Hadits dan Fiqih adalah dua sahabat karib yang
tidak bisa dipisahkan, keduanya saling berkaitan erat bagi seorang alim, ibarat
dua sayap bagi seekor burung.
Dahulu Ali bin Madini pernah mengatakan:
“Mempelajari fiqih hadits adalah
separuh ilmu, dan mempelajari rijal (rawi) hadits juga separuh ilmu”.[1]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi berkata:
“Sungguh amat jelek sekali bagi
seorang ahli hadits ketika ditanya tentang suatu kejadian, lalu dia tidak
mengerti karena kesibukannya dalam mengumpulkan jalur-jalur hadits. Demikian
pula sangat jelek bagi seorang faqih ketika ditanya: Apa maksud sabda Nabi ini,
lalu dia tidak mengerti tentang keabsahan dan maknanya”. [2]
Oleh karenanya, bagi
seorang yang menggeluti ilmu fiqih hendaknya dia melengkapinya dengan ilmu
hadits.
Imam asy-Syaukani berkata:
“Seorang yang ingin menulis
kitab fiqih - sekalipun dia telah mencapai puncak yang tinggi- apabila dia
tidak membidangi ilmu hadits dan pembedaan antara yang shahih dan lemah, maka
kitab karyanya tidaklah dibangun di atas pondasi, sebab kebanyakan ilmu fiqih
itu diambil dari ilmu hadits”. [3]
Sebagaimana juga bagi
seorang yang menggeluti ilmu hadits hendaknya dia tidak lupa bahwa buah hadits
adalah dengan mempelajari fiqihnya dan mengamalkannya, bukan hanya sekedar dalam
jalur-jalur riwayatnya belaka.
Ambilah kisah berikut
sebagai ibrah!
Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 16/108
menceritakan bahwa Hamzah al-Kinani berkata:
“Saya pernah meneliti sebuah
hadits dari dua ratus jalan, sayapun merasa sangat gembira sekali, lalu saya
bermimpi melihat Yahya bin Ma’in, akupun berkata padanya: Wahai Abu Zakariya!
Saya telah meneliti sebuah hadits dari dua ratus jalan.
Beliau kemudian diam
sejenak, lalu berkata:
“Saya khawatir hal ini masuk dalam firman Allah: “Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu”. (At-Taktsur: 1)
Maka alangkah indahnya apabila
ilmu fiqih dan hadits dipadukan bersama!! Dan alangkah butuhnya kita kepada
fiqih yang bersumber dari sunnah nabawiyyah shahihah!!.
Kajian berikut merupakan
salah satu contoh tentang pentingnya paduan
antara ilmu hadits dan fiqih. Kajian yang kami
maksud adalah “nikah tanpa wali”, lantaran dalam sebagian madzhab (baca; Madzhab Hanafiyah) dan
itu diikuti oleh sebagian saudara kita bahwa semua hadits-hadits yang berkaitan
tentangnya adalah tidak shahih dari Nabi[4], sehingga mereka
membuat suatu kesimpulan bahwa seorang wanita tidak perlu wali dan saksi dalam
pernikahannya[5].
Oleh karenanya, sangat
penting sekali bagi kita untuk mengkaji akar permasalahan ini sehingga nampak
bagi kita cahaya kebenaran dan gelapnya kebatilan[6].
A. TAKHRIJ HADITS[7]
Hadits tentang bahasan
kita kali ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, diriwayatkan
dari banyak sahabat. Al-Hakim berkata dalam Al-Mustadrak 2/168:
“Telah shahih riwayat tentangnya dari para isteri Nabi; Aisyah, Ummu Salamah,
Zainab binti Jahsy”. Lalu katanya:
"Dan dalam bab ini terdapat pula riwayat
dari Ali, Ibnu Abbas, Mu’adz, Abdullah bin Umar, Abu Dzar, Miqdad, Ibnu Mas’ud,
Jabir, Abu Hurairah, Imran bin Hushain, Abdullah bin Amr, Miswar bin Makhramah
dan Anas bin Malik”.[8]
Al-Ustadz yang mulia, A.
