Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ‘ilm tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘ad semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
(QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
Dengan melihat kisah di awal tulisan
ini, kedua penilaian ‘kritis’ di atas bisa dipertanyakan balik: benarkah dalam
thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada
mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya,
bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan
sang Mursyid sendiri ternyata seringkali sulit dipahami sehingga sangat
potensial untuk salah ditafsirkan? Salik menafsirkan tengah diajari untuk
bersiaga terhadap “serangan” lahiriah, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah
mengajari kesiagaan batiniah terhadap “serangan” batiniah (masalah kehidupan).
Coba bayangkan juga, seperti apa bentuk ketaklidan seorang salik kepada sang
Mursyid, ketika harga dirinya dihajar oleh sang Mursyid dengan menghinanya
habis-habisan ihwal pekerjaan?
Bagaimana dengan berbagai pertanyaan
yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia
itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di
ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah,
karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan. Begitu pula halnya
dengan berbagai pertanyaan di benak manusia. Tidak semuanya harus terjawab saat
ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di
benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang
manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami
segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan
ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan
batasan. Biasanya terhadap salik tipe ‘fundamentalis rasional’ seperti ini,
mursyid sejati akan menghajar habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus
demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan
keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental, yaitu, misi hidup yang
Allah Ta‘ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar itu seperti lampu
pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10
watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.
Misalnya, seseorang menyatakan bahwa
karena dia memiliki kecenderungan ilmiah, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah
terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki
mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas mendengarkan dan
menelaah. Kecenderungan sikap ilmiah itu baik, terlebih karena setiap manusia
itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada
seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita,
karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing (pertanyaan) tersebut
tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh
suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena
itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing
(pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa
diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum
ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.
Di sisi lain, dalam sejarah
tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini
merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal
beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya.
Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways tanpa pernah bertemu dengannya.
Hal itu disebabkan oleh suatu kondisi sehingga Uways tidak bisa menunggu untuk
bertemu dengan Rasulullah Saw. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi
yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw.,
meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai
proses pencariannya.
Ketidakberanian mengambil resiko
untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan
pernyataan yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau
senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak
untuk ber-tashawwuf secara wacana, akan mustahil mencapai tingkatan ma‘rifat.
Rumi menggambarkan hal itu sebagai
berikut:
Ketika kauletakkan muatan di atas
palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan, Karena engkau tak tahu apakah engkau
bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.
Amati juga kisah pencarian Umar bin
Khathab. Semasa kecilnya, dia dididik dengan sangat keras oleh ayahnya sehingga
membentuk Umar yang keras. Ketika telah menikah dan dianugrahi anak, dia ditipu
oleh istrinya sendiri bahwa putrinya adalah seorang lelaki. Namun, belakangan
dia mengetahui bahwa anaknya adalah perempuan. Umar pun membunuhnya. Dan ketika
Rasulullah mulai mendakwahkan nubuwahnya, Umar pun menjadi salah seorang
penentangnya. Tapi lihatlah apa yang membuat dia menentang Islam. Umar ingin
membunuh Rasulullah karena agama yang didakwahkan beliau telah membuat ayah
berpisah dari anaknya, istri berpisah dari suaminya, kakak berpisah dari
adiknya, sahabat berpisah dari sahabatnya. Kalau agama Islam adalah kebenaran,
kenapa agama tersebut justru membuat manusia tercerai berai? Itulah keheranan
Umar. Dan surat Thaha yang dibacanya malah membuatnya tergerak untuk masuk
Islam. Mengenai hal ini Rumi mengemukakan sebagai berikut:
Pernahkah kau dengar nama segala
sesuatu dari Yang Mengetahui?: dengarlah makna rahasia ‘Dia mengajarkan
kepadanya Nama-nama.’
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakikat batinnya.
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakikat batinnya.
Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah “tongkat”; dalam pandangan Tuhan namanya “naga”.
Di dunia ini nama “Umar adalah pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah “mu‘min yang sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang sebenarnya.
