Nabi Muhammad Saw
bersabda :
“ Semua amal anak adam dilipat gandakan. Kebaikan dilipat
gandakan sepuluh sampai seratus kali, kecuali puasa, kata Tuhan. Puasa untuk
Aku, dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang berpuasa meninggalkan
keinginannya dan makanannnya hanya untuk Aku. Bagi orang yang berpuasa ada dua
kebahagiaan : kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia berjumpa
dengan Tuhannya"
(Al Bukhari dan Muslim)
Jadi hakikat puasa, menurut Nabi SAW
adalah meninggalkan semua keinginannya selain untuk menjalankan perintah Tuhan,
menanggalkan kehendak dirinya dan menjalankan kehendak Ilahi.
Dalam puasa, kecenderungan jiwa
hewani untuk memberontak perlahan-lahan ditenangkan dan dijinakkan melalui
penaklukan kecenderungan secara sistematis pada kehendak Illahi. Setiap saat
merasakan lapar, jiwa seorang muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah
Illahi, gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya puasa tidak
hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari
semua dorongan nafsu.
Sebagai akibat dari pengendalian
sistematis ini, jiwa manusia menjadi sadar bahwa ia tidak bergantung pada
lingkungan alam di sekitarnya. Ia sadar bahwa ia berada di dunia tetapi bukan
bagian darinya.
Orang yang berpuasa dengan penuh keimanan segera menyadari
bahwa ia hanyalah peziarah di dunia ini dan ia diciptakan sebagai mahluk yang
ditakdirkan mencapai tujuan di seberang wujud yang material ini.
Lebih jauh lagi, sifat segala
sesuatu yang semula kosong dan fana sekarang muncul sebagai anugerah Illahi. Makan
dan minum yang kita anggap sebagai hal yang biasa sepanjang tahun, pada waktu
puasa tampak sebagai karunia dari surga (ni’mah) dan mencapai makna ruhaniah
seperti sebuah sakramen. Berpuasa adalah memakai perisai kesucian dalam
menghadapi hawa nafsu dunia.
Alhasil, hanya puasa dengan
hakikatnya, puasa dengan ruhnya, yang akan menjadi sumber kekuatan muslim dalam
menghadapi gelombang kehidupan. Ketika ia berpuasa sebenarnya, yakni
menundukkan seluruh dirinya pada kehendak Illahi, ia menyerap tenaga yang tak
terhingga. Puasa menjadi sumber energi untuk membersihkan jiwa dan raganya.
Meniadakan diri dan menenggelamkan diri pada yang Maha Kuasa adalah hakikat
puasa.
“Suatu hari Nabi saw, mendengar
seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa.
Nabi saw, segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya berkata,
“Makanlah hidangan ini “. Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku
sedang berpuasa”. Nabi saw, berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau
berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu ?”. Sesungguhnya Allah menjadikan
puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan
maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya
orang yang lapar”.
(HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, Rasulullah
saw, ingin mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab yang artinya, menahan,
mengekang atau mengendalikan (al-imsak).
Secara syariat (fikih), makna puasa
adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya
fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Puasa terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut
Tingkatan paling awal adalah puasa yang memenuhi syariat,
yakni puasa muslim pada umumnya.
Puasa hawa nafsu
Tingkatan selanjutnya setelah puasa perut, puasa sesauai
syariat yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya
telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap
anggota tubuhmu atau setiap panca inderamu”
(al Hadits).
Puasa qalbu
Tingkatan tertinggi setelah puasa hawa nafsu, puasa yang
diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang
bersifat duniawi, serta memalingkann diri dari segala sesuatu selain Allah.
Keadaan sadar(kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah
(dzikrulllah) inilah kunci dari Taqwa
Sayidina Ali bin Abi Thalib
mengatakan
“Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan
yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Bertemu Allah
“Bagi orang yang berpuasa ada dua
kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu
dengan Tuhannya”
(HR Bukhari).
