Perjuangan gigih para
ulama’ salaf dalam membela aqidah dari qoncangan faham-faham hitam Jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga
begitu banyak kitab para ulama yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah” (Bantahan Terhadap Jahmiyyah) seperti yang ditulis
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Sa’id
Ad-Darimi, Ibnu Mandah, Ibnu Baththah dan lain sebagainya.
Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim rahimahullah yang telah berkata:
“Pertempuran antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat
daripada pertempuran antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[1]
Munculnya ide pembahasan
ini karena merebaknya para pengibar bendera Jahmiyyah di negeri ini. Sebagai
contoh, Dr. M. Quraish Shihab yang
mengatakan dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an” hal. 371-372 cet. Al-Mizan[2], Bandung pada judul “Selamat Natal[3] Menurut Al-Qur’an!!!”:
“Nabi SAW[4] sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak
sekalipun bertanya “Di mana Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi
itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang
mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi SAW…”.
Pada pembahasan kali
ini, sebagai pembelaan terhadap hadits Nabi صلى الله عليه و سلم dan penjagaan
umat dari goncangan kerancuan aqidah, penulis melakukan penelitian terhadap
salah satu hadits tentang masalah penting ini secara riwayah dan dirayah. Semoga Allah menjadikannya
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
·
TEKS
HADITS
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ
رضي الله عنه قَالَ: …وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ
أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ, فَإِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ
ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا, وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ, آسَفُ كَمَا
يَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً, فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم عليه و سلم فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ,
أَفَلاَ أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِيْ بِهَا, فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟
قَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ, قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ,
قَالَ: فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.
Dari
Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki
seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan
Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor
serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga
marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya
datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau
menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya
merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas
langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa
saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang
wanita mukminah”.
A.
Takhrij Hadits
Seluruh jalan hadits ini
melewati dua jalur berikut:
- Jalur Imam Malik bin Anas – Hilal bin Ali bin Abu Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
- Jalur Yahya bin Abi Katsir – Hilal bin Ali bin Abi Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
Adapun perinciaan
takhrij hadits ini sebagai berikut:
1.
Jalur Imam Malik
Hal ini sebagaimana
riwayat beliau sendiri dalam Al-Muwatha (2/772/no.8),
Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah (no.
242 -Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir-), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh Al-Mizzi, Utsman bin Said
Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala
Jahmiyyah (no. 62), Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid(hal. 132 -Tahqiq Syaikh
Khalil Haras-), Al-Baihaqi dalam Sunan
Kubra (10/98/no. 19984), Al-Baghawi dalamSyarh Sunnah (9/246/no. 2365), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/69-70) dan
Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi
Bayanil Mahajjah (2/102/no. 57).
(Faedah)
Dalam sanad imam Malik
tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’
menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam pembela sunnah,
As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang
benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya
menduga bahwa Malik tidak hafal namanya”.[5]
Imam Ibnu Abdil Barr
berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’
dari Umar bin Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam
hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli
hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah
Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang meriwayatkan
hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang
terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan
bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”.[6]
2.
Jalur Yahya bin Abi Katsir
Sepanjang penelitian
saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut
perinciannya:
Hajjaj
bin Abu Utsman Ash-Shawwaf
·
Diriwayatkan imam Ahmad
dalam Musnadnya (5/448),
Al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah (hal.
70), Abu Daud (no. 931 dan 3282), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132),
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3/237-239/no.
726) dan At-Thabrani dalamAl-Mu’jamul
Kabir (19/398/no. 938) dari Yahya bin Sa’id Al-Qhoththon dari
Hajjaj dengannya.
·
Dan diriwayatkan Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (6/162/no.30333)
dan al-Iman (84),
Muslim dalam Shahihnya (no. 537), Ahmad (5/447), Abu Daud (no. 931), Ibnu
Hibban (165), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.61), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (490) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (no.212 -Ghautsul
Makdud oleh Al-Huwaini-) dari Ismail bin Ibrahim (bin ‘Ulayyah) dari Hajjaj
dengannya.