Bagaimana kalau ternyata seseorang
malah terjerumus masuk kelompok agama yang salah dan pembimbing yang
menyesatkan? Tengoklah epik Dewaruci. Bima belajar pada Dorna yang beberapa
kali akan mencelakakannya. Tetapi kemurnian niat Bima dalam pencarian malah
menyelamatkannya dari niat Dorna tersebut. Hingga di akhir epik tersebut, Bima
berhasil menemukan Dewaruci (Ruci artinya Ruh Suci atau Ruhul Quds) yang masuk
ke dalam telinganya. Sekali lagi ditegaskan, Allah Ta‘ala tidak akan
menyesatkan siapa pun yang berniat murni mencari-Nya.
Berfirman Allah yang Mahasuci dan
Mahatinggi: “Apabila diingat Aku oleh hamba-Ku pada dirinya, niscaya Aku
mengingat dia pada Diri-Ku. Apabila ia menyebutkan Aku dalam kumpulan orang
banyak, niscaya Aku menyebutkan dia dalam kumpulan yang lebih baik dari
kumpulannya. Apabila ia mendekati Aku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya
sehasta. Dan apabila ia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku mendekatinya sedepa.
Dan apabila ia berjalan kepada-Ku, maka Aku berlari kepadanya.”
(Al-Hadis)
Thariqah adalah jalan kering dalam
lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi
oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi
tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus
hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai
tingkatan ma‘rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi
hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta
tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh
saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan
kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.
Jelaslah, bahwa mencari Allah Ta‘ala
itu justru dengan berlaku amanah terhadap segala hal yang Allah Ta‘ala izinkan
sampai ke tangan kita dalam kehidupan dunia ini. Entah itu berupa harta benda,
anak dan istri, pengetahuan dan gelar, juga pekerjaan dan jabatan. Adapun yang
dimaksud dengan suluk adalah mekanisme bagi seorang manusia yang mencari Allah
untuk berlatih melepas nafsnya dari kemelekatan terhadap tubuh, sehingga pada
waktu ajalnya tiba tidak mengalami kesulitan untuk lepas.
Dalam Al-Quran, perkara mengenai
thariqah banyak direpresentasikan melalui perjalanan hijrah Nabi Musa (nabi
yang paling banyak disebutkan dalam Al-Quran) dan Bani Israil (yaitu, mereka
yang berjalan di malam hari menuju Allah Ta‘ala). Peristiwa pembelahan
laut—yang menjadi salah satu mukjizat Nabi Musa—adalah representasi perjalanan
thariqah. Thariqah dikenal juga dengan nama olah jiwa. Thariqah berhubungan
dengan konsep penemuan diri atau ma‘rifatunnafs-ma‘rifatullah, serta Ruhul
Quds. Konsep ini dibawa oleh semua Nabi hanya saja sering disamarkan, dan hanya
terbuka bagi mereka yang benar-benar mencari Allah Ta‘ala saja. Misi hidup ini
merupakan harta karun yang harus digali oleh setiap manusia di dalam dirinya
sendiri. Penggalian diri ini seharusnya membuat manusia sangat bersemangat,
sehingga hidupnya dapat terhindar dari kerugian besar ketika bertemu Allah
Ta‘ala nanti. Disamarkannya rahasia-rahasia besar, seperti misi hidup, dalam
Al-Quran dapat dianalogikan dengan tes buta warna. Bagi seseorang yang buta
warna, pola-pola acak dari sekumpulan warna yang membentuk sesuatu pada alat
tes buta warna hanya akan terlihat sebagai pola yang kacau. Namun, bagi yang
tidak buta warna, pola tersebut akan membentuk sesuatu. Begitu pula dengan
Al-Quran yang merupakan alat tes buta mata hati. Ayat-ayat Al-Quran akan
terlihat acak-acakan, melompat-lompat, terkesan tidak linier, liar, tidak
sistematis, dan tidak terstruktur bagi mereka yang buta mata hati. Namun, tidak
demikian halnya bagi mereka yang terbuka mata hatinya, karena menempuh jalan
pensucian.
