Membedah
Kekeliruan Kaum Sufi
dalam
Memahami Hadits Wali
disusun oleh
A. Pengantar
Sesungguhnya
membela kemurnian agama dan membantah para ahli bid’ah dengan argumen dan
hujjah merupakan kewajiban yang amat mulia dan landasan utama dalam agama. Oleh
karenanya, para ulama salafush shalih lebih mengutamakannya daripada ibadah
sunnah, bahkan mereka menilai bahwa hal tersebut merupakan jihad dan ketaatan
yang sangat utama. Imam Ahmad pernah ditanya:
“Manakah yang lebih engkau sukai, antara seorang yang berpuasa
(sunnah), shalat (sunnah), dan i’tikaf dengan seorang yang membantah ahli
bid’ah?” Beliau menjawab: “Kalau dia shalat dan i’tikaf maka
maslahatnyauntuk dirinya pribadi, tetapi kalau dia membantah
ahli bid’ah makamaslahatnya untuk kaum muslimin, ini lebih
utama.” [1]
Di antara para ahli
bid’ah yang tidak kalah bahayanya adalah kelompok
Sufiyah yang memborong sekian banyak kesesatan dan penyimpangan yang
beraneka ragam, di antara sekian kesesatan mereka yang paling berbahaya adalah
aqidah wahdatul([2]) wujud (Manunggaling
Kawula Gusti/bersatunya Tuhan dengan hamba), sebuah aqidah yang bertentangan
seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan
persendiannya baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, dan sebagainya. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata: “Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul wujud)
merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan
agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari
jalan Alloh. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia
seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak
agama.” [3]
- Mungkin sebagian kita ada yang bergumam:
“Mengapa aqidah wahdatul wujud ini harus dipermasalahkan? Bukankah
aqidah itu hanya ada pada beberapa tokoh zaman dulu saja semisal Ibnu Arabi,
Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in, dan sebagainya?! Bukankah aqidah itu sudah hilang
dari permukaan bumi di masa kini?! Lantas mengapa perlu dibahas seperti ini?!
Bukankah ini hanya sia-sia belaka?!”
- Kami jawab:
“Tenanglah saudaraku! Jangan anda gegabah menilai seperti itu, bukalah
mata anda lebar-lebar niscaya anda akan mengetahui (walau terkadang
terselubung) betapa banyaknya pengibar bendera aqidah rusak ini di negeri kita
dari para kyai, habib, penulis, aktivis, bahkan diajarkan di
kuliah-kuliah agama seperti IAIN, contohnya.
Barangkali
untuk lebih menenangkan hati, tidak mengapa kita nukil sebuah contoh –sekalipun
hati ini sebenarnya terasa berat untuk menukilnya([4])–. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ucapan
keji Abdul Muqsith Ghazali MA, kawan Ulil Abshar dalam debat buku
“Ada Pemurtadan di IAIN”,katanya:
“Anjing akbar, tidak ada yang salah dengan
pernyataan itu. Apa yang salah?! Sama sekali tidak ada yang salah, Akbar
Tanjung, Anjing Akbar, Sekolah Akbar. Tidak ada yang salah. Itu
kalau diniati bahwa anjing itu adalah Alloh.”
Lebih lanjut, dia mengatakan:
“Kalau dia menemukan
sifat jamal dan kamal (keindahan dan kesempurnaan) dalam
anjing itu maka enggak salah, justru dia akan
naikmaqamnya (kedudukannya), seperti Ibnu Arabi([5]) dalam kitabnya Fushus Hikam([6]), dia menemukan takallufnya ketika berhubungan
suami istri. Ini adalah pluralisasi penafsiran yang akan dipuji sejarah!!!”
Aduhai,
alangkah persisnya hari ini dengan kemarin!! Bukankah ucapan di atas adalah
warisan nenek moyang para tokoh Sufi yang sesat dan menyesatkan dahulu?!! Coba
anda perhatikan ucapan seorang tokoh Sufi berikut:
Tiada anjing dan babi itu, melainkan Tuhan kita
juga
Dan
tiadalah Alloh itu kecuali rahib di gereja
·
Salah seorang sufi, Abul
Husain an-Nuri tatkala mendengar anjing yang menggonggong,
dia mengatakan:
Maha Suci Alloh
dari ucapan mereka!
