>Berikut kisah nyata
seorang salik thariqah Kadisiyyah. Sebut saja namanya Fulan. Dia baru setahun
bersuluk. Secara rutin, setiap Jumat atau Sabtu malam, Fulan bersama salik
lainnya datang ke rumah sang Mursyid untuk riyadhah. Suatu ketika, sebelum
riyadhah, sang Mursyid mewanti-wanti agar besok selepas subuh, Fulan hendaknya
jangan pulang dulu, karena sang Mursyid hendak memberinya tes. Beberapa kali
sang Mursyid mengulangi perkataan ini kepada Fulan sehingga mengesankan sesuatu
yang teramat sangat serius.Keesokan paginya, setelah mandi pagi, sang Mursyid
menyuruh Fulan sarapan terlebih dahulu. Setelah menunggu beberapa lama, sekitar
jam 10 lewat, sang Mursyid masuk ke mushala, berganti baju takwa, dan memanggil
Fulan ke dalam mushala. Semua jam tangan, dompet, ikat pinggang, atau apa pun
yang akan mengganggu gerakan disuruh dilepaskan. Di dalam mushala, Fulan
disuruh berdiri di hadapan sang Mursyid. Pintu mushala dibuka dan beberapa
salik lain yang belum pulang disuruh melihat.
Sang
Mursyid memohon sejenak kepada Allah Ta‘ala, hening, lalu mendadak beliau
langsung berkata dengan keras: “Tunjukkan kepada mursyidmu jurus-jurus yang
Allah Ta‘ala simpan dalam dirimu!” Fulan merasa seperti ‘lenyap’ dan tiba-tiba
nafs-nya menggerakkan jasadnya mengeluarkan banyak jurus bela diri. Jurus-jurus
ini berubah sesuai teriakan sang Mursyid, “Jurus pembuka!” atau “Jurus Satu!
Jurus Dua!” dan seterusnya, maka Fulan pun bergerak, melompat, merayap,
mengelak, memukul, dan seterusnya. Bagi Fulan, ini adalah pengalaman luar biasa
karena ternyata dalam dirinya ada jurus yang entah dari mana asalnya.
Sang Mursyid pernah
menjelaskan bahwa Allah Ta‘ala memberikan mekanisme pertahanan diri pada setiap
makhluknya. Misalnya, taring dan cakar bagi singa dan harimau, cakar dan paruh
bagi burung elang, atau tanduk pada rusa, kambing, kerbau dan lain sebagainya.
Begitu pula dengan manusia, bahwasanya Allah Ta‘ala pun memberikan mekanisme
pertahanan diri berupa jurus-jurus khas yang unik pada diri setiap manusia.
Namun, jurus itu hanya bisa keluar apabila manusia telah membersihkan nafs-nya
dari dosa. Selain itu, jurus itu pun hanya bisa keluar apabila manusia berserah
diri kepada Allah Ta‘ala, dalam keadaan tenang, serta bukan sedang dalam kondisi
marah atau bahkan memiliki keinginan untuk menyerang.
Kembali kepada Fulan,
setelah selesai dengan tesnya dan Fulan berdiri tenang, sang Mursyid
menekankan: “Kalau nanti ada perkelahian yang harus engkau hadapi, jangan
lari!” Itulah suara sang Mursyid yang terdengar di telinga. Tetapi, di hati
Fulan suara itu berubah menjadi pemahaman: “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah [2]: 286) Setelah
selesai, Fulan pun pulang dan diantar sampai gerbang rumah oleh sang Mursyid
sambil mengingatkan lagi: “Ingat, jangan lari kalau memang harus menghadapi
perkelahian.” Fulan mengangguk, pikirnya, kalau ternyata dalam dirinya ada
jurus seperti tadi, kenapa juga harus lari. Pada saat itu, ada sedikit rasa
bangga diri di hati Fulan.