(Faedah)
Dalam kitab “Juz’ul Qira’ah” hal. 20 oleh
imam Bukhari cet. Darul Kutub ‘Ilmiyyah tertulis begini Yahya bin Hilal ( حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ هِلاَلٍ). Ini adalah keliru yang benar adalah
Yahya ‘an (dari) Hilal (حَدَّثَنَا يَحْيَ عَنْ هِلاَلٍ). Yahya namanya adalah Yahya bin Abi
Katsir dan Hilal namanya adalah Hilal bin Ali bin Abi Maimunah. Wallahu A’lam.
Al-Auza’i
- Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (537), Abu Awanah dalam al-Mustkhraj (2/141), Nasa’i dalamSunan Sughra (3/14-18/no.1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal.121), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.937), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Kubra (10/98/19984) dan Al-Asma’ wa Sifat(2/326/890-891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/71) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/no. 69).
Aban
bin Yazid Al-Aththar
- Diriwayatkan Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim (2/1141), At-Thoyyalisi dalam Musnadnya(1105), Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (489), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 60) dan Naqdh Alal Marisy (122), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (939), Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891) dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah (3/434-435/no. 652).
Hammam
bin Yahya
- Diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (5/448).
Hadits ini juga memiliki syawahid (penguat)
dari sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah Al-Ghanawi dan
Abdur Rahman bin Hathib secara mursal.[7]
B.
Komentar Para Ulama’ Ahli Hadits
Hadits ini disepakati
keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Berikut sebagian komentar
mereka:
- Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata: “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan lainnya. Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafadz Nabi n yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!..”.[8]
- Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”.[9]
- Imam Al-Baghawi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj”.[10]
- Imam Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah shahih dari Nabi n bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas langit….”.[11]
- Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”.[12]
- Imam Adh-Dzahabi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif”.[13]
- Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”.[14]
- Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”.[15]
- Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata
وَهَذَا الْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بِلاَ رَيْبٍ لاَ
يَشُكُّ فِيْ ذَلِكَ إِلاَّ جَاهِلٌ أَوْ مُغْرِضٌ مِنْ ذَوِيْ الأَهْوَاءِ
الَّذِيْنَ كُلَّمَا جَاءَهُمْ نَصٌّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ يُخَالِفُ مَاهُمْ
عَلَيْهِ مِنَ الضَّلاَلِ حَاوَلُوا الْخَلاَصَ مِنْهُ بِتَأْوِيْلِهِ بَلْ
تَعْطِيْلِهِ, فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُمْ ذَلِكَ حَاوَلُوْا الطَّعْنَ فِيْ
ثُبُوْتِهِ كَهَذَا الْحَدِيْثِ فَإِنَّهُ مَعَ صِحَّةِ إِسْنَادِهِ وَتَصْحِيْحِ
أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ إِيَّاهُ دُوْنَ خِلاَفٍ بَيْنَهُمْ فِيْمَا أَعْلَمُهُ
“Hadits
ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu kecuali
orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiapkali datang pada mereka dalil
dari Rasulullah n yang menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka langsung
berusaha membebaskan diri darinya dengan mentakwil, bahkan meniadakannya. Dan
apabila mereka tidak mampu, maka mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya
seperti hadits ini yang shahih sanadnya serta dishahihkan oleh seluruh ulama’
ahli hadits tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan mereka sepanjang
pengetahuan saya”.[16]
·
Setelah takhrij dan
komentar para ulama ahli hadits diatas[17], kita dapat mengetahui bagaimana kadar ilmu DR. Quraish Syihab!!
-semoga Allah memberinya hidayah- tentang ilmu hadits. Ataukah memang dia
sengaja berusaha untuk menyebarkan racun pemikirannya kepada orang-orang
awam?!. Tidak..Tidak …Demi Allah, pasti akan ada pejuang kebenaran yang akan
menepis kerancuan fahamnya.
لاَ تَزَالُ
طاَئِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ
خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُاللهِ
Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tegak diatas Al-Haq, orang yang melecehkan mereka tidak
akan membahayakan mereka sehingga datang hari kiamat[18].
(Faedah)
Lafadz fi (فِيْ) dalam
hadits bermakna ‘ala (عَلَى) yakni diatas, bukan bermakna zharaf
(di dalam) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abdil Barr[19] dan Al-Baihaqi[20]. Hal ini semakna dengan firman Allah:
ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ
فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Apakah kamu merasa aman terhadap Yang
di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga
dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. (QS. Al-Mulk: 16).