Kemudian,
jangan anda menyangka kalau mereka tidak memiliki argumen/dalil yang mendukung
keyakinan sesat tersebut. Sungguh aneh bin ajaib memang, hampir tidak ada ahli
bid’ah pun kecuali memiliki dalil untuk memperkuat kesesatan mereka. Demikian
pula para penganut paham wahdatul wujud, mereka memiliki dalil –sekalipun lebih
tepatnya disebut syubhat– dari al-Qur’an dan hadits untuk mendukung keyakinan
tersebut, salah satunya adalah hadits wali yang akan menjadi tema bahasan kita
kali ini. Namun, hal ini tak aneh kalau kita ingat ucapan Imam
asy-Syathibi:
“Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat
umatmengemukakan dalil dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai
dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengan dalil-dalil
tersebut. Lucunya mereka menganggap bahwa
diri mereka di atas kebenaran!!” [8]
B. Teks Hadits
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya Alloh berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku,
maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan
diri) kepada-Ku dengan melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada
apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri
kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Apabila Aku
mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya,
penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memegang
dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Apabila dia meminta
kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan
kepada-Ku maka Aku akan melindunginya. Dan tidaklah Aku bimbang akan sesuatu
seperti kebimbangan-Ku dari mencabut nyawa seorang mukmin, dia benci kematian
padahal Saya tidak ingin untuk menyakitinya (tetapi itu adalah kepastian).’”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahmengatakan:
Beliau juga mengatakan:
Demikianlah komentar indah terhadap
hadits yang menjadi topik bahasan kita kali ini. Namun hal itu bukan berarti
bahwa hadits ini selamat dari serangan dan hujatan, sebab kenyataan di lapangan
membuktikan bahwa hadits ini mendapat kritikan dari dua segi; sanad dan
matannya secara bersamaan.
Sebagian kalangan ada yang
mempermasalahkannya dari segi sanadnya, dan sebagian lagi ada yang salah paham
terhadap matannya. Dari situlah, kami merasa terdorong untuk membahas hadits
ini dari segi sanad dan matannya serta meluruskan kesalahpahaman tersebut.
Semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya.
C. Sanad Hadits
Sebagian
kalangan ada yang mengkritik hadits ini dari sanadnya, di mana memang pada sanadnya
terdapat rawi yang dibicarakan oleh para ulama ahli hadits, yaitu Khalid bin
Makhlad. [11]
- Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya (6502), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (1/4), al-Baghawi dalamSyarh Sunnah (1248), Abul Qasim al-Mahrawani dalam al-Fawa’id al-Muntakhabah ash-Shihah (1/3/2), Ibnul Hamami ash-Shufi dalam Muntakhab min Masmu’atihi (1/171), dan ketiganya menyatakan shahih, Rizqullah al-Hanbali dalam Ahadits min Masmu’atihi (1/2), Yusuf bin Hasan an-Nabilsi dalam Ahadits as-Sittah al-Iraqiyyah (1/26), al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa Shifat (491) dan az-Zuhud (2/83) dari jalan Khalid bin Makhlad: Menceritakan kami Sulaiman bin Bilal: Menceritakanku Syarik bin Abdullah bin Abu Nimr dari Atha’ dari Abu Hurairah…
- Sanad hadits ini lemah, dia termasuk beberapa hadits sedikit yang dikritik oleh para ulama terhadap Bukhari.Adz-Dzahabi mengatakan pada biografi Khalid bin Makhlad al-Qathawani setelah menyebutkan komentar para ulama ahli hadits tentangnya: “Hadits ini aneh sekali. Seandainya bukan karena kewibawaan Jami’us Shahih (Shahih Bukhari), niscaya saya akan memasukkannya termasuk munkarat Khalid bin Makhlad, sebab lafazhnya aneh dan ditambah lagi Syarik sendirian dalam riwayatnya padahal dia bukan seorang yang pakar…”
- Ucapan ini dinukil secara ringkas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/292-293) lalu katanya: “Namun hadits ini memiliki beberapa jalur lain yang dengan terkumpulnya menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.” Kemudian beliau menyebutkan delapan jalur penguat.