Tujuan pertama thariqah adalah
mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama
kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini
dinamakan juga dengan al-muththaharûn. Tujuan kedua dari thariqah adalah
mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan
manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah
Ta‘ala (QS Al-A‘raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup
tersebut. Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma‘rifat, tahap ketika seseorang
setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Rabb-nya (tingkatan syuhada).
Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan
(qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan
kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan
sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai
shiddiqiin.
Suatu ketika, saat sedang makan
siang, seorang salik bertanya kepada Mursyid thariqah Kadisiyyah, “Pak, apakah
tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah mursyid?” Beliau menjawab, “Ya,
mereka tahu. Bahkan banyak di antara mereka yang datang kepada saya.” Kemudian
salik itu bertanya kembali, “Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?”
Beliau menjawab, “Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian
mau menjadi murid-murid saya, maka kalian harus siap-siap dibersihkan.
Harta-harta yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan
dari kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan
sendirinya.”
Berikut adalah contoh paling
terkenal, yaitu pertemuan Musa dan Khidir. Bagaimana cara menilai kemuliaan
akhlak Khidir ketika dia membunuh anak yang orang tuanya adalah shalihin?
Seorang novelis, misalnya, pernah mengambil perbuatan Khidir ini sebagai
legitimasi untuk kenyelenehan karyanya. Cara seperti itu terlalu banal, karena
hanya melihat peristiwa tersebut dari fenomenanya saja. Tidak lebih. Ada juga
yang “atas nama nilai-nilai kemanusiaan Islam”, dan kengerian untuk meyakini
bahwa hal itu benar-benar dilakukan oleh Nabi seperti Khidir, memilih memaknai
peristiwa tersebut semata sebagai sesuatu yang simbolik saja.
Nah, kembali kepada pandangan
‘kritis’ di atas, kisah hidup Ibn ’Arabi berikut bisa memperlihatkan
ketidaktepatan kritiknya terhadap peran mursyid. Beginilah ceritanya:
Aku bertemu dengan semua nabi dari
Adam hingga Muhammad. Allah juga menunjukkan kepadaku setiap orang yang
mengimani mereka—mulai dari masa lampau hingga datangnya Hari Kebangkitan, dari
yang terbesar hingga yang terkecil.
Peristiwa tersebut terjadi ketika
Ibn ’Arabi masih berusia 26 tahun Qamariyyah. Hal ini diungkapkannya dalam
pasase berikut:
Ketahuilah bahwa ketika Allah
memperlihatkan kepadaku dan membuatku merenungkan semua rasul dan nabi dari
bangsa manusia, mulai dari Adam hingga Muhammad, pada sebuah tempat (masyhad)
yang di dalamnya aku dikaruniai untuk ikut serta, di Kordoba pada tahun 586 H,
tak seorang pun dari mereka yang berbicara kecuali Hud, yang menjelaskan alasan
mereka berkumpul.
Perjumpaan tersebut terjadi pada
suatu malam setelah ia berpisah dengan mursyidnya, Abu Muhammad al-Qaba‘ili,
yang pernah Ibn ’Arabi jadikan sebagai ayah angkatnya. Lebih jauh, Ibn ’Arabi
menceritakan perjumpaan tersebut sebagai berikut:
Kemudian aku mengamati seorang
lelaki jangkung, berperawakan kasar, berambut putih dan berdagu lebar, yang
meletakkan tangan pada pipinya. Dia berkata padaku: “Mereka semua adalah para
nabi, mulai dari Adam hingga Muhammad; tak seorang pun dari mereka yang tak
hadir.” Aku bertanya: “Anda sendiri? Apakah Anda termasuk bagian dari mereka?”
Dia menjawab: “Aku Hud, dari kaum ‘Ad.” Aku berkata: “Mengapa Anda sekalian
datang?” Dia menjawab: “Kami datang untuk mengunjungi Abu Muhammad.”
