Selain itu, tidak
semua mursyid adalah waliyullah, sebagaimana tidak semua waliyullah adalah
mursyid. Misalnya, Muhammad Rahim Bawa Muhayaddeen adalah seorang mursyid namun
bukan wali. Adapun waliyullah itu adalah “rasul” atau utusan pada tingkatan
terendah, karena mereka tidak membawa kitab suci, syariat dan agama baru.
Tentang hal ini, Ibn ‘Arabi menjelaskan: “Rasul-rasul tidak pernah berhenti dan
tidak akan pernah berhenti keberadaannya di dunia ini sampai Hari Kebangkitan,
dan ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka tidak membawa sebuah
agama yang membatalkan agama Muhammad, dan mereka tidak menganut agama apa pun
kecuali agama Muhammad. Namun, sebagian besar manusia tidak mengetahui masalah ini.
”Tiap-tiap umat
mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan
antara mereka dengan adil dan mereka tidak dianiaya…
(QS Yunus [10]: 47-49)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat: “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya…
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat: “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya…
(QS An-Nahl [16]: 36)
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?…
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?…
(QS Al-An’âm [6]:
130)
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…
(QS Ibrahim
[14]: 4)
Bagaimana dengan para
wali? Sebagaimana terlihat dalam Al-Quran bahwa manusia itu senantiasa
menyimpang dan menjauh dari Tuhannya, dan akan senantiasa seperti itu. Hal yang
serupa terjadi pula pada umat Islam. Maka, para waliyullah bertugas untuk
meluruskan kembali orientasi perjalanan umat, membawa jalan penyucian, serta
memurnikan kembali Ad-Dîn-Nya yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw
berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis. Mereka, yaitu para rasul atau utusan, adalah
orang-orang yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi petunjuk bagi
manusia.
Dan diantara
orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan al-haqq
dan dengan al-haqq itu mereka menjalankan keadilan.
(QS Al-A’râf [7]: 181)
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa al-haqq sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa al-haqq sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
(QS Fâthir [35]: 24)
Tidak semua rasul
adalah nabi, sebagaimana tidak semua nabi adalah rasul, karena rasul mempunyai
misi ke umat. Apabila pintu nubuwwah (kenabian) sudah tertutup, seandainya
tidak ada rasul untuk tiap-tiap umat, siapa yang akan membimbing umat serta
menjelaskan makna terdalam dari Al-Quran? Padahal manusia senantiasa menyimpang
jalannya. Itulah misi para waliyullah. Merekalah yang akan menzahirkan Islam
dengan kekuatan dari sisi Allah, dan sepanjang zaman akan ada orang-orang yang
menjadi rasul atau utusan pada peringkat terendah untuk membimbing umat. Dengan
niat ikhlas untuk bertaubat manusia harus mencari utusan itu. Di Nusantara ini,
khususnya di Pulau Jawa, pernah ada fenomena kewalian yang sangat unik dan
berbeda dari fenomena kewalian di jazirah Arab dan India pada umumnya. Para
wali yang mengislamkan Tanah Jawa dikenal dengan nama Wali Sanga (Sembilan
Wali) yang juga merupakan Wali Sangga (Dewan Wali).
Fenomena Dewan Wali
ini dapat dibandingkan dengan kewalian di kalangan para sahabat setelah
meninggalnya Rasulullah Muhammad Saw, karena mereka kerap berkumpul dalam satu
majelis untuk membahas masalah agama dan umat. Namun, setelah masa kewalian
para sahabat, kewalian di jazirah Arab dan India tidak lagi menzahirkan adanya
Dewan Wali, sehingga terkesan terpencar dan berdiri sendiri, walaupun secara
konseptual ihwal Dewan Wali pernah dituliskan oleh Ibn ‘Arabi.
Baru di Tanah
Jawa-lah kesembilan wali itu kerap berkumpul untuk membahas masalah agama dan
umat, bahkan Masjid Demak pun didirikan secara bersama oleh Dewan Wali
tersebut.
Para wali-Ku di bawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan
mendekat kepada seorang wali kecuali jika Allah memberikan taufik dan
hidayah-Nya. Supaya ia juga langsung mengenal kepada Allah dan kebesaran-Nya
yang diberikan kepada seorang manusia yang dikehendaki-Nya. (Al-Hadis)
Setiap waliyullah itu
memegang segel walayah (kewalian) nabi tertentu dalam salah satu aspek khusus.
