Oleh:
Ustadz Abu Ahmad Said Yai
Hidup
di dunia adalah hidup yang sementara. Sungguh indah apabila kita menjadi hamba
Allah yang benar-benar mulia. Tidaklah kita diciptakan di dunia ini kecuali
hanya untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” (QS Adz-Dzariyat : 56)
Jika
kita tahu bahwa tujuan hidup di dunia ini adalah hanyalah untuk beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka sudah seharusnya kita benar-benar
dapat meluangkan waktu kita untuk beribadah kepada-Nya.
Ibadah-ibadah
sangatlah banyak jumlahnya. Kira-kira, ibadah apakah yang paling agung dalam
sejarah manusia?
Apakah
shalat? Ataukah sedekah? Ataukah berbakti kepada kedua orang tua? Ataukah
ibadah lain?
Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan seluruh manusia di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya:
Artinya:
“Wahai manusia! Sembahlah Rabb (Tuhan) kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS
Al-Baqarah : 21)
Apa arti kata “U’buduu/sembahlah”
pada ayat di atas?
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu
berkata:
Artinya:
“Setiap (kata) yang ada di dalam Al-Qur’an yang berarti ‘penyembahan’, maka
maknanya adalah bertauhid (kepada Allah).” Dengan demikian, sekarang kita telah
sama-sama mengetahui bahwa ibadah teragung tersebut adalah tauhidullah
(bertauhid kepada Allah).
Apa arti tauhid?
Menurut
bahasa Arab, “tauhid” berarti menjadikan sesuatu menjadi satu saja. Sedangkan
menurut Islam, tauhid adalah menyerahkan ibadah dengan ikhlas hanya untuk Allah
dan tidak dicampuri dengan kesyirikan.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
Artinya
: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” (QS Al-Bayyinah : 5)
Pentingkah tauhid?
Para
ulama memisalkan tauhid dengan pondasi atau asas suatu bangunan. Apabila
pondasinya tidak kokoh, maka percuma saja membangun bangunan yang tinggi,
lambat laun bangunan tersebut akan roboh juga. Berbeda dengan bangunan yang
berpondasi kuat, setinggi apapun bangunan yang didirikan, maka dia akan tetap
kokoh.
Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Barangsiapa yang berkeinginan untuk
membangun bangunan yang tinggi, maka perkara yang wajib dilakukannya adalah
memperkuat dan memperkokoh pondasi bangunan tersebut disertai dengan
pengawasan yang ketat. Karena, tingginya sebuah bangunan itu tergantung pada
kekuatan dan kekokohan pondasi bangunan tersebut.
Apabila
keseluruhan amal dan derajat adalah bangunan, maka pondasinya adalah iman…Orang
yang tahu (berilmu), dia akan berusaha untuk menguatkan dan memperkokoh pondasi
bangunannya. Sedangkan orang yang jahil (bodoh), (dia akan terus) meninggikan
bangunannya tanpa (memperhatikan) pondasi bangunannya. maka kemungkinan besar
yang akan terjadi adalah ambruknya bangunan tersebut.”