Hassan -semoga Allah merahmatinya- dalam Soal Jawabnya hal. 245-247 telah
mencantumkan sebelas hadits fakta pembahasan tetapi beliau mementahkan
seluruhnya, sehingga beliau membuat sebuah kesimpulan pada hal. 253:
“Pendeknya, sekalian riwayat yang menerangkan “Tidak sah nikah melainkan dengan
wali” itu tidak sunyi daripada celaan tentang riwayatnya”. Katanya juga: “Tidak
ada satupun yang betul-betul sah riwayatnya”.
Demikianlah ucapan
beliau -semoga Allah mengampuninya-!! Tentu saja ucapan beliau ini perlu
diteliti ulang kembali, sebab menurut penelitian ulama ahli hadits bahwa hadits
ini adalah shahih. Oleh karenanya, perkenanlah kami sedikit memaparkan hadits
pembahasan beserta sanggahan sesingkat mungkin atas kritikan Al-Ustadz A.
Hassan -semoga Allah merahmatinya-.
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah
menambahkan ilmu bagimu- bahwa hadits tentang masalah ini telah shahih dari
riwayat Aisyah, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.
Berikut
keterangannya:
I. Hadits Aisyah
Dari Aisyah berkata: Rasulullah
bersabda:
“Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya
adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah
adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”.SHAHIH. Diriwayatkan Abu
Dawud 2083, Tirmidzi 1102, Ibnu Majah 1879, ad-Darimi 2/137, Ahmad 6/47, 165,
Syafi’I 1543, Ibnu Abi Syaibah 4/128, Abdur Razzaq 10472, ath-Thayyalisi 1463,
ath-Thahawi 2/4, Ibnu Hibban 1248, ad-Daraquthni 381, Ibnu Jarud 700, al-Hakim
2/168, al-Baihaqi 7/105, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/39 dari beberapa jalur
yang banyak sekali dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari
Urwah dari Aisyah dari Nabi.
Hadits ini shahih dengan
tiada keraguan di dalamnya. Adapun al-Ustadz yang mulia, A. Hassan -semoga
Allah merahmatinya- beliau mengatakan dalam Soal Jawabnya 253:
“Keterangan ketiga dianggap lemah oleh sebagian ahli hadits[9], lantaran seorang bernama Zuhri yang meriwayatkan hadits ini,
tatkala orang bertanya kepadanya dia menjawab: “Saya tidak meriwayatkan hadits
itu”.
Beliau mengisyaratkan
apa yang terdapat dalam riwayat Ahmad 6/47 usai hadits ini:
“Ibnu Juraij
berkata: Saya bertemu dengan Zuhri lalu saya bertanya kepadanya tentang hadits
ini tetapi dia tidak mengetahuinya. Dan dia memuji Sulaiman bin Musa”.
Kritikan ini sangat mentah sekali, telah
dibantah oleh para ulama ahli hadits dari beberapa segi:
1. Kisah ini dilemahkan
oleh para ulama seperti Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, Ibnu
Adi, Ibnu Abdil Barr, al-Hakim dan lain sebagainya, karena tambahan ini tidak
diriwayatkan kecuali dari Ibnu ‘Ulayyah saja.[10]
2. Anggaplah kisah ini
shahih, tetap tidak bisa dijadikan sebagai alasan melemahkan hadits ini, sebab
lupanya Zuhri tidaklah mengharuskan bahwa Sulaiman bin Musa keliru. Masalah ini
telah dikupas oleh Imam Daraquthni dalam kitab Man Haddatsa wa Nasiya (Orang-orang
yang menceritakan hadits lalu lupa) dan para ulama lainnya.[11]
Al-Hakim berkata: “Telah
shahih dengan riwayat para imam bahwa para perawi tersebut mendengar antara
sebagian dari sebagian lainnya. Maka riwayat-riwayat ini tidaklah dimentahkan
karena cerita Ibnu ‘Ulayyah dan pertanyaan kepada Ibnu Juraij dan ucapannya:
Saya bertanya kepad Zuhri, tetapi dia tidak mengetahuinya”. Seorang yang
terpercaya dan penghafal hadits terkadang lupa usai menceritakan hadits,
sebagaimana tak sedikit ahli hadits tertimpa hal ini”. Ibnu Hibban juga
berkata: “Hal ini tidak menjadikan cacat keshahihan hadits ini, karena seorang
ahli ilmu yang kuat terkadang meriwayatkan kemudian lupa, sehingga ketika
ditanya dia tidak mengetahuinya, jadi lupanya dia tidak menunjukkan batilnys
hadits tersebut”. [12]
3. Sulaiman bin Musa tidak sendirian dalam
meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Juraij, beliau dikuatkan oleh kawan-kawannya
yang lain, diantaranya:
a. Hajjaj bin Artah sebagaimana
dalam riwayat Ibnu Majah 1/580, Ahmad 6/260, Baihaqi 7/105
b. Ja’far bin Rabi’ah sebagaimana
dalam riwayat Abu Dawud 2084, Ahmad 6/66
c. Ubaidullah bin Abu Ja’far
sebagaimana dalam riwayat ath-Thahawi 3/7
d. Ayyub bin Musa al-Qurasyi
sebagaimana dalam riwayat Ibnu Adi dalam Al-Kamil 4/1516
4. Para ulama ahli hadits telah menshahihkan
hadits ini. Berikut kami nukilkan sebagian komentar mereka:
Yahya bin Ma’in berkata:
“Hadits Aisyah “Tidak sah pernikahan tanpa wali” tidak shahih hadits yang
berkaitan akan hal ini kecuali hadits (dari jalur) Sulaiman bin Musa”.