Misalnya, Abdul Qadir Jailani adalah walayah Musaiyyah dalam aspek karamahnya
yang zahir, sebagaimana zahirnya mukjizat Nabi Musa. Atau Syaikh Alawi (salah
satu wali shufi abad 20 seperti Imam Khomeini) adalah walayah Isaiyyah dalam
aspek kezuhudannya, sebagaimana zuhudnya Nabi Isa, sehingga tampak sangat
miskin dari kepemilikan harta dunia. Dan banyak lagi segel walayah lainnya. Di
antara walayah tersebut, ada yang merupakan walayah Muhammadiyyah, yang dimulai
pertama kali oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan ditutup oleh Ibn ‘Arabi
(keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq) sebagai Khataman Walayah Muhammadiyyah. Karena
itu, setelah Ibn ‘Arabi, tidak akan ada lagi waliyullah yang berada dalam segel
walayah Muhamadiyyah, tetapi segel walayah Nabi lainnya akan terus berlangsung
hingga akhir zaman.
Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada
mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Baqarah [2]: 129)
Sebagaimana Kami telah Mengutus kepadamu Rasul di antara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu keta¬hui. (QS Al-Baqarah [2]: 151)
Dialah Yang Mengutus kepada kaum yang ummi seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS Al-Jumu‘ah [62]: 2)
Dari ayat Al-Quran di
atas, terlihat bahwa misi para rasul, dan dalam hal ini lebih dikhususkan
kepada waliyullah, adalah membacakan atau menampilkan ayat-ayat Allah atas
seizin-Nya, mengajarkan Al-Kitab (bukan membawa kitab suci dan syariat baru),
mengajarkan hikmah atau inti kebijaksanaan, serta membawa jalan pensucian.
Adapun pengertian ummi itu ada dua, yaitu, buta huruf dan baca tulis, atau buta
dari perkara-perkara al-haqq dan ummi dari ayat-ayat yang mutasyabihat.
Ciri-ciri Rasul itu adalah laki-laki dan diberi wahyu.
Dan Kami tidak Mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl [16]: 43)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu
dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak
bagi seorang Rasul menda¬tangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi
tiap-tiap masa ada Kitab. (QS Ar-Ra’d [13]: 38)
Namun, sebagaimana senantiasa berulang dalam sejarah para Nabi,
hal yang serupa terjadi pula terhadap para waliyullah tersebut, yaitu umatnya
pun tidak dapat mengenali kebenaran yang dibawakan, untuk kemudian malah
menentang mereka. Hal ini adalah ujian dari Allah bagi para utusan-Nya serta
merupakan suatu Sunatullah. Adanya kisah-kisah para Nabi dengan umatnya di Al
Quran merupakan peringatan dari Allah agar menjadi pelajaran bagi manusia,
bahwa bila datang seorang Rasul kepada mereka dan mereka membantah, maka
azablah akibatnya.
Bertanya Sa’ad bin Abi Waqqash, “Di antara manusia, siapakah
yang mendapat seberat-berat ujian, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab,
“Para Nabi, kemudian orang-orang yang semisal dengan mereka, lalu orang-orang
yang sejenis dengan mereka itu pula!” (Al-Hadis)
Mereka yang dikatakan
sejenis dengan para Nabi tetapi bukan Nabi—yang berarti tidak membawa nubuwwah
atau agama baru—adalah mereka yang sejenis dalam misi hidup yang diembannya,
yaitu sebagai Hujjah-Hujjah Allah. Rasulullah Saw pernah bersabda “Para ulama
di kalangan umatku bagaikan nabi-nabi bani Isra’il.” Di antara para waliyullah
ada yang disebut sebagai Quthbun ‘Auliyya, yang menjadi pemimpin dari para
waliyullah lainnya. Mereka adalah para Rabbaniyyah pada zamannya. Jenjang
Rabbaniyyah adalah tingkat kesucian para Nabi. Imam Ali bin Abi Thalib, yang
merupakan Quthbun ‘Auliyya pertama pasca Rasulullah, mengatakan bahwa: “Manusia
itu ada tiga macam: Rabbani yang berilmu; atau orang yang senantiasa belajar
dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan;
atau—selebihnya—orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua
suara—yang benar maupun yang batil—bergoyang bersama setiap angin yang
mengembus, tiada bersuluh dengan nur ilmu dan tiada melindungkan diri dengan
“pegangan” yang kukuh-kuat.