قُلْ سِيرُوا فِي اْلأَرْضِ
ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Katakanlah: “Berjalanlah di atas muka
bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
itu”. (QS. Al-An’aam:
11).
Demikian juga semakna
dengan hadits:
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ
تَبَارَكَ وَتعَالَى, ارْحَمُوْا مَنْ فِيْ الأَرْضِ
يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ
Orang-orang
yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah (makhluk) yang
di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi kalian[21].
Demikianlah penafsiran
Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang beriman dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir
yang menetapkan Allah di atas langit. Tidak ada penafsiran yang benar selain
ini.[22]
·
FIKIH
HADITS
Hadits ini memiliki
beberapa faedah yang sangat banyak sekali, namun agar tidak terlalu
panjang, maka kita cukupkan dua faedah saja yaitu:
- Disyariatkannya pertanyaan: Di mana Allah?
- Imam Ad-Dzahabi berkata:
فَفِيْ الْخَبَرِ مَسْأَلَتَانِ:
إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُ قَوْلِ
الْمُسْلِمِ أَيْنَ اللهُ؟
وَثَانِيْهَا: قَوْلُ الْمَسْؤُوْلِ: فِيْ
السَّمَاءِ. فَمَنْ أَنْكَرَ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَإِنَّمَا يُنْكِرُ
عَلَى الْمُصْطَفَى n
Dalam
hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama:
Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?
Kedua:
Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua
masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[23].
Syariat pertanyaan
“Dimana Allah?” ini dikuatkan oleh hadits dan atsar sebagai berikut:
- Hadits
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا
رَسُوْلَ اللهِ ! أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ؟ قَالَ
:كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَمَا ثَمَّ
خَلْقٌ, عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Dari Abu Razin berkata: Saya pernah
bertanya: Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya? Nabi
menjawab: Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di
atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsNya di atas air”. [24]
- Atsar
Dari Zaid bin Aslam bercerita: “Ibnu
Umar pernah melewati seorang pengembala kambing lalu berkata: Hai pengembala
kambing, adakah kambing yang layak untuk disembelih? Jawab si pengembala
tersebut: “Tuan saya tidak ada di sini”. Ibnu Umar mengatakan: “Bilang saja
sama tuanmu bahwa kambingnya dimakan oleh serigala! Pengembala itu lalu
mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan: “Lalu dimana Allah?”! Ibnu
Umar berkata: Demi Allah, sebenarnya saya yang lebih berhak mengatakan: Dimana
Allah? Kemudian beliau membeli pengembala serta kambingnya, membebaskannya dan
memberinya kambing[25].
·
Abdul
Ghoni al-Maqdisi berkata
mengomentari hadits ini: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta
tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya
di mana Allah setalah ketegasan pembuat syari’at dengan perkataannya dimana
Allah?!”.[26]
·
Imam
Ibnu Qoyyim juga berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bertanya: “Di mana Allah?” Lalu dijawab oleh yang
ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi n pun kemudian ridha akan
jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau
juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah,
mereka menganggap bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan:
Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya
dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”.[27]
·
Syaikh
Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan: “Pendapat yang benar menurut ahli sunnah adalah
mensifati Allah dengan sifat uluw (tinggi) yaitu diatas arsy berdasarkan
dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dan boleh juga menurut ahlu sunnah bertanya:
“Dimana Allah” sebagaimana dalam Shahih Muslim Nabishallallahu a’laihi wa sallam bertanya kepada budak
perempuan: “Dimana Allah?” Jawabnya: “Di atas langit”.[28]
·
Syaikh
Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani juga berkata: “Hadits ini merupakan cemeti dahsyat
bagi orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau
tidak bertanya kepada seorang diantara mereka dengan pertanyaan di mana Allah?