Ibnu Hazm berkata dalam
Al-Muhalla 9/465: “Tidak shahih dalam masalah ini selain sanad ini. Hal ini
cukup sebagi dalil tentang saksi dalam pernikahan”.[13]
Tirmidzi berkata:
“Hadits hasan”.
Al-Hakim berkata:
“Hadits shahih menurut syarat Bukhari Muslim”.[14]
Ibnul Jauzi berkata
dalam At-Tahqiq 3/71: “Hadits ini shahih, seluruh rawinya
adalah para perawi shahih”.[15]
Adz-Dzahabi juga berkata
dalam Tanqih Tahqiq 8/270: “Hadits shahih”.
Al-Albani menyimpulkan
bahwa hadits ini pada asalnya hasan tetapi dapat naik kepada derajat shahih
karena adanya beberapa syawahid (penguat) dari jalur lainnya. [16]
Demikian pula para ulama
lainnya yang mencantumkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka yang khusus
memuat hadits shahih seperti Ibnu Hibban, Ibnul Jarud, Abu Awanah dan
sebagainya[17].
II. Hadits Abu Musa
al-Asy’ari
Dari Abu Musa al-Asy’ari berkata:
Rasulullah bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”.SHAHIH.
Diriwayatkan Abu Dawud 2085, Tirmidzi 1/203, Ibnu Majah 1/580, Darimi
2/137, ath-Thahawi 2/5, Ibnu Abi Syaibah 4/131, Ibnul Jarud 702, Ibnu Hibban
1243, Daraquthni 38, al-Hakim 2/170, Baihaqi 7.107, Ahmad 4/393, 413,
al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/38 dari jalur Abu Ishaq as-Sabi’I dari Abu
Burdah dari Abu Musa al-Asy’ari secara marfu’ (sampai kepada
Nabi).
Hadits inipun shahih
juga. Adapun Ustadz yang mulia A. Hassan, beliau berkata dalam Soal Jawabnya
hal. 253: “Keterangan kedua dilemahkan oleh Ibnu Hibban dengan alasan bahwa
yang meriwayatkan hadits itu tidak jumpa sendiri dengan Nabi, tetapi dengan
perantaraan seorang sahabat yang tidak disebut namanya”.
Kritik ini sangat lemah sekali ditinjau dari
beberapa segi:
1. Di kitab apakah hadits ini
dilemahkan Ibnu Hibban, sebab setahu kami Ibnu Hibban malah mencantumkan hadits
ini dalam kitab Shahihnya dan tidak berkomentar melemahkan hadits ini seperti
dinukil oleh Ustadz A. Hassan. Bahkan Ibnu Hibban secara tegas
dalam Shahih-nya 9/395 mengatakan bahwa hadits ini shahih secara
mursal maupun bersambung dan tidak ada keraguan akan keshahihannya!!.
2. Anggaplah nukilan itu benar,
maka alasan seperti di atas sangat tidak tepat sekali, sebab telah mapan dalam
disiplin ilmu hadits bahwa semua sahabat adalah adil dan terpercaya, baik
disebut namanya maupun tidak, apalagi dalam hadits pembahasan telah nyata
disebut nama sahabatnya yaitu Abu Musa al-Asy’ari.