Sedang Abu Yazid Al-Bisthami, Quthbun ‘Auliyya
periode berikutnya, mengatakan: “Bukanlah seorang ulama itu yang hapal sebuah
kitab, apabila ia lupa pada apa yang dihapalnya ia pun kembali menjadi orang
bodoh. Namun seorang ulama adalah seorang yang mengambil ilmu dari Tuhannya di
setiap saat yang dikehendakinya, tanpa hapalan maupun pengkajian, itulah yang
disebut ulama Rabbaniyyah.
Predikat wali di
masyarakat awam biasanya adalah penisbatan sederhana kepada figur-figur yang
dinilai ‘layak’ menjadi wali. Begitu pula dengan penisbatan gelar ulama. Namun,
salah satu pengertian ulama adalah mereka yang seperti disabdakan oleh
Rasulullah Muhammad Saw, yaitu, “Seorang syaikh pada kaumnya adalah seperti
nabi pada umatnya.” dan “Ulama itu pewaris dari Nabi-Nabi.” Keulamaan seperti
ini lebih susah untuk dikenali oleh orang banyak, karena seperti dikatakan Imam
Al-Ghazali, ulama jenis seperti ini adalah kuburan berbagai rahasia Ilahi.
Rasul-rasul
itu—minimal tingkatan waliyullah—adalah mereka yang disebut Imam Ali bin Abi
Thalib sebagai Qa’im billah bi hujjah (petugas Allah pembawa hujjah-Nya).
Mereka merupakan orang-orang yang telah dipelihara Allah melalui
petunjuk-petunjuk-Nya, sehingga mereka berada di atas Shirâthal Mustaqîm dan
menjalankan qudrah-Nya. Mereka telah menemukan misi hidupnya dan menjadi saksi
Allah yang haqq (syuhada). Mereka itulah yang seharusnya menjadi ikutan umat,
pemandu-pemandu untuk menemukan jati diri masing-masing, misi hidupnya, para
pemandu ke Shirâth Al-Mustaqîm.
Sedangkan jalan
pensucian yang dibawa oleh para utusan tersebut pasti akan dikenali dan diikuti
hanya oleh mereka yang memang beritikad sungguh-sungguh ingin bersih dan suci,
karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Dia Ta‘la tidak mungkin
menyesatkan manusia yang ingin kembali kepada-Nya dengan tulus. Allah pasti
akan membimbingnya menuju jalan pensucian. Adapun maksud kata suci (yudzakûna)
tidaklah sama dengan bersih (thaharah). Suci artinya bersih dan mendapat nur
Allah, dan nafsnya bersih sama sekali dari dosa.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan nafs itu.
(QS
Asy-Syams [91]: 9)
Mursyid sejati adalah
pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri,
sebagaimana halnya Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi segelintir sahabat
yang terpanggil untuk menempuh suluk. Memang, pada awalnya, di zaman Rasulullah
Muhammad Saw, thariqah itu tidak seeksplisit seperti pada masa sesudahnya. Hal
itu dikarenakan bahwa dengan menjalankan syariat yang, seolah, hanya terlihat lahiriahnya
(begitulah kesan yang sering mengemuka dalam berbagai periwayatan seputar sirah
Rasulullah Muhammad Saw), nafs para sahabat sudah bisa dibangunkan dan
mengalami pensucian. Bayangkan, betapa besarnya tantangan yang harus dihadapi
oleh umat muslim pada masa itu. Sebuah agama baru dengan segelintir penganut
yang harus mempertaruhkan nyawa ‘hanya’ untuk menjalankan agamanya. Kemudian,
setelah Islam mulai mapan sebagai agama, ketika umat muslim bisa leluasa
beribadah tanpa ancaman kematian, dan Islam mulai meraih berbagai kemenangan di
daerah-daerah wilayah penaklukan baru, maka thariqah sebagai metode untuk
membangunkan dan membersihkan nafs yang lumpuh karena berbagai dosa menjadi
dieksplisitkan. Begitu pula halnya dengan kemursyidan.