- Syaikh al-Muhaddits al-Albani berkomentar dalam ash-Shahihah (4/185-186): “Demikianlah ucapan al-Hafizh. Beliau telah memaparkannya secara panjang lebar. Hal itu sangat wajar, sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk mencela keabsahannya hanya karena kelemahan pada sanadnya, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki beberapa penguat yang menguatkan dan mengangkatnya. Nah, apakah hadits ini termasuk di antaranya? Al-Hafizh telah memaparkan delapan penguat dan menetapkan bahwa dengan terkumpulnya jalan-jalan tadi menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.
Menimbang, karena termasuk syarat
diterimanya penguat adalah tidak terlalu lemah sebagaimana ditegaskan oleh para
ulama dalam ilmu musthalah hadits, sehingga kalau terlalu lemah maka tidak bisa
terangkat; dan juga harus sempurna, sehingga kalau tidak sempurna pun tidak
diterima, maka kita harus meneliti dalam beberapa penguat ini, apakah memenuhi
dua persyaratan tersebut ataukah tidak.”
Setelah membahas secara panjang
lebar, beliau menyimpulkan di akhir bahasan (4/190): “Kesimpulannya,
kebanyakan penguat ini tidak bisa menguatkan hadits ini, ada yang karena sangat
lemahnya dan ada pula karena ringkasnya (tidak sempurna), kecuali mungkin
hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dan
Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu,
di mana kalau keduanya digabungkan dengan sanad hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ini maka bisa
terangkat kepada derajat shahih, insya Alloh. Dan telah dishahihkan oleh para
ulama yang telah saya sebutkan di muka.”
Barangsiapa
yang ingin memperluas takhrij hadits ini, kami sarankan
membaca Silsilah Ahadits
ash-Shahihah (4/183-193) oleh al-Albani, karena beliau telah
memaparkan jalur-jalurnya dengan pembahasan yang jarang didapati di kitab
lainnya.([13])
D. Matan Hadits [14]
Sebagian
kalangan dari kaum Sufi berdalil dengan hadits ini untuk memperkuat aqidah
rusak mereka yaitu “wahdatul wujud”, bahwa Tuhan bersatu dengan
hamba, sebab Alloh mengkhabarkan bahwa dirinya adalah pendengaran hamba,
penglihatannya, tangannya, dan kakinya. [15]
Jawaban:
Hadits ini
tidak mendukung aqidah mereka secuil pun, bahkan sebaliknya malah membantah
aqidah mereka([16]) ditinjau
dari beberapa segi:
1| Alloh mengatakan: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku,
maka Aku umumkan perang terhadapnya.” Dalam hadits ini Alloh menetapkan tiga
wujud: diri-Nya, wali-Nya, musuh-Nya. Maka bagaimana kalian jadikan mereka satu
dzat saja?!
2| Alloh mengatakan: “Tidaklah hamba-Ku
melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan
pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
perkara sunnah sehingga Aku mencintainya.”
Jadi Alloh menetapkan adanya hamba
yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan kewajiban dan sunnah dan bahwasanya
dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Alloh mencintainya. Hal itu
menunjukkan adanya hamba dan Rabb, Yang mencintai dan yang dicintai, yang
beribadah dan Yang diibadahi. Lantas bagaimana kalian jadikan keduanya
satu dzat saja?!
3| Alloh mengatakan: “Apabila Aku mencintainya
maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya…”
·
Kecintaan ini diraih oleh hamba
setelah dia mendekatkan diri kepada Alloh dan setelah Alloh mencintainya.
Adapun menurut keyakinan wahdatul wujud bahwa Alloh adalah hamba itu sendiri,
baik setelah mendekatkan diri maupun sebelumnya.