3. Kritikan yang populer di kalangan
ahli hadits adalah hadits ini diperselisihkan tentang bersambung dan tidaknya.
Artinya, dalam riwayat dari Israil bin Yunus, Syarik bin Abdillah, Abu Awanah,
Zuhair bin Muawiyah dan Qais bin Rabi’ dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu
Musa dari Nabi secara bersambung. Tetapi dalam riwayat Syu’bah dan Sufyan
Tsauri dari Abu Ishaq dari Abu Burdah langsung dari Nabi tanpa menyebut Abu
Musa al-Asy’ari. Namun kritikan inipun telah dijawab oleh para ulama:
Imam Tirmidzi berkata:
“Riwayat orang-orang yang meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu
Musa dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali” menurut saya lebih
shahih, sebab mereka mendengar dari Abu Ishaq dalam waktu yang berbeda-beda.
Sekalipun Syu’bah dan Tsauri lebih kuat hafalannya daripada mereka, tetapi
riwayat mereka menurutku lebih shahih karena Syu’bah dan Tsauri mendengar
hadits ini dari Abu Ishaq dalam satu waktu. Bukti yang menunjukkan hal ini
adalah apa yang diceritakan Mahmud bin Ghailan kepada kami: Menceritakan kami Abu
Dawud: Menceritakan kami Syu’bah, dia berkata: Saya mendengar Syafi’I bertanya
kepada Abu Ishaq: Apakah engkau mendengar Abu Burdah berkata bahwa Nabi
bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali, lalu dia menjawab: Ya.
Hadits ini menunjukkan
bahwa Syu’bah dan Tsauri mendengar hadits ini dalam satu waktu, sedangkan
Israil sangat kuat riwayatnya dari Abu Ishaq. Saya mendengar Muhammad bin
al-Matani berkata: Saya mendengar Abdur Rahman bin Mahdi mengatakan: “Tidaklah
luput padaku hadits Tsauri dari Abu Ishaq kecuali saya mengandalkan pada Israil
karena dia memiliki yang lebih sempurna”.
Al-Albani berkomentar
dalam Irwaul Ghalil 6/238): “Tidak ragu lagi, ucapan Tirmidzi
bahwa riwayat yang lebih shahih adalah riwayat jama’ah dari Abu Ishaq dari Abu
Burdah dari Abu Musa secara marfu adalah pendapat yang benar, karena dzahir
sanadnya adalah shahih. Oleh karena itulah sejumlah para ulama telah menilai
hadits ini shahih, diantaranya adalah Ali bin Madini, Muhammad bin Yahya
adz-Dzuhli sebagaimana diceritakan al-Hakim dan beliau juga menshahihkan serta
disetujui oleh adz-Dzahabi, dan juga Bukhari sebagaimana diceritakan Ibnu
Mulaqqin dalam al-Khulashah 2/143”.[18]
Alangkah bagusnya apa
yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hal.
413 dari Muhammad bin Harun al-Makki, dia berkata: Saya mendengar Bukhari
pernah ditanya tentang hadits Israil dari Abi Ishaq dari Abu Burdah dari
ayahnya dari Nabi “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, maka beliau
menjawab: “Tambahan dari orang yang terpercaya itu diterima, Israil bin Yunus
adalah terpercaya. Sekalipun Syu’bah dan Tsauri memursalkannya (menjatuhkan
sahabat Abu Musa al-Asy’ari) namun hal itu tidak membahayakan hadits”.[19]
Demikianlah ucapan Imam Bukhari.
Cukuplah kiranya hal itu sebagai hujjah yang kuat. Dengan demikian, seorang
yang mengerti ilmu hadits tidak akan meragukan tentang keabsahan hadits ini.
Lantas, bagaimana kiranya apabila digabungkan dengan riwayat-riwayat
lainnya??!!
Kesimpulan,
Hadits
pembahasan ini adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya, apalagi
didukung oleh riwayat-riwayat lainnya yang masih banyak lagi[20].
Saudaraku, sebenarnya
hati ini masih berkeinginan untuk memaparkan hadits-hadits lainnya, namun
sepertinya kita cukupkan sampai sini dulu karena kita harus berpindah kepada
point penting lainnya, yaitu fiqih hadits ini.Wallahul Muwaffiq.
B. FIQIH HADITS[21]
Berangkat dari hadits-hadits di atas, maka
mayoritas ulama berpendapat seperti kandungan hadits tersebut.
