Rabu, 09 Mei 2012

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah


Dalam kitabnya Majmu’ Fatawa jilid 4 halaman 373, berkata:
“…dan apabila ini telah jelas, maka para ulama yang diridhai Allah beserta wali wali Allah yang makbul di sisi-Nya mengabarkan: Sesungguhnya Muhammad Rasul Allah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam didudukkan oleh Tuhannya di atas Arasy bersama-Nya.” Ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Fudhail dari Laits dari Mujahid tatkala menafsirkan: (عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) (“Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”) Tafsir ayat tersebut disebutkan juga dari jalur-jalur (thuruq) hadits yg marfu’ dan yang tidak marfu’. Ibnu Jarir (ath-Thabari) berkata: “Ini tidak menyalahi hadits-hadits yang berisikan tentang perihal bahwa “tempat yang terpuji” (yang dimaksud) adalah syafa’at sesuai kesepakatan para imam dari seluruhnya yang memeluk mengaku beragama Islam. Dia (Ibn Jarir) tidak mengatakan bahwa pendudukkan-Nya (terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) di atas Arasy adalah mungkar, tetapi ini diingkari oleh sebagian golongan Jahmiyyah.”
Di sini, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (semoga Allah memaafkan kita dan beliau) telah berbuat kesalahan tentang perihal Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab tafsirnya. Karena Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari saat itu sedang berhikayat dan menjabarkan riwayat perkataan-perkataan ulama yang berkaitan dengan penafsiran ayat tersebut, kemudian beliau memilih bahwa perkataan yang sahih tentang al-Maqam al-Mahmud adalah bahwa ia adalah syafaat. Silakan pembaca yang budiman, rujuk sendiri di Tafsir Ath-Thabari selengkapnya, karena yang dituliskan di sini hanya benang merahnya saja. Beliau berkata dalam jilid 15 halaman 98:
وأولى القولين في ذلك بالصواب ما صحّ به الخبر عن رسول الله. وذلك ما حدثنا به أبو كريب، قال: ثنا وكيع، عن داود بن يزيد، عن أبيه، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) سئل عنها، قال: “هِىَ الشَّفاعَةُ”.
“..dan yang paling benar di antara dua perkataan tentang (penafsiran ayat) itu adalah hadits yang sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hadits tersebut adalah yang dikabarkan Abu Kuraib, dia berkata: Waki’ mengabarkan kami dari Dawud bin Yazid, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) “Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” Beliau ditanya tentangnya. Jawab beliau: “Itu adalah syafa’at.”
Setelah itu, Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah juga mencantumkan hadits-hadits lain yang berkaitan. Di antaranya adalah:
حدثنا عليّ بن حرب، قال: ثنا مَكّيّ بن إبراهيم، قال: ثنا داود بن يزيد الأوْدِيّ، عن أبيه، عن أبي هريرة ، عن النبيّ صلى الله عليه وسلم في قوله( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) قال: “هو المقام الذي أشفع فيه لأمتي”.
Ali bin Harb mengabarkan kami, dia berkata: Makkiy bin Ibrahim mengabarkan kami, dia berkata: Dawud bin Yazid al-Awdiy mengabarkan kami dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentang firman-Nya:
(عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) “Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” Beliau bersabda: “Ia adalah tempat di mana aku berikan syafaat untuk umatku.”
Kemudian beliau menerangkan bahwa perkataan mengenai Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam didudukkan di atas Arasy-Nya tidak tertolak kebenarannya, baik dari sisi kabar ataupun sisi akal. Dari sisi kabar, memang tidak ada berita dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak dari sahabatnya dan tidak juga dari pengikut mereka, yang memustahilkan hal itu. Kemudian, secara logis beliau boleh duduk di atas Arasy.
