Pernahkah Anda merasakan
kesedihan ditinggal mati oleh orang yang Anda kasihi di dunia ini? Atau
pernahkah Anda kehilangan harta melimpah yang pernah Anda miliki? Itu semua
menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Dunia ini bukanlah hunian
abadi bagi manusia. Kehidupan hakiki adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena
itu, selayaknya orang yang berakal, lebih mengutamakan kenikmatan yang kekal
daripada kehidupan fana ini. Bagaimana caranya? Agama Islam mengajarkan dengan
zuhud di dunia. Sahl bin Sa’d
As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan
kepadaku suatu amalan. Jika aku mengamalkannya, niscaya Allah mencintaiku dan
manusia juga mencintaiku!” Rasulullah bersabda: “Zuhudlah di dunia, niscaya
Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan-tangan
manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!’. [1]
MAKNA ZUHUD
Disebutkan di dalam
kitab kamus Mu’jamul Wasith, bab Zahida:
Yaitu, seseorang
melakukan zuhud atau zahaadah. Artinya, dia berpaling darinya dan
meninggalkannya karena dia meremehkannya, atau menghindari kesusahan darinya,
atau karena sedikitnya.
Imam Ibnu Qudamah Al
Maqdisi rahimahullah berkata: “Zuhud adalah istilah dari berpalingnya keinginan
dari sesuatu menuju yang lain yang lebih baik darinya. Dan syarat hal yang
ditinggalkan keinginannya itu, juga disukai pada sebagian sisinya. Maka
barangsiapa meninggalkan sesuatu yang dzatnya tidak disukai dan tidak dicari,
dia tidak dinamakan zaahid (orang yang zuhud)”.[2]
Tujuan meninggalkan
dunia bagi orang yang zuhud adalah untuk meraih kebaikan akhirat, bukan
semata-mata untuk rileks dan menganggur.
Abu Sulaiman
rahimahullah berkata,”Orang yang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan
kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi orang yang zuhud
adalah orang yang meninggalkan dunia, dan berpayah-payah di dunia untuk
akhirat.” [3]
Imam Ibnu Rajab Al
Hambali rahimahullah berkata,”Maksud zuhud di dunia adalah mengosongkan hati
dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga orang itu dapat berkonsentrasi
untuk mencari (ridha) Allah, mengenalNya, dekat kepadaNya, merasa tenang
denganNya, dan rindu menghadapNya.”[4]
Menurut Imam Ahmad
rahimahullah , zuhud itu ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan yang haram.
(Demikian) ini zuhudnya orang-orang awam. Kedua, meninggalkan yang
berlebih-lebihan dari yang halal. (Demikian) ini zuhud orang-orang khusus.
Ketiga, meninggalkan semua perkara yang menyibukkan diri dari Allah. Ini
zuhudnya orang-orang ‘arif (orang-orang yang faham terhadap Allah).[5]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, ”Zuhud yang bermanfaat, disyari’atkan, dan yang
dicintai oleh Allah dan RasulNya, adalah zuhud (meninggalkan dan mengecilkan
arti) segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat. Berkaitan dengan hal-hal
yang berguna di akhirat dan piranti yang dapat mendukungnya, maka zuhud
(meninggalkan dan meremehkan) terhadap hal-hal ini, berarti meremehkan satu
jenis ibadah kepada Allah dan ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud zuhud hanyalah
dengan meninggalkan semua yang membahayakan atau segala sesuatu yang tidak
bermanfaat. Adapun zuhud terhadap hal-hal yang bermanfaat, ini adalah sebuah
bentuk ketidaktahuan dan kesesatan.” [6]
INI BUKAN ZUHUD
Setelah kita mengetahui
penjelasan di atas, ternyata ada sebagian orang melakukan berbagai perbuatan
dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kategori zuhud. Padahal
hanya merupakan tipu daya Iblis.