4| Dalam hadits ini
Alloh mengkhususkan keutamaan tersebut bagi wali-Nya tetapi dalam pandangan
wahdatul wujud hal itu umum mencakup seluruh makhluk baik wali maupun musuh
Alloh. Kalau demikian masalahnya,lantas apa keistimewaan wali?!
5| Dalam hadits ini Alloh hanya menyebut
pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki, tetapi mereka memperluasnya
meliputi perut, paha, hidung dan sebagainya.
6| Di akhir hadits, Alloh berfirman: “Kalau dia
meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta
perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya.” Hal ini sangat jelas bahwa
di sana ada yang meminta dan ada Yang dimintai, ada yang meminta perlindungan
dan ada Yang dimintai perlindungan. Semua ini berseberangan dengan aqidah
wahdatul wujud.
Adapun makna hadits ini yang
benar:
Sesungguhnya seorang hamba, apabila dia menunaikan perkara yang
diwajibkan Alloh padanya kemudian berusaha menambahinya dengan perkara-perkara
sunnah dengan segala kemampuannya, niscaya Alloh akan mencintainya dan
menolongnya dalam segala urusannya, kalau dia mendengar maka dia pendengarannya
mendapatkan bimbingan Alloh sehingga tidak mendengar kecuali kebaikan, tidak
menerima kecuali kebenaran dan menolak kebatilan. Dan apabila dia memandang
dengan penglihatannya, dia memandang dengan cahaya dan hidayah dari Alloh,
sehingga dia memandang kebenaran dan mengikutinya, dan memandang kebatilan dan
menjauhinya. Demikian pula apabila dia berjalan, maka dia berjalan dengan
bimbingan Alloh sehingga dia berjalan dalam ketaatan kepada Alloh seperti
mencari ilmu, jihad, dakwah, silaturrahmi dan sebagainya.
Walhasil, seluruh amalannya, kekuatannya, dan anggota badannya dalam
hidayah Alloh, penjagaan-Nya dan taufiq-Nya. [17]
- Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila kecintaan dan pengagungan kepada Alloh memenuhi hati seorang hamba maka setiap apa pun selain-Nya akan terhapus dari hatinya, sehingga tidak tersisa pada diri hamba sesuatu pun dari hawa dan keinginannya kecuali sesuai dengan apa yang dicintai Alloh. Ketika itulah dia tidak berucap kecuali dengan mengingat-Nya, tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya, bila dia berbicara, berjalan, mendengar, melihat semuanya dengan bimbingan dari Alloh. Inilah maksud dari sabda beliau: ‘Aku adalah pendengarannya, pandangannya, tangannya, dan kakinya.’ Siapa pun yang menafsirkan selain ini, maka sesungguhnya dia mengisyaratkan kepada aqidah hulul dan wahdatul wujud yang Alloh dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.”[18]
- Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: “Semua perumpamaan yang digambarkan oleh Nabi ini maksudnya adalah –Wallohu A’lam– bahwa Alloh memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan dengan anggota badannya tersebut, yakni Alloh memudahkannya dengan anggota badan tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dicintai oleh Alloh dan menjaganya dari terjerumus kepada perbuatan yang dibenci Alloh berupa mendengarkan ucapan batil dan sia-sia dengan pendengarannya, memandang hal yang haram dengan matanya, berjalan menuju keharaman dengan kakinya. Atau bisa jadi maksud hadits ini adalah lekasnya terkabulkannya do’a wali sebab usaha manusia itu adalah dengan empat anggota tubuh tersebut.”[19]
- Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata: “Seorang yang sedikit saja memiliki bekal ilmu bahasa Arab tidak akan memahami bahwa maksud hadits ini bahwa Alloh adalah pendengaran manusia, penglihatannya, tangan, dan kakinya. Maha Suci Alloh dari ucapan mereka. Tetapi maksudnya adalah bahwa Alloh memberikan taufiq kepada para wali-Nya dalam setiap gerakan mereka disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya.” [20]Demikianlah makna hadits ini secara benar sebagaimana dipahami oleh para ulama ahli hadits semenjak dahulu hingga sekarang. Peganglah ucapan mereka dan cukuplah hal itu sebagai pedoman bagi kita.