Kecuali mereka langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa
sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melindungi kita
semua dari ilmu kalam (filsafat)”.[29]
·
Abu
Ubaidah -semoga Allah
menambahkan ilmu baginya- berkata: “Perhatikanlah perkataan para ulama’ di atas
lalu bandingkan dengan ucapan mayoritas para tokoh agama zaman sekarang yang
jauh lebih jahil daripada budak wanita diatas, dimana mereka mengatakan: “Allah
ada dimana-dimana” bahkan mengatakan: Pertanyaan “Dimana Allah” itu adalah
bid’ah. Ironisnya, aqidah sesat bin menyesatkan ini ditanamkan kepada anak-anak
dan murid-murid yang lugu, tak mengerti apa-apa. Saya masih teringat pada bulan
Ramadhan 1423H, saya pernah diundang untuk sebagai pemateri di sebuah sekolah
Islam. Ketika saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana “Dimana Allah?” ini
kepada mereka, ternyata tak seorang siswa maupun siswi-pun yang dapat menjawab
secara benar bahkan seorang diantara mereka mengatakan: “Kata pak guru,
bertanya seperti itu enggak boleh!!!”.
Wallahul Musta’an
- Allah berada di atas langit
·
Imam
Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam
hadits ini terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah
itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda
tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa
Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat
bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap
tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana
tidak mungkin disifati “dimana”. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana
anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”.[30]
·
Memang sederhana
soalnya, tapi sungguh aneh bin ajaib jawabannya. Bagaimana tidak? Seandainya
Anda mau berkeliling Indonesia mengajukan satu pertanyaan sederhana ini,
niscaya Anda akan mendengarkan berbagai macam jawaban yang beraneka ragam;
Alloh ada di mana-mana… Alloh tidak di atas tidak di bawah… Alloh tidak di
kanan tidak di kiri… Alloh ada di hatiku… dan sederet jawaban lainnya.
Ironisnya, mayoritas dari para penjawab yang konyol itu adalah orang-orang yang
notabene intelektual, ulama, kyai, atau kaum terpelajar. Bagaimanakah
sebenarnya masalah ini? Mari kita ikuti ulasan berikut ini
- Dalil-Dalil Bahwa Allah di Atas Arsy
Sungguh tidak syak (ragu) lagi terutama bagi
orang yang mau membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi n/ serta
kitab-kitab ulama kita bahwa Alloh berada di atas ‘arsy (singgasana)-Nya di atas langit. Berikut ini
dalil-dalilnya.
·
Dalil
dari al-Qur’an
Banyak sekali dalil-dalil
al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:
Kadang dengan lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas
‘arsy. Seperti firman Alloh:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ
Dan Alloh Maha Tinggi
lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah: 255)
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ar-Rahman (Yang Maha
Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)
Kadang juga dengan
naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik,
dan amal shalih dinaikkan-Nya.
(QS. Fathir: 10)
تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ إِلَيْهِ
Malaikat-malaikat
dan Jibril naik kepada-Nya.
(QS. al-Ma’arij: 4)
Kadang lagi dengan
turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Alloh:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ
بِالْحَقِّ
Katakanlah Ruh Qudus
(Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar.
(QS. an-Nahl: 102)
·
Dalil
dari as-Sunnah
Ketinggian Alloh di atas
langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan). Seperti
sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ
عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ
Sesungguhnya Alloh tatkala menetapkan
penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan
kemarahan-Ku.” [31]
Dan juga sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فيِ
السَّمَاءِ
Dan telah tetap pula
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat khutbah di
Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan
dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Ya Alloh saksikanlah.”[33]
·
Ijma’
(Kesepakatan) Para Ulama
Para sahabat, para
tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian
Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Perkataan mereka
sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:
- Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan, Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”[34
- Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” [35]
- I’tiqad salafiyah ini merupakan syi’ar salafiyun, ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang, bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di atas tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di mana Alloh”!!
- Imam Syafi’i berkata:
الْقَوْلُ فِيْ السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا
عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ مِثْلُ سُفْيَانَ
وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ …
Aqidah yang saya
yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan,
Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidaka ada sesembahan yang
berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di
atas arsy-Nya yakni di atas langitnya. (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)
- Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya:
وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ (
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )
Dan bahwasanya Allah
di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.