Di antara perbuatan zuhud yang keliru:
1. Meninggalkan Dunia
Sama Sekali.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Orang awam terkadang mendengar celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang mulia dan hadits-hadits, lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan diri ke gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga (majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki. Bagaimana tidak, sedangkan dia telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B yang beribadah di atas gunung.
Padahal, kemungkinan dia
memiliki keluarga, sehingga tidak terurus. Atau masih memiliki ibu yang
menangis karena ditinggalkan. Ada kemungkinan juga, ia tidak mengetahui
rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya. Atau mungkin juga, dia masih
menanggung beban kezhaliman-kezhalimannya yang belum terselesaikan.
Sesungguhnya iblis mampu mengelabuhi orang ini karena kedangkalan ilmunya. Dan
termasuk kebodohannya, dia telah puas dengan apa yang dia ketahui.
Seandainya dia diberi
bimbingan (oleh Allah) dengan berteman dengan seorang faqiih (ahli agama) yang
memahami hakikat-hakikat, niscaya orang faqiih itu akan memberitahukan
kepadanya, bahwa pada asalnya dunia tidak tercela. Bagaimana mungkin dunia
dicela, segala sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta’ala, merupakan kebutuhan
pokok untuk kelangsungan hidup manusia, dan merupakan sarana yang mendukung
manusia dalam meraih ilmu dan ibadah, yang berupa makanan, minuman, pakaian,
dan masjid yang digunakan untuk shalat?! Sesungguhnya yang tercela hanyalah
mengais bagian dari dunia yang tidak halal, atau mengambilnya dengan
berlebihan, tidak sesuai dengan kebutuhannya. Atau tindakan seseorang yang
mengikuti kedangkalan jiwanya, tanpa petunjuk syari’at.
Pergi mengasingkan ke
gunung-gunung sendirian (hukumnya) terlarang, karena Nabi n melarang seseorang
bermalam sendirian [7]. Tindakannya meninggalkan shalat jamaah dan shalat
Jum’at merupakan kerugian, bukan keuntungan. Jauh dari ilmu dan ulama akan
mengakibatkan ia terkungkung oleh belitan kebodohan. Meninggalkan ayah dan ibu
seperti kasus di atas, merupakan‘uquq (kedurhakaan terhadap orang tua), padahal
termasuk dosa besar”. [Al Muntaqa An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 191-192,
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].
2. Meninggalkan Hal-hal
Mubah, Padahal Bermanfaat.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Di antara tipu daya iblis terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis menjadikan mereka salah sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang mubah (padahal bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain) terhadap roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan cara mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering. Atau menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan menghindarkan dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para sahabat dan para pengikut beliau. Mereka dahulu lapar, bila tidak mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat meraihnya, mereka akan memakannya”.[8]
3. Zuhud Lahiriyah Semata.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis terhadap orang-orang zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan makna zuhud, yaitu (dengan cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian yang berkualitas rendah saja. Mereka menerima hal itu. Tetapi hati mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan mencari kehormatan. Engkau lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara` (penguasa, pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan orang. Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan keagungan Allah). Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta agar dikatakan “Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka termasuk orang yang paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat), dan mencium tangan mereka pada pintu yang paling luas dari wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya puncak dunia adalah kepimimpinan”.[9]
4. Meninggalkan
Harta-Benda Secara Total Dan Menjadikan Kefakiran (Kemiskinan) Sebagai Tujuan
Hidup
Seorang tokoh sufi mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari segala barang kepemilikan” [10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan: “Kefakiran adalah fondasi dan tiang tasawuf”.[11]
Diriwayatkan dari Al
Junaid, seorang tokoh sufi, dia berkata: “Aku lebih menyukai agar pemula tidak
menyibukkan diri dengan bekerja, jika tidak, maka keadaannya akan berubah”.[12]
Akibat dari anggapan
ini, sejarah mencatat kisah-kisah sebagian orang sufi pada zaman tempo dulu
yang meninggalkan harta-harta mereka dan mulai berkelana, padahal sebelumnya
mereka sabagai orang-orang yang berada.[13]
Anggapan zuhud model
orang-orang sufi seperti di atas, bukan bagian dari ajaran Islam. Bahkan sangat
bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari tujuan hidup mereka
itu, yang berorientasi pembinaan kemiskinan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berdoa:
“Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepadaMu dari kefakiran, kekurangan (dari perbuatan baik), dan kehinaan. Dan
aku berlindung kepadaMu dari berbuat zhalim, atau dizhalimi”.[14]
Demikian juga, sifat
malas mereka untuk bekerja dengan dalih zuhud yang palsu, menyelisihi anjuran
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya untuk mencari pekerjaan yang
halal dan mencukup diri sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tidaklah seorang pun memakan makanan yang
lebih baik daripada dia memakan dari (hasil) jerih payah tangannya sendiri.
Sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, biasa makan dari (hasil) kerja
sendiri.”. [15]
Dalam hadits lain,
Beliau bersabda:
“Salah seorang di antara kamu yang
mengumpulkan kayu bakar di atas punggungnya, lebih baik baginya daripada dia
minta kepada seseorang, lalu orang itu memberinya atau menolaknya”. [16]
Hakikat zuhud bukanlah
menampik harta duniawi. Banyak sahabat yang kaya-raya, seperti Utsman bin
‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya. Kendatipun demikian, mereka adalah
tokoh-tokoh orang-orang zuhud.
5. Meninggalkan
Pernikahan.
Sebagian orang sufi berkata: “Barangsiapa menikah, maka dia telah memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka waspadalah dari pernikahan!”
Di antara mereka ada
yang bertutur: “Seorang laki-laki tidak akan mencapai derajat orang-orang
shiddiiq sampai ia meninggalkan istrinya seolah-olah seperti janda, dan
(membiarkan) anak-anaknya, seolah-olah mereka itu anak-anak yatim, dan dia
menetap di kandang-kandang anjing!” [17] Sudah pasti zuhud ala sufi ini, bukan
zuhud yang digariskan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengatakan:
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku
adalah orang yang paling takut di antaramu kepada Allah, dan orang yang paling
takwa di antaramu kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan berbuka; aku shalat
(malam) dan tidur; dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci
sunnahku (ajaranku), dia bukan dariku”.[18]
Justru zuhud seperti itu
berseberangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
umatnya. Beliau bersabda:
“Wahai, para pemuda. Barangsiapa di antara
kamu mampu menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan
itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang
tidak mampu, maka dia wajib berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu penjagaan
baginya (dari perzinaan, pen)”.[19]
Setelah kita mengetahui
berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa zuhud yang benar
bukanlah dengan meninggalkan harta dan keluarga, kemudian menyiksa diri dengan
begadang dan kelaparan, menyepi di kamar-kamar yang gelap dan membisu dengan
tanpa sebab. Demikian juga bukan dengan meninggalkan berbagai hal yang
bermanfaat di dunia ini, yang dapat membantu ibadah dan ketaatan kepada Allah,
seperti berbagai kemajuan tekhnologi yang tidak bertentangan dengan syari’at
yang suci.
Dengan ini mudah-mudahan
menjadi jelas bagi kita, perbedaan zuhud yang diajarkan oleh agama Islam,
dengan zuhud buatan orang-orang sufi yang menyimpang.
Semoga Allah menampakkan
al haq kepada kita sebagai al haq, dan menolong kita untuk mengikutinya. Dan
memperlihatkan kebatilan kepada kita sebagai kebatilan, dan menolong kita untuk
menjauhinya. Wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Muslim
Atsari hafizhahullah
Artikel www.UstadzMuslim.com
_______
Artikel www.UstadzMuslim.com
_______
Catatan kaki:
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102, dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9), dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523), karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’, hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi, Penerbit Darul Kutub Al Haditsah, Kairo, Th. 1960. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam, hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267), dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063; Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400; dan lainnya.