Oleh karena itu Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada
Allah dan ke-ridha-an-(Nya) itu yang lebih baik, ataukah orang-orang
yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu
jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim. (QS At-Taubah : 109)
Di
dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala membuat permisalan tentang orang yang
berpegang teguh dengan tauhid dan kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’ dengan
sebuah pohon yang memiliki akar yang kuat dan batangnya menjulang ke langit
dengan kokoh serta selalu memberikan manfaat setiap waktu. Berbeda dengan orang
yang tidak bertauhid, Allah subhanahu wa ta’ala memisalkannya dengan
tanaman yang jelek.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
Artinya:
“ (24) Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit (25) Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Rabb (Tuhan)nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat. (26) Dan perumpamaan kalimat yang buruk
seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan
bumi, dia tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS Ibrahim : 24-26)
Itulah perumpamaan orang yang
bertauhid dengan orang yang tidak bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Setelah
membaca paparan di atas, maka sebagai orang yang beriman, kita tidak boleh
meremehkan ilmu tauhid dan berhenti untuk mengajak manusia untuk bertauhid
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sekarang
ini banyak manusia terlalaikan dengan dunia dan banyaknya syubhat yang
diterima, sehingga mereka merasa tidak perlu lagi untuk belajar ilmu tauhid. Subhanallah,
siapa yang bisa menjamin bahwa mereka telah aman dari dosa syirik, lawan dari
tauhid.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sangat takut jika para sahabanya terjatuh
pada kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa
berlindung dari kesyirikan kepada orang terbaik umat ini, Abu Bakr Ash-Shiddiq,
sebagaimana tercantum pada hadits berikut:
Artinya:
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, dia bercerita, “Saya pernah pergi menuju
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakr. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Abu Bakr! Sesungguhnya kesyirikan yang
ada pada diri kalian lebih samar daripada semut (yang gelap).’ Abu Bakr radhiallahu
‘anhu pun berkata, ‘Bukankah yang dimaksud dengan syirik adalah jika
seseorang menjadikan sembahan selain (Allah)?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya! Kesyirikan lebih
samar daripada semut. Apakah engkau mau saya tunjukkan sesuatu yang jika engkau
mengatakannya, maka kesyirikan akan terhindar darimu, sedikit maupun banyak?’
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Katakanlah: Allaahumma
innii a’uudzu bika an usyrika bika wa ana a’lam, wa astaghfiruka limaa laa
a’lam. (Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik
kepada Engkau sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada Engkau
atas apa yang tidak aku ketahui.’.”
Subhanallah inilah doa yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita
terhindar dari kesyirikan.
Para
ulama juga menyebutkan –ketika menjelaskan hadits ini- bahwa seseorang bisa
saja menjadi seorang musyrik (pelaku kesyirikan) sedangkan dia tidak ketahui
atau tidak sadar. Allahua’lam.
Siapakah
di antara kita yang lebih afdhal dari para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam? Tentu tidak ada. Akan tetapi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata dan mewanti-wanti mereka dengan sabdanya:
Artinya:
“Sesungguhnya yang paling saya takutkan pada diri kalian adalah asy-syirk
al-ashghar (syirik kecil). Kami (Para sahabat) pun berkata, “Ya Rasulullah!
Apakah asy-syirk al-ashghar itu?” Beliau pun menjawab, “Dia adalah riya’.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala berkata di hari pembalasan
terhadap amalan-amalan manusia: Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian riya’-i
dengan amalan-amalan kalian di dunia! Lihatlah apakah kalian mendapatkan
balasannya?”
Siapa di antara kita yang lebih afdhal
dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam?
Beliau
‘alaihissalam sangat takut bila terjatuh kepada perbuatan syirik,
sehingga beliau berdoa dengan doa yang diabadikan Allah di dalam Al-Qur’an:
Artinya
: ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Rabbi (Tuhanku)! Jadikanlah
negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku
daripada menyembah berhala-berhala.” (QS Ibrahim : 35)
Oleh
karena itu, kita harus lebih takut apabila kita terjatuh kepada kesyirikan
daripada mereka. Tetapi hal ini banyak disepelekan oleh kebanyakan orang.
Sebagai contoh, bagaimana menurut pendapat pembaca tentang orang yang memakai
jimat di tangan, di leher atau di badannya?
Kebanyakan
orang pada saat ini, apabila ia menemukan saudaranya memakai gelang jimat
di tangannya guna penyembuhan dari penyakit atau yang lainnya, kebanyakan orang
tidak mengingkari hal tersebut. Akan tetapi, jika ia mendapatkan saudaranya
berzina dan membunuh, maka ia sangat menghinakan dan membesarkan hal
tersebut.
Penulis
tidak mengatakan bahwa perbuatan zina dan pembunuhan adalah dosa yang kecil dan
memang benar itu adalah perbuatan dosa besar dan kita wajib untuk memperhatikan
hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan menjauhinya. Akan tetapi, memakai
gelang jimat adalah perkara yang lebih besar dan hina. Karena, dalam akidah
(keyakinan) ahlussunnah wal jama`ah, pelaku dosa besar yang bertauhid
tidak akan kekal dalam neraka. Akan tetapi, dia berada dibawah masyi`ah
(kehendak) Allah. Apabila Allah mengehendaki untuk mengampuninya maka Dia akan
mengampuninya. Apabila Ia mengehendaki untuk menyiksanya maka Ia akan
menyiksanya.