Pada hal. 69-76, beliau
memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas
arsy. Di antara perkataan beliau:
وَرَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا
يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ -إِذَا دَعَوْا- نَحْوَ السَّمَاءِ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ
وَجَلَّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ الَّذِيْ هُوَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ, فَلَوْلاَ
أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ لَمْ يَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ نَحْوَ الْعَرْشِ
Dan kita melihat
seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke
arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit.
Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat
tangannya ke arah arsy.
وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ
وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ
أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ
الدِّيْنِ, تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
Dan kaum Mu’tazilah,
Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal
ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC.
Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.
Oleh karenanya, saya
tidak mengerti, sebenarnya saudara-saudara kita yang berfaham Allah
dimana-dimana, siapa sebenarnya yang mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf,
ataukah…?!! Fikirkanlah!
·
Dalil
Akal
Setiap akal manusia yang
masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya. Hal
tersebut dapat ditinjau dari dua segi:
Pertama: Ketinggian Alloh merupakan sifat yang
mulia bagi Alloh.
Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang
rendah merupakan sifat yang kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat
yang rendah.
·
Dalil
Fithrah
·
Sesungguhnya Alloh telah
memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan
ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a
kepada Alloh, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia
yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
·
Pernah dikisahkan bahwa
suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Alloh
tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas
bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata, “Wahai
ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di
hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak
dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung,
al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”[36] Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Alloh dan kembali
ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti
jejak beliau.
·
Sebenarnya masih sangat
banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini, semua ini telah dijelaskan oleh para
ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas
masalah ini dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil Azhim.
·
Semoga Alloh merahmati
Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18
segi dalil–, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri,
maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil[37]. Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya
menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh sangatlah mustahil mereka mampu
menjawabnya.” [38]
SYUBHAT
DAN BANTAHANNYA
Adapun syubhat yang
dilontarkan oleh Dr. Quraish Syihab: “Karena
ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya
dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam …”.
Jawaban:
Apabila yang
maksud “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu
setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan
sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin
dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan
kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah f berfirman:
وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ
وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ
مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan
Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).
Dan telah shahih dalam
Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:
يَقْبِضُ اللهُ بِالأَرْضِ وَيَطْوِيْ
السَّمَاوَاتِ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوْكُ
الأَرْضِ؟
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan
tangan kanan-Nya kemudian berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja
bumi?”
Adapun apabila maksud
“tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni diluar alam semesta, maka
Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan
makhluk.
Kemudian, khabarkanlah
padaku: Apabila tuan mengingkari ketinggian Allah, lantas saya bertanya kepada
tuan tentang keyakinan tuan: “Dimanakah Allah?”. Saya sangat yakin bahwa
jawaban tuan tidak keluar dari dua hal:
Pertama:
Allah ada dimana-mana
Faham yang satu ini
banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin sekarang ini. Padahal tahukah mereka
pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Faham ini dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah
dan Mu’tazilah. Imam Ahmad bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan
faham ini dalam kitabnya “Ar-Rad
‘ala Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau
ingin mengetahui kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah
dimana-mana dan tidak berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah
dahulu hanya Allah saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab:
“Benar” Lalu katakanlah padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu,
apakah Dia menciptakannya pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia
tidak akan keluar dari tiga hal:
1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan
makhluk pada diri-Nya, maka ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap
bahwa Jin, manusia, syetan dan iblis pada diri Allah!
2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka
di luar diri-Nya kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran
karena dia menganggap bahwa Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan
kotor!
3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka
di luar dari diri-Nya kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah
pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. [40]
Konsekuansi faham sesat
“Allah dimana-mana” ini sangatlah batil sekali yaitu Allah berada di
tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk sebagaimana
diceritakan dari Bisyr Al-Mirrisyi tatkala dia mengatakan: “Allah berada di
segala sesuatu”, lalu ditanyakan padanya: Apakah Allah berada di kopyahmu ini?!
Jawabnya: Ya, ditanyakan lagi padanya: Apakah Allah ada dalam keledai?!
Jawabnya: Ya!!!
Perkataan ini sangatlah
hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah sebagian ulama’ salaf
mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan Yahudi dan Nasrhani tetapi
kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!
Kedua: Allah tidak di
atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak dikiri, tidak di depan, tidak di
belakang, tidak di dalam, tidak di luar, tidak bersambung, tidak berpisah
sebagaimana keyakinan ahli kalam (filsafat).