Zamzam Ahmad Jamaluddin pernah
menguraikan sebagian makna penglihatan Ibn ‘Arabi tersebut. Pertama, ayat
Al-Quran yang dibacakan oleh nabi Hud kepada Ibn ‘Arabi itu mengisyaratkan
bahwa Ibn ‘Arabi telah benar-benar memahami makna keberserahdirian kepada Allah
Ta‘ala (baca: dabbah yang dipegang ubun-ubunnya oleh Allah Ta‘ala) pada usia 26
tahun. Kedua, perjumpaan dengan seluruh nabi tersebut merupakan jawaban dari
Allah Ta‘ala untuk Ibn ‘Arabi yang tampaknya tengah bertanya-tanya ihwal
siapakah sebenarnya gerangan Abu Muhammad al-Qaba‘ili yang menjadi mursyidnya.
Ayat Al-Quran dan perkataan dari nabi Hud menandaskan kepada Ibn ‘Arabi
bahwasanya sang mursyid itu termasuk “dabbah yang Allah pegang ubun-ubunnya”
sebagaimana halnya seluruh nabi yang dijumpai Ibn ‘Arabi.
Wahai salik yang ingin menemukan
keselamatan, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mencari seorang mursyid
yang akan melihat kesalahan-kesalahanmu dan menunjukkannya kepadamu. Kamu boleh
saja berjalan jauh dan berusaha keras membebaskan dirimu, tapi mursyidlah yang
akan menyelamatkanmu dari perbudakan di bawah tirani hawa nafsumu. Lakukanlah
ini sekarang, karena apa pun yang kita miliki saat ini adalah lebih baik
daripada apa yang terbaik yang kita bayangkan akan kita miliki besok.
Ketika kamu menemukan mursyid, kamu harus menjadi seperti mayat di kedua tangan orang yang menyucikannya terakhir kali. Kamu harus siap menerima mursyidmu apa adanya. Tidak pernah mengkritik atau mencari kesalahannya, bahkan sekalipun ia bertindak melawan syariat. Tidak ada manusia tanpa kesalahan. Semua manusia bersalah dan berdosa, dan tidak ada yang selamat dari kekeliruan. Kamu bukanlah seorang hakim yang sedang mencari seseorang yang bersalah; kamu adalah seseorang yang bersalah yang mencari seorang hakim yang adil.
Ketika kamu menemukan mursyid, kamu harus menjadi seperti mayat di kedua tangan orang yang menyucikannya terakhir kali. Kamu harus siap menerima mursyidmu apa adanya. Tidak pernah mengkritik atau mencari kesalahannya, bahkan sekalipun ia bertindak melawan syariat. Tidak ada manusia tanpa kesalahan. Semua manusia bersalah dan berdosa, dan tidak ada yang selamat dari kekeliruan. Kamu bukanlah seorang hakim yang sedang mencari seseorang yang bersalah; kamu adalah seseorang yang bersalah yang mencari seorang hakim yang adil.
Jangan sembunyikan apa pun dari
mursyidmu, gagasan atau niat, buruk atau baik. Jangan pernah duduk di tempat
dia duduk. Jangan pakai apa pun yang dia pakai. Beradalah di hadapannya dengan
hormat dan baik, layaknya seorang hamba di depan tuannya.
Ketika dia meminta sesuatu kepadamu,
atau menyuruhmu melakukan sesuatu, bukalah kedua telingamu dan gunakan
pikiranmu untuk memahami apa yang dia inginkan dengan pasti. Jangan lakukan apa
pun tanpa yakin bahwa itulah yang dia inginkan. Jangan mencari-cari alasan
mengapa dia menginginkan apa yang dia inginkan.
Jika kamu harus meminta sesuatu darinya, jangan mengharapkan atau bersikeras pada satu jawaban. Kamu harus mengatakan kepadanya penglihatan-penglihatanmu, tapi jangan bersikeras pada sebuah penafsiran.
Jangan dengarkan orang-orang yang berbicara melawannya, karena hal itu akan menimbulkan perlawan dalam dirimu terhadapnya. Jika kamu mengetahui orang-orang yang melawannya, tinggalkan mereka sendirian, jangan berbantah dengan mereka maupun mempertahankan persahabatan dengannya. Serahkan mereka kepada Allah. Allahlah yang akan melihat mereka.
