
menyukai Syekh Khatib. Bahkan orang yang pernah menikahi mojang priangan ini,
dan punya anak pula tapi dia tidak mengakui perkawinan dan otomatis anaknya itu
di depan hukum Belanda, punya pandangan yang miring terhadap mertua Syekh
Khatib. Menurutnya Saleh Kurdi seorang woekeraar, alias rentenir, yaitu orang
yang meminjamkan uang dengan bunga yang terlalu tinggi. Lantaran kaya sekali
dia pernah menolong Syarif yang sedang kesulitan uang. Dengan begitu dia pun
menjadi cukup akrab dengan penguasa Mekkah itu, dan bisa mendapatkan kedudukan
terhormat untuk menantunya. Memang pandangan Snouck Hurgronje tentang Ahmad
Khatib ini penuh dengan kritik tajam dan fitnah. Kritik ini mungkin didalangi
oleh Sayid Usman yang berpolemik dengan dia. Yang pasti, Saleh Kurdi juga aktif
di bidang penjualan buku dan penerbitan. Pada tahun 1926 Hamka pernah bekerja
di perusahaan percetakannya itu.
AHMAD KHATIB DAN NASIONALISME
Seperti diungkapkan Karel Steenbrink
(1984), sesudah Sarekat Islam didirikan pada 1912, Sayid Usman, pegawai
pemerintah Hindia Belanda yang bertugas melancarkan pekerjaan Snouck Hurgronje,
dan sudah begitu tua waktu itu, masih bersedia mengarang brosur yang menentang
organisasi ini. Judulnya Menghentikan Rakyat Biasa dari Bergabung dengan
Sarekat Islam. Dalam tulisannya, ulama Betawi ini menuduh Sarekat Islam sebagai
kelompok yang tidak Islam sama sekali. Dia juga mencap bahwa Haji Umar Said
Cokroaminoto (HOS Tjokroaminoto), pemimpin organisasi ini, “tidaklah hidup
sesuai dengan norma-norma Islam” Brosur ini dikirimkan oleh pemerintah kolonial
kepada guru-guru agama di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Dan
Ahmad Khatib menolak keras pendapat musuh lamanya itu. Kita ketahui, kelak
keponakannya, Haji Agus Salim, bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi orang
penting di sini. Salah satu peran terbesar Haji Agus Salim adalah membersihkan
organisasi dari anasir komunisme.
Ahmad Khatib memang tidak sekali-dua menyerang Belanda. Dalam berbagai tulisannnya, Ahmad Khatib menyamakan Belanda dengan orang kafir yang mengguncangkan agama islam di hati penganutnya. Dalam bukunya, Dhau as-Siraj pada menyatakan Isra’ dan Mi’raj, yang diterbitkan tahun 1894, ia antara lain menulis:
“Ketahuilah olehmu, bahwasanya
hamba, tatkala mendengar daripada ihwal saudara-saudara kita daripada orang
Melayu yang telah bernama dengan orang Islam, yang telah bercampur mereka itu
dengan orang kafir, sebelum mengetahui ia daripada agamanya lain daripada
syahadat saja, dan menyatakanlah orang putih itu padanya syubhat-syubhat pada
agama Islam yang ada setengah dari pada syubhat itu mi’raj Nabi kita kepada
langit dan menerima pula orang jahil akan demikian syubhat dan memungkiri
pulalah ia akan mi’raj Nabi kita, karena mengingat kata gurunya orang kafir itu
karena jahilnya dengan hakekat agamanya dan karena buta-butanya daripada ilmu
dan karena itu adalah ia kepada barang mana ditariknya oleh orang putih,
niscaya tertariklah ia sertanya dan tiada mengetahui ia akan bodohnya. Maka
kasihlah hati hamba kepada mereka itu mendengar hal mereka itu, karena telah
jadi mereka itu dengan demikian itu murtad, keluar daripada agama Islam dan
tiadalah harus bahwa disembahyangkan mereka itu kemudian daripada mati…”
Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916
dalam usia sekitar 60 tahun. Pada waktu itu diskusi antara “kaum tua” dan “kaum
muda” baru mulai, dan belum jelas juga siapa yang akhirnya akan masuk salah
satu golongan. Oleh karena itu tidak mustahil bila dia masih berubah
pendapatnya andaikata dikaruniai usia yang lebih panjang