Ucapan di atas
jelas-jelas menunjukkan bahwa Allah tidak ada. Inilah ta’thil (peniadaan) yang
amat nyata. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Alangkah indahnya
perkataan Mahmud bin Subaktukin terhadap orang yang mensifati Allah dengan seperti
itu: “Bedakanlah antara Allah yang engkau tetapkan dengan sesuatu yang tidak
ada![41]. Oleh karena itulah, sebagian ulama’ salaf juga mengatakan:
الْمُجَسِّمُ
يَعْبُدُ صَنَمًا وَالْمُعَطِّلُ يَعْبُدُ عَدَمًا
Al-Mujassim itu menyembah patung dan
Al-Mua’tthil menyembah sesuatu yang tidak ada
Walhasil, kedua jawaban
diatas merupakan kebatilan yang tidak samar lagi bagi orang yang beri hidayah
oleh Allah. Semoga Allah merahmati Al-Allamah Ibnu Qayyim tatkala mengatakan
dalam qasidahnya “An-Nuniyyah”(2/446-447
-Taudhihul Maqasid cet. Mkt Islami):
Allah Maha besar, tidak ada satu makhlukpun di
atas-Nya
Allah
Maha besar, arsy-Nya meliputi langit dan bumi demikian pula kursi-Nya
Allah
di atas arsy dan kursi, tak bisa dijangkau oleh fikiran manusia
Janganlah
engkau membatasinya pada satu tempat dengan ucapan kalian: “Allah ada di setiap
tempat” Dengan
modal kejahilan, kalian mensucikan Allah dari arsy-Nya padahal kalian membatasinya
pada satu tempat Janganlah
kalian tiadakan Allah dengan ucapan kalian: “Allah tidak di dalam dan tidak
pula di luar alam” Allah
Maha besar, Dia telah membongkar tirai kalian dan nampak bagi orang yang punya
dua mata Allah Maha besar, Dia
suci dari penyerupaan dan peniadaan, kedua sumber kekufuran.
KONTRADIKSI
ARGUMEN Dr. M. QURAISH SHIHAB
Setelah anda mengetahui
bahwa Dr. M. Quraish Shihab mengingkari ketinggian Allah dalam bukunya
“Membumikan Al-Qur’an”. Anehnya, kalau kita cermati bersama dan kalau saja DR.
M. Quraish Shihab juga mau mencermati, maka akan kita jumpai dalil-dalil yang
menolak fahamnya. Diantaranya:
Dalam “Membumikan
Al-Qur’an” hal. 338-345, Dr. Quraish Syihab mengulas makna Isra’ Mi’raj. Dia menetapkan adanya peristiwa
Isra dan Mi’raj serta membantah gugatan kaum empirisis dan rasiaonalis yang
memustahilkannya seraya mengatakan: “Memang, pendekatan yang paling tepat untuk
memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar
ash-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: Apabila Muhammad
memberitakannya, pastilah benar”.
Alangkah indahnya ucapan
ini!! Namun sayangnya, mengapa beliau tidak menerapkan hal yang sama dalam
masalah ketinggian Allah ini?! Bukankah dalam peristiwa Isra Mi’raj terdapat
pelajaran berharga tentang ketinggian Allah?!! Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini
terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang
yang menceramatinya”.[42] Semoga saya dan anda termasuk orang-orang yang bisa
mencermatinya.
Dalam “Membumikan
Al-Qur’an” hal. 314 pada judul Lailatul Qadr, Dr. Quraish Shihab membawakan dalil:
تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ
رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr: 4).
Ayat mulia ini juga
kalau kita mencermatinya dengan baik merupakan salah satu dalil tentang
ketinggian Allah, karena para Malaikat dan Jibril yang berada di dekat Allah
turun pada malam Lailatul Qadr, sedang kita faham semua bahwa makna kata turun
berarti dari sesuatu yang tinggi ke tempah yang lebih rendah. Semoga Allah
menjadikan kita manusia yang berakal.