Cintai mereka yang memuji mursyidmu
dan penuhi kebutuhan-kebutuhannya sebagaimana kamu akan memenuhi
kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Jika mursyidmu menceraikan istrinya, jangan
pernah menikahinya atau memiliki apa pun yang berkaitan dengannya. Sekalipun
demi tujuan paling baik, jangan pernah memasuki rumahnya tanpa izinnya.
Kamu harus berada sedekat mungkin
dengannya tanpa membuat dirimu diperhatikan. Jika dia ingin berbincang
denganmu, jangan tanyakan pertanyaan apa pun atau berdebat dengannya. Jangan
menginginkan apa pun yang tidak dia inginkan. Jika sesuatu masuk kedalam
pikiran, simpanlah itu untuk dirimu; jangan ungkapkan. Ikutilah jalan yang
telah dia tunjukan untukmu. Dengan demikian, kamu akan menjaga posisi
terhormatmu, posisi yang dicapai dengan kemuliaan perilaku yang baik. Begitulah
ikatan antara kamu dan dia.
Ketika hendak meminta nasehatnya tentang masalah berkenaan dengan dirimu, lakukanlah hal ini jika dia suka, jangan lakukan jika dia tidak suka—tapi jika dia menyuruhmu untuk melakukannya dan dia marah kepadamu karena kamu melakukannya, berhentilah melakukannya. Perubahan pikiran ini adalah demi kebaikanmu, namun dia akan menyesalinya. Dengan mengingatnya belakangan bahwa kamu tidak melakukan kesalahan di dalamnya, dia akan mendapati dirinya bertanggung jawab dan merasa sedih. Dia akan berusaha memperbaiki apa yang telah dia lakukan kepadamu dan pada saat yang sama kamu akan menjaga kehormatanmu dan tingkah lakumu yang baik. Waspadalah, perasaan-perasaan yang buruk terhadap mursyid hanyalah ditemukan pada para murid yang malas, yang tidak melakukan kewajiban mereka, dan memiliki maksud-maksud buruk untuk memulainya.
Apa pun tindakan mursyid, jangan
ditentang atau ditanyakan alasannya. Selalu taatlah. Bersikaplah rendah hati
kepada para murid yang lebih disukai mursyidmu daripada kamu. Sekalipun dia
tidak hadir, duduklah dengan pantas, berdirilah dengan pantas, dan berbicaralah
dengan pantas sesuai dengan perilaku yang baik, seolah-olah dia ada di sana dan
melihatmu. Jangan berjalan di depannya kecuali saat gelap. Jangan melihat ke
matanya—jika kamu lakukan, itu akan mengurangi hormatmu kepadanya dan mengikis
rasa malu dalam hatimu. Jangan duduk di depannya kecuali dalam keadaan niscaya,
tapi tunggulah di balik pintu, agar kamu bisa segera berada di sana ketika dia
menginginkan kamu. Jangan pergi ke manapun, bahkan sekalipun itu untuk
mengunjungi ayahmu, tanpa izinnya.
Setiap kali kamu menjumpainya,
ciumlah tangannya dan tetaplah berdiri hingga dia menyuruhmu duduk. Lindungi
kekayaannya. Jika kamu membawakan sesuatu kepadanya untuk dia makan, bawakan
apa yang dia sukai, pada waktu yang dia sukai, dengan cara yang dia sukai.
Jangan menatapnya selama dia makan. Ketika dia selesai, bersihkan mejanya
dengan segera. Jika ada sisa di piringnya dan dia menyuruhmu memakannya,
lakukanlah, karena ada berkah di dalamnya. Jangan dengki pada apa yang dia
makan dan jangan hitung kunyahannya.
Bekerja keraslah selalu. Ini akan
menyenangkan mursyidmu. Selalu inginkan yang baik untuknya dan harapkan yang
baik darinya. Namun, berhati-hatilah bahwa dia bisa memerdayamu, karena para
mursyid terkadang bermaksud melakukan hal ini untuk menguji para muridnya.