Semua nasihat sang Mursyid hari itu dicatatnya di
buku riyadhah seakurat mungkin. Dan Fulan pun bersiap diri karena merasa akan
menghadapi ‘perkelahian’ dalam waktu dekat.
Beberapa bulan berlalu.
Perkelahian yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, dan Fulan pun mulai
mengendurkan mental alertness akan perkelahian. Nasihat sang Mursyid mulai
dilupakannya. Tidak berapa lama kemudian, pelan-pelan Fulan mulai masuk ke
sebuah masalah dalam kehidupan. Semakin lama semakin pelik dan kompleks, begitu
menekan dan menyita waktu serta energinya. Segala cara Fulan coba untuk
menghadapinya, segala akal diputar, segala doa dimohonkan, tapi tetap saja
masalah tersebut gagal dipecahkan.
Kondisi ini berlangsung
beberapa bulan, sampai satu titik di mana seakan-akan nafs dan jasadnya begitu
muak dengan persoalan tersebut. Fulan stress, jenuh, pusing, dan memutuskan
meninggalkan saja masalah itu. Dia menarik diri, dan membatin dalam hatinya,
“Masa bodoh! Enyahlah! Saya keluar dari masalah ini!” Keputusan ini membuat Fulan
merasa lega luar biasa. Dalam keadaan lega ini, Fulan kembali ke rumah sang
Mursyid untuk riyadhah. Fulan ingin bersyukur karena telah keluar dari masalah
yang menghimpitnya beberapa bulan ini. Namun, sesampainya Fulan di rumah sang
Mursyid, setelah disambut ramah, begitu Fulan masuk dan duduk di ruang tengah,
tiba-tiba terjadilah sesuatu. Di dalam rumah, sikap sang Mursyid berubah.
Beliau menghampiri Fulan, dan kepalanya tiba-tiba didorong dengan keras
menggunakan telapak tangan sang Mursyid sampai posisi duduk Fulan terbawa
miring. Beliau membentak, “Kamu ini bagaimana? Ada pertempuran malah lari!
Sudah dibilang jangan lari dari perkelahian!”
Setelah berkata demikian,
sang Mursyid beranjak ke mushala dan shalat, serta membiarkan Fulan di ruang
tengah. Di tengah kebingungan karena kepalanya didorong dengan keras secara
tiba-tiba, Fulan berpikir: “Perkelahian mana yang Mursyid maksudkan? Rasanya
saya belum pernah lari dari perkelahian?” Fulan pun memohon agar Allah Ta‘ala
memberinya pemahaman ihwal kemarahan sang Mursyid. Kemudian Fulan teringat
bahwa satu-satunya ‘pertempuran’ yang dia lari darinya, yang terjadi baru-baru
saja, ternyata adalah masalah kehidupan yang ditinggalkannya. Ternyata itulah
yang sang Mursyid maksud dengan ‘pertempuran’ yang harus dihadapi, yaitu,
masalah kehidupan. Ternyata tes jurus hanyalah simbol bahwa dalam diri manusia
sebenarnya sudah ada sarana untuk menghadapi masalah kehidupan. Jika Allah
Ta‘ala menakdirkan manusia untuk menghadapi sesuatu, tentu dalam diri mereka
pun sudah disediakan alatnya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah [2]: 286). Sadarlah Fulan betapa dia
begitu naif dan bodoh, menganggap ‘pertempuran’ dan ‘tes jurus-jurus’ hanya
sebagai ‘berkelahi’ secara fisik.
Berikut kisah nyata salik
thariqah Kadisiyyah lainnya. Suatu ketika, seorang salik yang kita sebut juga
Fulan, bertandang ke rumah sang Mursyid untuk riyadhah sambil memberitahukan
bahwa dirinya telah diterima menjadi dosen di institut terkemuka Indonesia.