TUDUHAN
DAN JAWABANNYA
Satu pembahasan lagi
yang perlu diselesaikan yaitu tuduhan keji yang keluar dari mulut kotor ahli
bid’ah terhadap ahli haq yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit
disebut dengan kaum “Musyabbihah” atau “Mujassimah”. Dalam buku “Aqidah
Ahli Sunnah wal Jama’ah” oleh KH. Sirajuddin Abbas dan dicopi oleh KH. Ach. Masduqi dalam “Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah” hal. 83 dikatakan
demikian: “Golongan Musyabbihah ini juga dinamakan golongan Mujassimah.
Golongan ini mempunyai I’tiqad yang bertentangan dengan golongan ASWAJA, antara
lain:
- Tuhan itu berada di atas langit.
- Menurut golongan ASWAJA, Tuhan itu tidak berada di atas langit”.
Dan pada hal. 84,
penulis ini mengatakan: “Pada mulanya Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab
Hanbali dan banyak pengetahuannya dalam bidang fiqih dan ushuluddin. Akan
tetapi sayang sekali beliau terpengaruh oleh faham golongan
Musyabbihah/Mujassimah yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk…”.
Jawaban:
Tuduhan seperti sudah
tidak aneh lagi bagi kami karena memang demikianlah kebiasaan ahli bid’ah
semenjak dahulu hingga sekarang. Semoga Allah merahmati imam Abu Hatim Ar-Razi
yang telah mengatakan:
وَعَلاَمَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ : الْوَقِيْعَةُ
فِيْ أَهْلِ الأَثَرِ وَعَلاَمَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنْ يَسُمُّوْا أَهْلَ
السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً
Tanda
ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari
ahli sunnah dengan Musyabbihah. [43]
Ishaq
bin Rahawaih mengatakan:
عَلاَمَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ
عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مَا أُوْلِعُوْا مِنَ الْكَذِبِ أَنَّهُمْ
مُشَبِّهَةٌ بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ
Tanda
Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan
gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah
(meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah). [44]
Adapun tuduhan
terhadap Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah bahwa beliau
termasuk golongan Mujassimah atauMusyabbihah,
dengarkanlah perkataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sendiri:
“Kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah dan sejenisnya
dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh orang-orang yang menetapkannya
dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah, bahkan diantara mereka ada yang menuduh
para imam populer seperti Malik, Syafi’I, Ahmad dan para sahabatnya dengan
gelar Mujassimah dan Musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu Hatim,
penulis kitab “Az-Zinah” dan sebagainya”.[45]
- Padahal, kalau mau dicermati, ternyata tuduhan “Mujassimah” itu sebenarnya mereka sendiri yang pantas menerimanya (senjata makan tuan). Mengapa demikian? Karena orang yang berfaham bahwa Allah berada di setiap tempat, dia telah membatasi Allah pada tempat yang terbatas. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
- Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Allah di atas langit, tidaklah melazimkan tajsim (membentuk).Mengapa demikian? Karena perkataan kita: “Allah tinggi di atas arsy dan berpisah dari makhluknya” tidaklah berkonotasi membatasi Allah pada satu tempat, sebab tempat itu sesuatu yang terbatas di langit dan bumi serta antara keduanya, sedangkan di atas arsy tidak ada tempat.[46]
[1] Ijtima’ Al-Juyusy
Al-Islamiyyahhal. 96
[2] Penerbit Mizan, Bandung ini banyak menerbitkan buku-buku
berbahaya, sesat dan menyesatkan kaum muslimin. Waspadalah!!
[3] Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Ahkam Ahli Dzimmah 1/205:
“Mengucapkan selamat kepada orang kafir hukumnya haram menurut kesepakatan
ulama seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran,
maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi
selamat atas sujud mereka terhadap salib”. (Lihat pula Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/75)
[5] Ar-Risalah (hal.
76),
[6] At-Tamhid (9/67-68)
Lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/84)
dan Tanwir Hawalik (3/5)
oleh as-Suyuthi.
[7] Lihat As-Sunnah Ibnu
Abi Ashim (hal. 226-227 -Dhilalul Jannah Al-Albani-) atau (1/344 -Tahqiq Dr.
Basim Al-Jawabirah-) dan Silsilah
Ahadits As-Shahihah no. 3161 oleh Syaikh Al-Albani.