Imam al-Baghawi berkata: “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan
sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tak sah pernikahan kecuali dengan
wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin
Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul
Aziz, dan sebagainya. Ini pula pandapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan
ats-Tsauri, al-Auza’I, Abdullah bin Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq”. [22]
Termasuk ulama yang
berpendapat seperti itu juga adalah Imam
Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan, dua sahabat Abu Hanifah[23]. Bahkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/187
menyebutkan dari Ibnu Mundzir bahwa tidak diketahui dari seorang sahabatpun
yang menyelisihi hal itu[24].
Kembali kepada hadits
pemabhasan, di muka tadi kami menerjemahkan (tidak sah pernikahan seorang
kecuali dengan wali). Terjemahan ini dikritik oleh Ustadz. A. Hassan
dalam Soal Jawab-nya hal. 254: “Hadits-hadits itu tidak boleh
diartikan begitu, karena kalau kita artikan tidak sah nikah dengan tanpa wali
niscaya berlawanan dengan beberapa hadits, diantaranya:
“Wanita janda lebih lebih berhak dengan
dirinya daripada walinya”. [25]
Kami jawab dengan tidak
mengurangi penghormatan saya dan pengakuan saya terhadap ilmu Ustadz A. Hassan-semoga Allah
merahmatinya-:
1. Terlebih dahulu kita
harus memahami sebuah kaidah yang populer di kalangan ulama bahwa nafi (peniadaan)
itu pada asalnya bermakna tidak ada, kemudian tidak sah, kemudian tidak
sempurna. Jadi apabila kita menjumpai dalam Al-Qur’an dan sunnah peniadaan
sesuatu, maka pada asalnya bermakna “tidak ada” terlebih dahulu, contohnya:
“Tidak ada pencipta alam kecuali Allah”
Kalau ternyata yang
ditiadakan itu wujudnya ada, maka kita artikan “tidak sah”. Contohnya:
“Tidak sah shalat orang yang tidak
membaca Al-Fatihah”
Di sini tidak mungkin diartikan “tidak ada” karena
memang wujud shalat itu ada.
Kalau tidak mungkin diartikan demikian, lantaran
suatu ibadah tetap sah tanpa adanya sesuatu tersebut, maka kita artikan tidak
sempurna, bukan tidak sah. Contohnya hadits:
“Tidak sempurna iman seorang sehingga
dia mencintai saudaranya apa yang dia cinta untuk dirinya”.
Di sini tidak mungkin
diartikan “tidak sah” karena keimanan seorang tetap ada sekalipun dia tidak
melakukan hal itu. [26]
Berangkat dari kaidah di
atas, maka terjemahan hadits pembahasan “La Nikaha Illa bi Wali” yang paling
tepat adalah kita terjemahkan “Tidak sah pernikan kecuali dengan wali”.
Kalau ada yang bertanya: Mengapa
tidak diartikan “tidak ada” atau “tidak sempurna” saja?! Kami jawab:
Tidak mungkin kita menerjemahkan seperti itu. Adapun terjemahan “tidak ada”,
maka sungguh tidak tepat sekali, karena kenyataan di dunia membuktikan bahwa
ada sebagian wanita yang menikah tanpa wali.
Sedangkan
terjemahan “tidak sempurna” inipun tidak tepat juga,
sebab selagi kita bisa mengartikannya dengan “tidak sah” maka kita tidak
mengartikannya dengan “tidak sempurna”, karena
inilah dzahir lafadz hadits dan urutan yang lebih pertama. Apalagi secara
tegas dalamhadits Aisyah dinyatakan “maka nikahnya batil,
batil, batil”. Lantas bagaimana kita akan mengatakan sah padahal Nabi
mengatakan batil alias tidak sah?