Sedangkan
pemakai halqah (gelang jimat) untuk pengobatan maka ia telah
berbuat kesyirikan, entah itu syirik kecil (syirkul ashghar) ataukah
syirik besar (syirkul akbar).
Apabila
ia memakai gelang tersebut berkeyakinan bahwa benda tersebut hanya merupakan
sebab untuk menyembuhkan penyakitnya, maka ini termasuk kepada syirik kecil.
Sedangkan,
apabila ia memakai benda tersebut dengan keyakinan bahwa benda tersebutlah yang
memberikan kesembuhan dengan sendirinya, maka ini termasuk pada syirik besar.
Pelakunya akan kekal selama-lamanya dalam neraka, apabila ia meninggal dengan
keyakinan semacam ini. Na`udzu billahi min dzaalik.
Ini adalah salah satu contoh di
masyarakat kita. Masih banyak lagi contoh yang lain.
Oleh
Karena itu, kalau kita melihat dakwahnya seluruh Rasul, maka kita akan
mendapatkan bahwa mereka semua mendakwahkan tauhid, yaitu agar manusia hanya
menyembah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
Artinya: “Dan telah kami utus pada
setiap umat seorang Rasul untuk memerintahkan: Sembahlah Allah dan jauhilah
thagut!” (QS An-Nahl : 36)
Dan juga firmannya:
Artinya
: ”Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az-Zumar : 65)
Contoh
yang harus diteladani kaum muslimin adalah Nabi kita sendiri, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah meninggalkan dakwah tauhid padahal
beliau adalah seorang yang bertauhid. Beliau tidak pernah melupakan dakwah
tauhid meskipun beliau berada dalam kepungan kaum musyrikin Mekah.
Beliau
juga tidak pernah berhenti membicarakannya meskipun beliau berada di kota
Madinah dan hidup di antara para sahabatnya yang senantiasa menolongnya.
Oleh
karena itu, meskipun umat ini telah mencapai derajat kesempurnaan dalam
kesadaran mentauhidkan Rab-nya, kekurangan itu pasti akan muncul juga dalam
diri manusia.
Kekurangan
yang paling keji adalah kekurangan dalam keikhlasan dan dalam penyepelean
tauhid. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah diam untuk memperingatkan akan bahaya syirik sampai tiba hari-hari
menjelang wafatnya. Padahal pada saat itu umat muslimin telah sampai kepada
derajat tertinggi dalam mentauhidkan Rab mereka dan juga dalam persatuan di
antara mereka.
Artinya:
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata ketika dia sakit yang mengakibatkan wafatnya, “Mudahan Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka telah menjadikan kuburan-kuburan
para Nabi mereka sebagai masjid.” Subhanallah! Inilah Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau sangat takut jika umatnya terjatuh kepada kesyirikan
setelah beliau wafat.
Dengan
demikian, mudah-mudahan kita bisa sama-sama menyadari bahwa ilmu tauhid sangat
penting untuk dipelajari. Oleh karena itu, untuk pembaca yang ingin mempelajari
tauhid dari dasar, maka penulis menyarankan untuk membaca buku-buku berikut:
- ‘Al-Aqidah Al-Wasithiyah’ karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah beserta kitab penjelasannya (syarh).
- ‘Kitab At-Tauhid’ dan kitab ‘Tiga Landasan Utama’ karya Syaikh Muhammad At-Tamimi beserta kitab penjelasannya.
- ‘Kitab Tauhid 1’, ‘Kitab Tauhid 2’ dan ‘Kitab Tauhid 3’ karya Syaikh Shalih Al-Fauzan dan kumpulan penulis.
- Cara Mudah Memahami Aqidah karya Syaikh Abdullah bin ‘Abdil-‘aziz Al-Jibrin, Pustaka Tazkia.
Dan jika bisa menghapalkan dalil-dalilnya
maka itu lebih baik lagi.
Demikian,
mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan kita bisa menjadi hamba Allah yang bisa
beribadah dengan ibadah teragung ini. Amin.
Tamma bifadhlillahi wa karamihi.