Ketika mendengar hal itu, sang Mursyid malah menghinanya habis-habisan: “Hah,
jadi dosen? Apaan? Gaji kecil, pangkat rendah, mau jadi apa kamu?” Mendapat
hinaan seperti itu, Fulan merasa sangat sakit hati. Keesokan harinya dia pulang
ke rumahnya. Setelah kejadian itu, Fulan sering berdoa kepada Allah Ta‘ala agar
menegur sang Mursyid—sebagai hamba yang dicintai-Nya—bahwa hinaannya tersebut
sangat tidak baik dan menyakitkan hati orang lain. Tak lama kemudian, Fulan pun
kembali bertandang ke rumah sang Mursyid. Beberapa lama Fulan memperhatikan
gerak-gerik sang Mursyid. Fulan ingin memastikan apakah Allah Ta‘ala telah
menegur sang Mursyid ihwal hinaannya yang menyakitkan tersebut. Tiba-tiba saja
sang Mursyid berkata kepada Fulan: “Kalau orang itu sakit hati, bukankah itu
salahnya sendiri?” Mendengar perkataan sang Mursyid, Fulan terperanjat, dan dia
pun membatin, “Oh, ternyata Allah Ta‘ala ada di pihak Mursyid. Kalau begitu,
memang saya yang salah.” Rupanya hinaan sang mursyid itu untuk “menghajar”
harga diri Fulan. Kalau ternyata Fulan malah tersinggung, berarti dia masih
memelihara harga dirinya.
Kedua kisah salik thariqah
Kadisiyyah tersebut bisa menjadi pembuka yang bagus untuk mengoreksi beberapa
kekurangtepatan penilaian tentang mursyid dan thariqah yang belakangan ini
sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif kekurangtepatan penilaian
tersebut. Pertama, “Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah
bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya
menaati dia seorang…Karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada
pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah
memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis.
Kedua,
“…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang
mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan
cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai‘at yang menuntut kepatuhan mutlak
seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga,
soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat
sampai kepada Nabi Muhammad Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah
rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan
buta kepada seorang manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.
Sekilas, kedua penilaian
‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan tengah memperjuangkan
keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun, sayangnya, agak
tergesa-gesa menyimpulkan. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’ tersebut lebih
merefleksikan dugaan ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti
thariqah dan pencarian mursyid sejati. Akibatnya, seringkali muncul banyak
komentar tentang tashawwuf, namun itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola
dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam
menganalisis kesalahan pemain, strategi yang dimainkan, kegemilangan permainan,
dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya,
yang bersusah-payah, pontang-panting, dan senantiasa waspada terhadap setiap
serangan lawan—hingga akhirnya menjadi ‘pemilik sejati pengetahuan’ permainan
bola—adalah sang pemain sepakbola itu sendiri. Imam Ali bin Abi Thalib pernah
berkata, “Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya,
sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti
itu sendiri.”3 Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa kedua penilaian
‘kritis’ di atas—yang enggan bersinggungan langsung dengan dunia thariqah—dilandaskan
pada perkembangan mutakhir berbagai thariqah hingga kini yang lebih banyak
memperlihatkan pembiasan. Akibatnya, lahirlah penilaian ‘miring’ tentang
thariqah, dan tidak mengetahui prinsip terdasar kemursyidan dan ke-thariqah-an
Pembiasan adalah hal yang
lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci
pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi pembiasan
ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwah. Ini tak ubahnya air
yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di
hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah, bangkai dan
kotoran. Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid
sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa
menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan
menghadirkan mursyid (sejati) pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak
menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir.
Kemursyidan itu adalah misi hidup. Itu hanya boleh dipegang oleh mereka yang
telah mencapai ma‘rifat dengan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang
yang telah ma‘rifat serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali
di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi atau al-Sabti ibn Harun al-Rasyid, misalnya,
tidak pernah menjadi mursyid thariqah hingga akhir hayatnya, dan banyak lagi
wali lainnya yang tidak pernah menjadi mursyid thariqah.