Jadi,
kita mengartikannya dengan “tidak sah” sampai ada dalil yang menunjukkan
tentang sahnya pernikahan tanpa wali.[27]
2. Adapun dalil yang digunakan oleh Ustadz A.
Hassan untuk merubah makna hadits ini, maka hal ini sangat lemah sekali
ditinjau dari beberapa segi:
a. Hadits pembahasan kita
adalah hadits yang muhkam dan jelas sekali, adapun hadits yang dibawakan oleh Ustadz
A. Hassan itu tidak jelas menunjukkan bahwa wanita janda boleh menikah tanpa wali. Maka bagaimana mungkin kita
meninggalkan dalil yang jelas karena dalil yang tidak jelas?!
b. Jawaban atas hadits ini
ditinjau dari dua segi:
Pertama: Maksud
hadits ini bukan berarti wanita janda boleh menikah tanpa wali, tetapi
maksudnya adalah bahwa wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dia
diajak musyawarah dan dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas
mungkin, tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali saja. Hal
ini sangat jelas sekali apabila kita mengamati hadits ini secara lebih
sempurna:
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: “Wanita janda itu
lebih berhak tentang dirinya daripada walinya, dan wanita gadis dimintai izin,
dan izinnya adalah diamnya”.
Hadits ini selaras
dengan hadits-hadits lainnnya seperti
Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda: “Wanita janda tidak dinikahkah sehingga diajak musyawarah,
dan anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izin”. Mereka bertanya: Wahai
rasulullah! Bagaimana izinnya? Dia menjawab: “Diamnya”.
Jadi nampak jelaslah
bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan keridhaan
wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.
Kedua: Perlu diketahui bahwa lafadz “dia lebih berhak” menunjukkan bahwa
kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih berhak daripada
walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk menikahkannya kecuali setelah
ridhanya. Berarti wali itu punya hak yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak
yaitu izin dan keridhaannya. Dengan demikian dapat kita padukan antara
keduanya, yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dalam akad.
Ibnul Jauzi berkata
dalam At-Tahqiq 8/292: “Adapun hadits (Ibnu Abbas), maka Nabi
menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya lebih berhak daripada
wali, karena memang tugas wali hanyalah melangsungkan akad pernikahan dan tidak
boleh baginya untuk menikahkan kecuali dengan izin si wanita”.[28]
c. Rawi hadits tersebut adalah sahabat Abdullah
bin Abbas, sedangkan pendapat beliau adalah mengatakan tidak sah pernikahan
kecuali dengan wali[29].
Dan kita tahu semua sebuah kaidah “perawi itu
lebih mengerti tentang maksud riwayat yang dia bawakan”.
C. NASEHAT DAN SERUAN
Syaikh Ahmad
Syakir berkata: “Tidak
diragukan lagi oleh seorangpun yang menggeluti ilmu hadits bahwa hadits “Tidak
sah pernikahan tanpa wali” adalah hadits yang shahih dengan
sanad-sanad yang hampir mencapai derajat mutawatir ma’nawi yang pasti maknanya.
Hal itu merupakan pendapat mayoritas ulama dan didukung oleh fiqih Al Qur’an,
tidak ada yang menyelisihi hal ini –sepengatahuan saya- kecuali para ahli fiqih
Hanafiyyah dan yang mengekor kepada mereka.
Bagi
ulama pendahulu, mereka masih memiliki udzur karena ada kemungkinan belum
sampai hadits ini kepada mereka, tetapi bagi orang belakangan, mereka telah
dibutakan oleh fanatik madzhab sehingga serampangan dalam melemahkan hadits
atau memalingkan artinya tanpa alasan yang kuat.
Kenyataan yang dapat
kita saksikan pada kebanyakan negera muslim yang berpegang pada madzhab
Hanafiyyah dalam masalah ini adalah kerusakan
akhlak dan kehormatan, sehingga menjadikan
pernikahan kebanyakan para wanita yang menikah tanpa wali adalah bathil dan
merusak nasab.
Saya menghimbau kepada
para ulama dan tokoh Islam di setiap negeri dan tempat untuk mengkaji ulang
tentang masalah krusial ini dan kembali kepada perintah Allah dan rasulNya
berupa persyaratan wali dalam nikah sehingga dengan demikian para wanita akan
terselamatkan dari mara bahaya yang menghadang mereka”. [30]
D. KESIMPULAN DAN
PENUTUP
Kesimpulan pembahasan ini ada dalam dua point
berikut:
1.
Hadits pembahasan adalah shahih dengan tiada keraguan di dalamnya.
2. Wali adalah syarat sah sebuah
pernikahan dan tidak sah pernikahan tanpa wali.