Perhatikanlah dan berhati-hatilah ketika kamu bersamanya. Jika kamu melakukan
sesuatu yang tidak pantas dalam kehadirannya, berpikir bahwa dia tidak akan
melihat, ketahuilah bahwa dia melihatnya dengan sangat baik karena dia melihat
segala yang kamu kerjakan dan apa pun yang melintas dalam dirimu. Dia cuma
berpura-pura tidak tahu, karena dia tidak ingin kamu dihukum. Di sisi lain,
jika dia menghukummu dan menyiksamu serta menyakiti perasaanmu, terimalah itu
dengan lapang dada, tanpa merasa jengkel kepadanya.
Selama dia senang kepadamu dan
menyukai apa yang kamu lakukan, cintamu dan hormatmu untuknya akan semakin
bertambah. Dan selama kerendahan hatimu dan ketaatanmu kepadanya semakin kuat,
kehadiranmu akan tumbuh dalam hatinya dan keadaanmu akan bertambah baik. Ketika
mursyidmu sedang berada dalam sebuah perjalanan, perhatikanlah waktu-waktu
ketika kamu biasanya berjumpa dengannya, dan di tempat di mana dia duduk,
sampaikan hormat secara batin seolah-olah dia berada di sana. Bukanlah hakmu
untuk menanyainya kemana atau mengapa dia bepergian. Ketika dia berbicang
denganmu mengenai suatu masalah, ketahuilah bahwa dia tidak sedang meminta
pendapatmu karena dia membutuhkannya, melainkan sebagai sebuah tanda perhatian
dan kebaikan. Jawabanmu sebaiknya, “Anda jauh lebih mengetahui.” Yang
terpenting, waspadalah atas sikap melawan apa yang dia ingin lakukan. Bahkan
sekalipun kamu sangat yakin bahwa apa yang sedang dia kerjakan adalah salah,
bantulah dia melakukannya dan simpan pikiran-pikiranmu.
Di jalan sufi, seseorang maju hanya
manakala mursyidnya maju. Tanganmu berada dalam genggaman tangan mursyidmu, dan
tangan mursyidmu berada dalam genggaman tangan Allah. Perbincangan, diskusi,
dan penafsiran tidak berlangsung untuk membawamu ke mana pun. Jalan menuju
kebenaran adalah mengikuti petunjuk-petunjuk dengan tanpa menafsirkannya,
karena pemahaman rahasia-rahasia berhubungan dengan yang mengetahuinya. Jika
kamu berkata, “Aku pikir dia bermaksud begini,” atau, “Aku menduga dia
menginginkan begitu,” sambil mencoba menafsirkan perintah-perintah mursyidmu,
kamu betul-betul hanya mencoba melarikan diri dari melakukan apa yang harus
kamu lakukan: duduklah dengan baik dan menangislah atas keabaianmu! Segala
bencana yang menjatuhkan seorang murid berasal dari menafsirkan
petunjuk-petunjuk sang mursyid. Semua ini adalah permainan hawa nafsu. Pikiran,
akal yang sebenarnya, tidak menerima penafsiran: ia bukanlah salah satu yang
ini maupun itu. Ada sebuah asal dan sebuah alasan untuk setiap perintah; orang
cerdas sejati gelisah untuk memenuhinya.
Bahkan sekalipun kamu mengetahui apa
yang sebaiknya dilakukan besok, jangan lakukan itu atau bahkan berpikir
mengenainya hingga mursyidmu kemudian menyuruhmu. Terimalah setiap tindakan
mursyidmu, semua cara hidupnya. Cara dia makan, minum, tidur, dan cara berjalan
adalah urusannya, dan sebaiknya kamu tidak mempunyai satu pendapat atau satu
komentar pun tentangnya. Demi kepentinganmu sendiri, masuk ke dalam kehidupan
mursyidmu hanya ketika dipanggil. Jangan katakan, “Mursyid, apakah kita makan
bersama di rumah?” atau, “Jika Anda tidak datang ke tempat si anu dan anu, saya
akan pergi!” Dengan begitu, kamu sedang mencoba membuatnya meminta kamu untuk
makan dengannya—memang terimalah begitu saja bersamanya! Meskipun membawamu
bersama, hal ini akan menjauhkanmu, karena hal itu akan mengurangi rasa cinta
dan sayang serta perhatian untukmu dalam hatinya. Jika perasaan-perasaaan ini
musnah, ikatan itu rusak dan murid itu tidak akan pernah menemukan keselamatan
atau kedamaian. Siapa pun yang mengatakan sebaliknya, berarti dia tidak
mengetahui baik jalan mau pun dirinya.