Karena
kebenaran pada dirinya.
Hadits ini
memiliki banyak faedah. Al-Hafizh asy-Syaukani menulis kitab khusus tentang
penjelasan hadits ini berjudul Qathrul
Walyi bi Syarhi Hadits Wali. Di antara faedah yang dapat dipetik dari
hadits ini sebagai berikut:
1| Keutamaan para wali
(kekasih) Alloh
Tetapi siapakah yang disebut wali
Alloh?! Mereka adalah setiap hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh,
sebagaimana firman-Nya, yang artinya:
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih. (Yaitu)
orang-orang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
(QS.
Yunus [10]: 62-63)
2| Sifat utama wali
Alloh
Sifat mereka
adalah melaksanakan kewajiban dan menambahinya dengan perkara sunnah. Oleh
karenanya, jangan tertipu dengan penampilan para wali gadungan dari para tukang
sihir dan penyimpang yangdoyan kesyirikan,
kebid’ahan, dan kemaksiatan, sekalipun mereka menampakkan kedigdayaan dan
keluarbiasaan, sebab semua itu adalah tipu daya setan.
Bila engkau lihat seorang dapat terbang
Dan berjalan di atas lautan
Padahal dia tidak menaati tatanan syari’at
Maka
ketahuilah bahwa dia ahli bid’ah yang dimanja.
3| Bahaya menyakiti para
wali
Menyakiti para
wali Alloh merupakan dosa besar, sebab Alloh menyatakan perang terhadapnya.
Maka celakalah orang-orang yang mencela para nabi([23]), para sahabat
nabi, dan para ulama salafush shalih.([24])
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin
dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.
(QS.
al-Ahzab [33]: 58)
Al-Hafizh Ibnu
Katsir berkata dalam Tafsirnya (4/481):
“Barisan yang pertama kali masuk dalam ancaman ayat ini adalah
orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kaum Rafidhah
(Syi’ah) yang biasa mencela para sahabat dan menuduh mereka yang bukan-bukan
serta menyifati mereka berlainan tajam dengan sifat yang diberikan Alloh kepada
mereka, di mana Alloh memuji mereka dan mengkhabarkan bahwa Dia telah ridha
kepada kaum Muhajirin dan Anshar, tetapi orang-orang jahil dan tolol itu
mencela dan menghina mereka, dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Sungguh
mereka adalah manusia yang terbalik hatinya, mencela manusia terpuji dan memuji
manusia tercela.”
4| Menetapkan “perang”
bagi Alloh
Alloh telah menyebutkan juga tentang
riba, yang artinya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah bahwa Alloh dan rasul-Nya akan memerangimu.“
(QS.
al-Baqarah [2]: 279)
5| Menetapkan sifat
“cinta” bagi Alloh.
6| Perintah Alloh
terbagi menjadi dua, ada yang wajib dan ada yang sunnah.
7| Anjuran memperbanyak
amalan sunnah.
8| Banyak mengamalkan
perkara sunnah merupakan sebab kecintaan Alloh.
9| Sesungguhnya Alloh
apabila mencintai seorang hamba, maka Alloh akan mengabulkan do’anya dan
memenuhi permintaannya.
10| Seorang hamba akan merasakan
dekat kepada Alloh ketika dia beramal shalih.
Demikianlah
pembahasan kita kali ini, kami mengajak diri kami dan saudara kami untuk
mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh, semoga Alloh menjadikan kita
semua termasuk wali-wali-Nya. Amiin.
Catatan kaki:
[2] Demikianlah yang lebih tepat dalam bahasa Arab, dengan memfathah
huruf wawu, sekalipun yang lebih populer adalah wihdatul wujud, dengan
mengkasrah wawu.