Akhirnya, demikianlah
keterangan singkat tentang pembahasan ini, semoga dapat menghilangkan kesamaran
dan membuat terang kebenaran, sehingga harapan kami kepada sebagian saudara
kami yang masih berpemahaman salah untuk mengkaji lagi masalah ini dan kembali
kepada jalan kebenaran. Alangkah bagusnya ucapan Ustadz A. Hassan -semoga
Allah merahmatinya- dalam Soal Jawab-nya hal. 262: “Kalau ada
keterangan kuat yang dapat merubah pendirian itu, saya tidak akan mundur untuk
menerimanya”.
Kami menyadari bahwa
beliau dalam hal ini telah berusaha semaksimal mungkin mencari titik kebenaran
dan kami juga menyadari bahwa beliau dalam hal ini mengikuti pendapat sebagian
ulama sebelumnya, tetapi kami juga menyadari bahwa kebenaran adalah di atas
segalanya sehingga tidak menutup pintu kritik terhadap pendapatnya, dan tidak
ada yang ma’shum dari kesalahan selain Rasulullah.
Kita tutup pembahasan
ini dengan ucapan Syaikh al-Albani: “Kenapa pendapat yang sesuai dengan hadits shahih ini
ditinggalkan hanya karena pendapat salah seorang dari imam kaum muslimin?!
Benar, kita menghargai pendapat para imam, tetapi pendapat itu memiliki arti
tatkala tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah. Semua kita membaca
dalam kitab-kitab ushul ucapan para ulama:
Apabila ada dalil maka gugurlah pendapat.
Apabila ada dalil gugurlah logika.
Tidak ada ijtihad apabila ada nash..
Semua kaidah ini telah
diketahui bersama. Lantas kenapa kita tidak menerapkan kaidah-kaidah ini, malah
menerapkan pendapat-pendapat yang menyelisihi sunnah?!”. [31]Dahulu juga pernah
dikatakan:
Tidak semua perselisihan
itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memiliki kekuatan dalil.[32]
Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi
abiubaidah.
[1] Al-Jami’ li Akhlaq Raw wa Adab Sami’i, al-Khathib
al-Baghdadi2/211.
[2] Shaidul Khathir hal. 399-400.
[3] Adab Thalab hal. 71.
[4] Lihat Al-Mughni Anil Hifdzi wal Kitab hal.
407 oleh Syaikh Umar bin Badr al-Mushili al-Hanafi dan Bada’I Shana’I’ 2/371 oleh
al-Kasani.
[5] Lihat Al-Mabsuth 3/10 as-Sarakhsi.
[6] Bahasan ini juga sekaligus
melengkapi makalah yang pernah ditulis oleh akhuna wa ustadzuna Abu Yusuf Ahmad
Sabiq “Nikah Sirri Dalam Timbangan Syar’I” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon
edisi 12/Th. 3
[7] Diramu dari Irwaul Ghalil 6/243/1840 oleh
al-Albani dan Junnatul Murtab hal.
407-418 oleh Abu Ishaq al-Huwaini dengan beberapa tambahan.
(Faedah): Al-Hafizh
Syarafuddin ad-Dimyathi memiliki buku khusus tentang jalur-jalur hadits ini
sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhis Habir 3/156. Dan sebagian penulis hadits masa kini,
Syaikh Muflih bin Sulaiman ar-Rusyaidi juga memiliki buku khusus tentang hadits
ini berjudul “At-Tahqiq Al-Jali
li Hadits La Nikaha Illa biwali”, cetakan Muassasah Qurthubah, Mesir.
[8] Lihat perincian takhrij
riwayat-riwayat ini dalam risalah “At-Tahqiq
al-Jaliy li Hadits Laa Nikaha ‘Illa bi Wali” oleh Syaikh Muflih bin
Sulaiman –semoga Allah membalas kebaikan padanya-.
[9] Diantaranya adalah Imam
ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani
Atsar 3/8, cet Darul Kutub Ilmiyyah.
[10] Lihat Ilal Hadits 1/408 Ibnu Abi
Hatim, al-Kamil Ibnu
Adi 3/1115, at-Talkhis Habir Ibnu
Hajar 3/157.
[11] at-Talkhis Habir Ibnu Hajar 3/157).
[12] Lihat pula Al-Muhalla Ibnu Hazm 9/453
dan at-Tahqiq Ibnul
Jauzi 8/273).
[13] Ucapan Imam Yahya bin Ma;in
dan Ibnu Hazm di atas tidak sepenuhnya benar, karena penelitian menunjukkan
bahwa telah shahih juga dari riwayat sahabat yang lain, hanya saja riwayat
Aisyah ini adalah riwayat yang paling shahih.