Wahai pencari, camkanlah ini, agar
hubungan dengan mursyidmu, menjadi seperti yang saya lukiskan: semoga Allah
berkehendak. Ketahuilah pula bahwa awal mula jalan ini adalah penyesalan. Kamu
harus mencoba, bahkan terhadap musuh-musuhmu, senang denganmu. Lupakanlah
kekejaman mereka dan cucurkan air mata untuk waku yang telah kamu habiskan
berjuang hanya melawan hawa nafsumu. Jadilah kawan pada pengetahuan: tak
seorang pun yang bebas dari kesalahan dan dosa. Membuat perhitungan terbuka atas
kesalahan-kesalahan yang telah kamu perbuat demi menunjukkan kepada mursyidmu
bahwa kamu sedang menyesal adalah munafik dan berbahaya. Tanda penyesalan yang
sebenarnya adalah meninggalkan apa yang telah kamu lakukan itu, dan dari
situlah kamu akan waspada, tulus, tekun, dan suci.
Terlihat bahwa pandangan Ibn ‘Arabi
tentang adab salik kepada mursyid tersebut merupakan pengetahuan haqq yang
diperoleh langsung dari Allah Ta’ala melalui penyaksian nafs dan qalb Ibn
’Arabi ketika berusia 26 tahun. Penghormatannya yang demikian tinggi kepada
mursyid tidak lahir dari ketaklidan buta—terlebih pengabaian ‘otonomi individu’
sebagaimana tersirat dalam ‘penilaian kritis’ diatas. Karenanya, tidaklah
mengherankan apabila uraian Ibn ‘Arabi tentang adab kepada mursyid tersebut
akan terbaca seperti membenarkan ‘kecurigaan’ berbuah ‘kritik’ ihwal fungsi
thariqah dan mursyid sebagaimana tertuang di atas. Permasalahannya, ‘penilaian
kritis’ tersebut lahir dari cara berpikir ‘kritis rasional’, yang, bagaimana
pun, ada unsur asumsi dan spekulasi dalam penyimpulannya. Ditambah lagi dengan
ketiadaan pengalaman menerjuni dan menjalani dunia thariqah untuk mencari
mursyid sejati. Karena itu, apabila kita tidak memiliki pengetahuan yang haqq,
hanya otak di badan ini yang baru berfungsi, maka milikilah niat yang kuat dan
murni untuk mencari Allah Ta‘ala. Saksikan bagaimana dia mengalirkan hidup
kita. Wallahu‘alam bishawwab.
Catatan-catatan:
1. Miranda Risang Ayu, “Mencari
Tuhan”, Basis, nomor 03-04, tahun ke-55, Maret-April 2006, hlm. 31, 34.
2. Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
3. Muhammad Al-Bagir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
4. Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia, Sri Gunting: Jakarta, cetakan pertama, Mei 1999, hlm. 150. Untuk penjelasan lebih jauh tentang konsep nabi, rasul dan wali dalam Islam, baca buku ini.
5. Walaupun secara zahir, para wali di jazirah Arab dan India tidak membentuk Dewan Wali seperti di Indonesia, namun secara nafs mereka saling mengenal satu sama lain dan bahkan tak jarang mereka sering bertemu satu sama lain secara nafs. Uraian tentang hal ini bisa dilihat di karya-karya Ibn ‘Arabi yang sangat gamblang memaparkan berbagai pengalaman spiritualnya dan juga pertemuannya dengan para wali sezamannya maupun yang sudah meninggal dunia.
6. Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali ra, Bandung: Mizan, cet. 3, 1994, hlm. 35.