[4] Dalam bahasa Arab ada sebuah kata hikmah “Mukrahun Akhuka La Bathal” (Saudaramu terpaksa, padahal sebenarnya dia tidak berani),
sebagaimana dalam Majma’
Amtsal (hal. 274) oleh al-Maidani. Imam
as-Suyuthi juga pernah mengatakan:
“Ketahuilah
wahai saudaraku –semoga Alloh merahmatimu– bahwa di antara ilmu ada yang
seperti obat, dan di antara pendapat ada yang seperti tempat buang hajat yang
tidak diingat kecuali ketika dibutuhkan saja.” (Miftahul Jannah hal. 5)
[5] Dia adalah seorang dedengkot Sufi, pengibar bendera wahdatul wujud (wafat 638 H). Dia mempunyai
berbagai pemikiran kufur. Oleh karenanya, para ulama
menganggapnya sesat bahkan tak sedikit yang mengkafirkannya. Syaikh
Burhanuddin al-Biqa’i (885 H) menulis sebuah kitab
berjudul Tanbih
al-Ghabiyyi ’ala Takfir Ibni Arabi sebanyak 241 halaman. Dalam
kitab tersebut, beliau menukil ±50 ulama yang mengkafirkan atau minimal menganggapnya sesat; di antaranya:
- al-Izz bin Abdussalam,
- Ibnu Daqiq al-’Ied,
- Ibnu Shalah,
- al-Hafizh Ibnu Hajar,
- al-Bulqini,
- al-Iraqi,
- Abu Zur’ah al-Iraqi,
- al-’Aini, adz-Dzahabi,
- Badruddin bin Jama’ah,
- al-Jazari,
- Ibnu Hisyam,
- as-Subki,
- Abu Hayyan,
- dan lainnya. (Lihat pula Mashra’ Tashawwuf hal. 138-168 oleh Burhanuddin al-Biqa’i dan ar-Radd ’ala ar-Rifa’i wa al-Buthi hal. 111-113 oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad)
“Di
antara karya tulisnya (Ibnu Arabi) yang paling jelek adalah kitab Fushus, sebab kalau di dalamnya itu
bukan kekufuran, maka tidak ada kekufuran di dunia ini. Kita memohon kepada
Alloh ampunan dan keselamatan.”
Ismail Abul
Fida’ dalam kitabnya Akhbar Basyar (4/79) menyebutkan: “Pada tahun 744 H, kami merobek kitab Fushus Hikamkarya Muhyiddin Ibnu Arabi di
madrasah ’Ushfuriyah di kota Halab usai pelajaran sebagai peringatan akan
haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut. Saya berkata tentangnya:
Ini adalah Fushus (batu mata cincin) yang tiada
berharga
Saya telah membaca ukirannya tetapi pahalanya ada
pada sebaliknya.
(Lihat
pula Kutub Hadzara Minha al-Ulama 1/37 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Anehnya, kitab ini telah disyarah
oleh kurang lebih seratus lebih ulama Sufi, tiga di antara mereka adalah
murid-murid Ibnu Arabi sendiri!! (Lihat Muallafat Ibnu Arabi hal. 479 oleh Utsman Yahya, Aqidah Shufiyyah hal. 158 oleh DR. Ahmad bin Abdul Aziz)
[7] al-Luma’ fi Tashawwuf hal. 461 oleh Abdullah ath-Thusi, tahqiq Abdul Halim Mahmud,
sebagaimana dalam ar-Rudud
Ilmiyyah fi Dahdzi Abathil Shufiyyah hal. 266 oleh DR. Muhammad bin
Ahmad al-Juwair.
[11] Lihat Mizan
I’tidal 1/64 adz-Dzahabi: biografi Khalid bin Makhlad, Jami’ul Ulum wal Hikam 2/330-331 Ibnu Rajab, Tafsir al-Manar Rasyid Ridha: surat Yunus [10]:
62-63, as-Sunnah
Nabawiyyah Muhammad Ghazali: hal. 77 cet. Keenam.
[13] Dan hal ini merupakan salah satu bukti di antara banyak bukti pembelaan
dan penghormatan Syaikh al-Albani terhadap Shahih Bukhari-Muslim, berbeda dengan anggapan
sebagian kalangan. Lihat uraian penulis tentang masalah ini secara agak luas
dalam bukunya “Syaikh al-Albani Dihujat” hal. 75-80. Semoga Allah memudahkan
kami untuk mencetak ulang buku ini kembali.