[14] Sekali-kali tidak, Sulaiman
bin Musa bukanlah rawi Imam Bukhari. (Irwaul
Ghalil al-Albani 6/246), yang benar sanad hadits ini adalah hasan
dan bisa naik kepada shahih karena adanya beberapa penguat lainnya.
[15] Ibnu Abdil Hadi membantah
dalam At-Tanqih 3/261
bahwa Sulaiman rawi yang hasan, bukan perawi Bukhari Muslim.
[16] Irwaul Ghalil 6/246).
[17] Lihat pula Bulughul Maram hal. 70 oleh
al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq Samir az-Zuhairi, cet kedua.
[18] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/345 menukil dari
al-Marrudzi: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in tentang
hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”, lalu keduanya menjawab:
Shahih”. Saya berkata: Dan dishahihkan juga oleh Imam Muhammad bin Nashr
al-Marwazi dalam kitabnyaIkhtilaf
Ulama hal. 121, al-Baihaqi, Dhiya’ dan banyak ahli hadits
sebagaimana dalam Subulus Salam ash-Shan’ani
6/26, an-Nawawi dalam Syarh
Muslim 9/208, bahkan sebagian ulama menilainya mutawatir seperti
as-Suyuthi seebagaimana dinukil oleh al-Munawi dalam Faidhul Qadir 6/437 dan
al-Kattani dalam Nadhmul
Mutanatsir hal. 157-158. Wallahu A’lam.
[19] Al-Hafizh adz-Dzahabi juga
berkata dalam Siyar Nubala’ 7/359:
“Saya lebih condong mendahulukan Israil pada riwayat kakeknya daripada Syu’bah
dan Tsauri, sebab Israil adalah kepercayaan kakeknya. Disamping ilmu dan
hafalannya yang kuat, beliau juga orang yang khusyu’ dan shalih”. Kemudian saya
mendapati keterangan Imam Ibnu Qayyim yang sangat bagus dalam Tadzib Tahdzib 6/74 -Aunul
Ma’bud-, beliau menguatkan riwayat Israil ini ditinjau dari lima segi.
Walhamdulillah.
[20] Lihat Sunan Kubra al-Baihaqi
7/107, At-Tanqih Ibnul
Jauzi 8/270-290, Nasbur Rayah az-Zailai’I
3/341-349,Talkhis Habir Ibnu
Hajar 3/1173-11735, Irwaul Ghalil al-Albani6/235-243, Junnatul Murtab Abu Ishaq
al-Huwaini 418-429.
[21] Lihat faedah-faedah hadits ini
dalam Ma’alim Sunan al-Khothobi
3/196-197
[22] Syarh Sunnah 9.40-41.
[23] Syarh Ma’ani Atsar ath-Thhawi 3/7.
[24] Adapun hikmah dari syarat wali
nikah bagi wanita adalah menjaga kaum wanita karena mereka mudah tertipu oleh
kaum lelaki. (Al-Mughni 9/347 Ibnu Qudamah). Diantara hikmahnya juga adalah
untuk membendung jalan perzinaan, karena seorang pezina dengan amat mudahnya
nanti akan mengatakan kepada wanita: “Nikahilah aku dengan sepuluh dirham” dan
saksinya adalah kedua temannya!! (I’lam
Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 5/59).
[25] HR. Muslim 1421
[26] Syarh Mumti’ 1/158-159 oleh Ibnu Utsaimin).
[27] Lihat I’lam Muwaqqi’in Ibnu Qayyim 6/175, Faidhul Qadir al-Munawi
6/4371, Subulus Salam ash-Shan’ani6/27,Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin2/70).
[28] Lihat pula Al-Hawi Al-Kabir al-Mawardi11/65, Syarh Shahih Muslim Nawawi
9/208, Subulus Salam ash-Shan’ani
6/37.
[29] Lihat Mu’jam Kabir ath-Thabrani 12483.
[30] Umdah Tafsir 2/123
[31] Ath-Thasfiyah wa Tarbiyah hal. 25.
[32] Ucapan Abul Hasan bin
al-Hashshar dalam qashidahnya tentang surat makiyah dan madaniyah di kitabnyaAn-Nasikh wal Mansukh. Lihat Al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24
oleh al-Hafizh as-Suyuthi.