Sebagian muslim memahami bahwa yang
dimaksud dengan hadits ini adalah dengan amal puasa kita dapat bertemu dengan
Allah di akhirat kelak.
Benar, bahwa dengan amal puasa dan
amal-amal lainnya yang menunjukkan tingkat ketaqwaan seorang muslim yang dapat
menghantarkan pada kenikmatan tertinggi dari semua kenikmatan yang ada di surga
adalah melihat (bertemu) Allah..
Bahkan bagi mereka yang berpuasa,
telah tersedia pintu khusus untuk mereka
Dari Sahl dari Nabi bersabda : Sesungguhnya
dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, orang-orang yang
berpuasa akan masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan
masuk melaluinya. ….
(Hadist riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun sesungguhnya kegembiraan
berpuasa, bertemu dengan Allah dapat juga kita rasakan atau kita alami saat
kita di dunia.
Mereka yang merasakan bertemu Allah
di dunia adalah mereka yang gemar mengadukan segala macam persoalan
kehidupannya di dunia ke hadapan Allah. Mereka yang dengan sesungguhnya
mengatakan bahwa,
“….. hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan”
(QS Al Fatihah [1] : 5 )
Mereka-mereka yang gembira dilihat
Allah.
Mereka-mereka yang gembira bertemu
dengan Allah di dunia.
Sebagian muslim belum mengimani
bahwa kita dapat bertemu dengan Allah di dunia walaupun kita tidak dapat
melihatNya.
Sebagian muslim belum mengimani bertemu
dengan Allah di dunia karena kesalahpahaman memahami firman Allah yang artinya,
“Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah
Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.”
[QS Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah
berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam
“Kamu sekali-kali tidak dapat
melihat-Ku.”
[QS Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang
pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia”
(HR Muslim)
Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu
‘anha, ia berkata.
“Barangsiapa menyangka bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah
melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
Firman-firman Allah dan hadits
diatas adalah petunjuk bahwa Allah tidak dapat kita lihat di dunia dengan mata
kepala (secara dzahir / lahiriah).
Namun kita dapat menghadap kepada
Allah, bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah)
ketika di dunia walaupun kita di dunia tidak dapat melihatNya.
Sebagai contoh bahwa kita menghadap
Allah, bertemu Allah ketika di dunia adalah mendirikan sholat
Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa
Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin ,
“sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang
mukmin“.
Yaitu naiknya jiwa meninggalkan
ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Sebagian muslim tidak menyadari
bahwa mereka menghadap Allah, bertemu Allah di dunia. Mereka beribadah
(menyembah Allah) tanpa merasakan menghadap ke hadhirat Allah.
Sebagian muslim di dunia bahkan
“menghindari” menghadap Allah atau “menghindari” bertemu dengan Allah,
seolah-olah mereka dapat tidak terlihat oleh Allah di dunia padahal Allah Maha
Melihat dan Maha Mengetahui.
Maka kerugian besar bagi muslim yang
belum dapat merasakan seolah-olah melihat Allah di dunia, bertemu Allah,
bersama dengan Allah ketika di dunia.
Mereka secara tidak disadari
mengingkari apa yang mereka ucapkan bahwa
“Dengan menyebut nama Allah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
(QS Al Fatihah : 1)
Sesungguhnya, “dengan menyebut nama
Allah” itu adalah “dengan dzatNya”, bersama Allah, bertemu Allah, berlari
kepada Allah
(Fafirruu Ilallah).
Jadi, muslim yang berpuasa dan dapat
mengalami, merasakan kegembiraan bertemu dengan Allah di dunia dan mengharapkan
tetap bertemu dengan Allah di akhirat kelak adalah mereka yang telah
menjalankan puasa qalbu. Selama mereka berpuasa mereka melakukan secara sadar
dan mengingat Allah. Mereka bersama Allah.
“Buatlah perut-perutmu lapar dan
qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian
bisa melihat Allah di dunia ini
(HR Bukhari).
“Assalaamu’alaina wa’alaa
‘ibaadillaahish shoolihiin”
“Keselamatan semoga bagi kami dan
hamba-hamba Allah yang sholeh”