[14] Dinukil dengan beberapa tambahan dari kitab Aqidah Shufiyyah Wihdatul Wujud Khafiyyah (hal. 564-566) oleh DR. Ahmad bin Abdul Aziz al-Qushayyir, cet.
Maktabah ar-Rusyd.
[15] Lihat Fushus
Hikam hal. 189 Ibnu Arabi, Thabaqat Kubra 2/24 asy-Sya’rani, Syarh Fushus Hikam 1/19 al-Qaishari, Iqadhul Himam hal. 52 Ibnu Ajibah, Syarh Jawahir Nushus hal. 47 an-Nabilisi.
“Setiap ayat yang digunakan oleh ahli bid’ah maka
pada ayat itu sendiri terdapat dalil yang membantah ucapannya, dan setiap dalil
akal yang digunakan oleh ahli bid’ah maka pada dalil itu sendiri terdapat dalil
yang menunjukkan kerusakan ucapannya.”
(Lihat al-Aqud ad-Durriyyah hal. 39 oleh muridnya, Ibnu Abdil Hadi)
[17] Lihat Majmu’
Fatawa 2/341 Ibnu Taimiyah, ad-Da’ wa Dawa’ hal. 315-319 Ibnul Qayyim, Fathul Bari 11/344 Ibnu Hajar,Qathrul Walyi bi Syarhi Hadits Wali hal. 428-429 asy-Syaukani, Fatawa Lajnah Da’imah 3/158, Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin1/257-258.
- “Wanita ini dalam setiap ucapannya selalu benar, sehingga apabila dia mengatakan suatu ucapan maka ketahuilah bahwa itu adalah ucapan yang paten, tidak boleh diselisihi, kalian harus membenarkannya dan meyakini ucapannya.” (Sabilul Huda bi Tahqiq Syarh Qathr Nada, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, hal. 35).
- Dialah yang digelari dengan Zarqa’ Yamamah, yang konon ceritanya dapat melihat sesuatu yang jaraknya sejauh perjalanan tiga hari dengan mata kepalanya. Dan ketika dia terbunuh, dilihat ternyata pangkal matanya penuh dengan celak mata Itsmid. (Lihat Khizanatul Adab oleh al-Baghdadi 10/255 dan Syarh Mumti’ 1/157 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
[22] Dinukil –dengan beberapa tambahan– dari Syarh Arba’in Nawawiyyah (hal. 409-412) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[23] Beberapa bulan lalu, kita dibuat heboh oleh kelakuan jahat
beberapa warga Denmark yang menampilkan gambar karikatur Nabi Muhammad yang
penuh dengan bom dan rudal di kepalanya. Tapi yakinlah bahwa hal itu adalah pertanda
kehancuran mereka sendiri, sebab Alloh telah berjanji
untuk menghancurkan orang-orang yang merendahkan beliau (QS. al-Kautsar [108]:
3).
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya ash-Sharimul Maslul (hal. 165): “Setiap orang yang melecehkan Nabi, membencinya, dan memusuhinya, maka Alloh pasti membinasakannya dan melenyapkannya.” Salah satu yang telah terbukti, baru beberapa hari kemudian dari ulah perbuatan mereka, negara Denmark langsung mengalami kerugian besar dalam perekonomiannya disebabkan pemboikotan negara-negara Islam terhadap produk-produknya!! Maha Benar Alloh.
“Kalau
para ulama bukan wali Alloh, maka saya tidak tahu siapakah mereka?” Oleh
karenanya, barangsiapa yang merendahkan dan mencela para ulama Sunnah, maka dia
berada di ambang kehancuran.
- Imam Ibnu Asakir berkata dalam Tabyin Kadzib al-Muftari (hal. 29): “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa daging para ulama –semoga Alloh merahmati mereka– beracun. Alloh pasti menyingkap tirai para pencela mereka, karena menuduh dan menodai kehormatan mereka merupakan perbuatan dosa besar.”