7. Dikutip dari Zamzam A.J.T., Jurnal Serambi Suluk 1994, PICTS: Bandung, tidak dipublikasikan.
8. Ulama umat ini terbagi dua. Yang satu dianugerahi Allah ilmu lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak mengharap apa-apa dan tidak diperjualbelikan. Ulama yang seperti ini didoaakan kepadanya oleh burung di udara, ikan di dalam air, hewan di atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa ke hadapan Allah pada hari kiamat sebagai seorang tuan yang mulia, sehingga menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah, mengharap apa-apa dan memperjualbelikan. Ulama yang seperti ini datang pada hari kiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Di hadapan manusia ramai tampil seorang penyeru, menyerukan: “Inilah si anu anak si anu dianugerahi Allah ilmu di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada hamba Allah, dia mengharap apa-apa dan memperjualbelikannya.” Ulama tadi diazabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalannya. (Al-Hadis)
9. Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 2, 1996, hlm. 30.
10. Ibid., hlm. 72.
11. Syaikh Al-Akbar Muhyiddiin Ibn ‘Arabi, Selamat Sampai Tujuan: Panduan Bagi Penempuh Jalan Iman, Serambi: Jakarta, November 2003, hlm. 18
12. Claude Addas, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ’Arabi, Serambi: Jakarta, Juli 2004, hlm. 115.
13. Ibid., hlm. 116.
14. Ibid., hlm. 116.
15. Ibid., hlm. 117.
16. Ibn ‘Arabi, Selamat Sampai Tujuan…, hlm. 71-80.
link 1.: dewialessandrapurnamasari.blogsome.com/2008/08/02/mursyid-dan-saliknya-tashawwuf-bukan-tanpa-thariqah/
2. Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm. 178, 183-184.
3. Muhammad Al-Bagir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.
4. Michel Chodkiewicz, Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia, Sri Gunting: Jakarta, cetakan pertama, Mei 1999, hlm. 150. Untuk penjelasan lebih jauh tentang konsep nabi, rasul dan wali dalam Islam, baca buku ini.
5. Walaupun secara zahir, para wali di jazirah Arab dan India tidak membentuk Dewan Wali seperti di Indonesia, namun secara nafs mereka saling mengenal satu sama lain dan bahkan tak jarang mereka sering bertemu satu sama lain secara nafs. Uraian tentang hal ini bisa dilihat di karya-karya Ibn ‘Arabi yang sangat gamblang memaparkan berbagai pengalaman spiritualnya dan juga pertemuannya dengan para wali sezamannya maupun yang sudah meninggal dunia.
6. Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat Imam Ali ra, Bandung: Mizan, cet. 3, 1994, hlm. 35.
7. Dikutip dari Zamzam A.J.T., Jurnal Serambi Suluk 1994, PICTS: Bandung, tidak dipublikasikan.
8. Ulama umat ini terbagi dua. Yang satu dianugerahi Allah ilmu lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak mengharap apa-apa dan tidak diperjualbelikan. Ulama yang seperti ini didoaakan kepadanya oleh burung di udara, ikan di dalam air, hewan di atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa ke hadapan Allah pada hari kiamat sebagai seorang tuan yang mulia, sehingga menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah, mengharap apa-apa dan memperjualbelikan. Ulama yang seperti ini datang pada hari kiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Di hadapan manusia ramai tampil seorang penyeru, menyerukan: “Inilah si anu anak si anu dianugerahi Allah ilmu di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada hamba Allah, dia mengharap apa-apa dan memperjualbelikannya.” Ulama tadi diazabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalannya. (Al-Hadis)
9. Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 2, 1996, hlm. 30.
10. Ibid., hlm. 72.
11. Syaikh Al-Akbar Muhyiddiin Ibn ‘Arabi, Selamat Sampai Tujuan: Panduan Bagi Penempuh Jalan Iman, Serambi: Jakarta, November 2003, hlm. 18
12. Claude Addas, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ’Arabi, Serambi: Jakarta, Juli 2004, hlm. 115.
13. Ibid., hlm. 116.
14. Ibid., hlm. 116.
15. Ibid., hlm. 117.
16. Ibn ‘Arabi, Selamat Sampai Tujuan…, hlm. 71-80.
link 1.: dewialessandrapurnamasari.blogsome.com/2008/08/02/mursyid-dan-saliknya-tashawwuf-bukan-tanpa-thariqah/