[8] Silsilah Ahadits
As-Shahihah (1/11)
[9] Al-Asma’ wa Sifat (hal.
532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)
[10] Syarh Sunnah (3/239)
dan (9/247
[11] Al-Hujjah fi
Bayanil Mahajjah (2/118)
[12] Itsbat Sifatil Uluw hal.
47
[13] Al-Uluw lil
‘Aliyyin Adzim 1/249, tahqiq Abdullah bin Shalih al-Barrok
[14] Fathul Bari (13/359)
[15] Al-Qowashim wal ‘Awashim 1/379-380
[16] Mukhtashar Al-Uluw hal.
82
[17] Setelah itu,
penulis mendapatkan dua kitab khusus tentang pembelaan hadits ini, yaitu
buku Aina Allah? Difa’ ‘an Hadits
Jariyah Riwayah wa Dirayah oleh Syaikh Salim al-Hilali dan
risalah Takhilul Ain bi Jawaz
Sual ‘anillah bi Ain oleh DR. Shadiq bin Salim bin Shadiq. Bagi
yang ingin memperluas lagi pembhasan hadits ini, kami persilahkan membaca dua
risalah ini. Dan sebagai amanat juga, kita harus mengingatkan pembaca
dari para ahli bid’ah yang berusaha untuk mementehkan hadits ini seperti
al-Kautsari, al Ghumari, as-Saqqof dan lain sebagainya, bahkan as-Saqqof
memiiki buku berjudul “Menyuntik
Pe-mahaman Dangkal Tentang Peniadaan Lafazh Dimana Allah dalam Hadits Jariyah
(budak wanita)” sebagaimana dalam Kutub Hadzdzara minha UlamaI/300, Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[18] Mutawatir. Sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dalam Iqtidha’ Shirath
Mustaqim 1/34, as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 216, al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 93,
az-Zabidi dalamSamtul Aali hal.
68-71, al-Albani dalam Shalatul
I’dain hal. 39-40. (Lihat Bashair Dzawi Syaraf hal. 87-98 oleh Salim al-Hilali).
[19] At-Tamhid (7/129,
130, 134)
[20] Al-Asma’ wa Sifat (377)
[21] Shahih. HR. Abu Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad
(2/160), Al-Humaidi (591), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/159). Dan
dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain sebagainya.
Lihat As-Shahihah 3/594-595/922
oleh Al-Albani).
[22] Lihat Silsilah
Ahadits As-Shahihah 6/474-475 oleh Al-Albani.
[23] Al-‘Uluw lil
‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)
[24] HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39
-Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr
dalam At-Tamhid (7/137).
Lihat As-Shahihah 6/469).
[25] Shahih. Riwayat At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (12/263/13054)
dan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam As-Shahihah 6/470 dan Muhktasar Al-Uluw hal. 127.
[26] al-Iqtishod fil
I’tiqod hal. 89
[27] I’lamul Muwaqqi’in (3/521)
[28] Ta’liq Fathul Bari (1/188)
[29] dalam Irwaul
Ghalil (1/113)
[30] Ar-Radd ala
Jahmiyyah hal. 46-47
[31] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751
[32] HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064
[33] HR. Muslim 1218
[34] Shahih. Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi
dalam al-‘Uluw hal.
102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani.
[35] Shahih. Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi
dalam ar-Radd ala Jahmiyyah hal.
47.
[36] Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala 18/475, al-‘Uluw hal. 276-277 oleh adz-Dzahabi
[37] Sebagian pembesar sahabat Syafi’I berkata: “Dalam Al-Qur’an
terlebih seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas
para hambaNya”. (Majmu Fatawa Ibnu
Taimiyyah 5/121)
[38] Syarh Aqidah
Thahawiyah hal. 386.
[39] Muqaddimah
Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.
[40] Lihat pula Ijtima’
Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 76-80 oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
[41] Lihat At-Tadmuriyyah hal.
41 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[42] Syarh Aqidah
ath-Thahawiyyah 1/277
[43] Syarh Ushul I’tiqad
Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390.
[44] Syarh Ushul
I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi
Al-Hanafi.
[45] Minhajus Sunnah (2/75)
[46] Lihat “Al-Jama’at
Al-Islamiyyah” hal. 230 oleh Salim Al-Hilali.