Penisbatan “duduk” di atas Arasy kepada beliau, tidaklah ada masalah. Yang bermasalah dan tidak boleh bahkan terlarang adalah tatkala “duduk” itu dinisbatkan kepada Allah. Penafsiran “istawa” dengan makna “Jalasa” yang berarti “duduk” atau bahasa sopannya “semayam” adalah tafsiran batil menurut syariat dan akal sehat, juga tidak layak bagi kesucian Allah yang tidak diserupai dan tidak menyerupai makhluk. Di sisi lain, memang tidak ada riwayat yang menafsirkan demikian, kalaupun ada, tentu tafsiran tersebut popular di kalangan ulama.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata:
فإن ما قاله مجاهد من أن الله يُقعد محمدا صلى الله عليه وسلم على عرشه، قول غير مدفوع صحته، لا من جهة خبر ولا نظر
“Maka sebetulnya apa yang dikatakan oleh Mujahid mengenai Allah mendudukkan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas Arasy-Nya adalah perkataan yang kebenarannya tidak ditolak dari sisi kabar ataupun dari sisi akal.” Ibnu Jarir ath-Thabari tidak mengatakan tentang duduknya Allah juga di atas Arasy, tapi beliau bilang bahwa secara logis, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam boleh duduk di atas Arasy.
Belum pernah ditemukan bahwa di sana ada riwayat dari salaf salih yang terang-terangan mengatakan bahwa makna dari “istawa” adalah “al-Juluus”, yang berarti duduk atau bahasa sopannya “semayam”. Maka barangsiapa berani mengartikan “istawa” dengan kata “semayam” maka ia harus mendatangkan dalil yang sahih lagi akurat.
Ulama salafi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengingkari dan membantah akidah dalam riwayat Mujahid ini, dalam kitabnya “Mukhtashar al-Uluw” pada kata pengantarnya halaman 20, beliau berkata: “Aku katakan: Aku sudah tahu bahwa (riwayat) itu tidaklah tsabit dari Mujahid, akan tetapi ada riwayat lain yang sahih darinya, yang menyalahi riwayat itu sebagaimana yang sudah disebutkan..” “Dan tindakan menjadikannya satu perkataan yang dikatakan oleh Ibnu Jarir itu terdapat permasalahan.”
Kemudian di akhir halaman tersebut beliau berkata: “Singkat kata, sesungguhnya perkataan Mujahid ini – kalaupun itu benar darinya – tidaklah boleh dijadikan sebagai “AGAMA” dan “AKIDAH” selama riwayat tersebut tidak mempunyai “syahid” dari Kitab dan Sunnah. Andai saja si pengarang kitab (Imam Adz-Dzahabi) ketika menyebutkan riwayat itu, dia tegas menolaknya, (tegas) mengenai ketidak-layakkannya untuk dijadikan hujjah, dan tidak ragu-ragu.”
Imam Adz-Dzahabi, murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah sendiri, berkata dalam kitabnya “Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal” jilid 3 halaman 439: “Di antara yang paling mungkar dari apa yang datang dari Mujahid adalah perkataannya ketika menafsirkan (عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) dia (Mujahid) berkata: “Dia dudukkan beliau di atas Arasy-Nya.”
(استوى بلا كيف) “Dia beristiwa tanpa ditanya bagaimana istiwa-Nya”, adalah perkataan yang baik. Karena, “Istawa” dalam bahasa Arab punya kemungkinan banyak makna, ketika dinisbatkan kepada Allah, tentu orang yang masih menggunakan akalnya akan memilih makna yang pantas bagi Allah, yang jauh dari sifat-sifat materi dan makhluk lainnya. Dia sendiri yang berfriman dalam al-Quran: (ليس كمثله شىء وهو السميع البصير). Adapun lafal (بلا كيف), menunjukkan “tanzih” atau ungkapan mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk; dan juga sebagai “cegahan” bagi orang yang bertanya supaya tidak membahas dan menyelidiki secara mendalam tentang Dzat Allah.
Allah Maha Tahu makna hakiki “istiwa” yang sesungguhnya, karena bagaimanapun kita maknai “istiwa” dengan makna-makna yang layak bagi Allah, seperti: “berkuasa” versi kalangan Ahlussunnah Asy’ariyyah; atau “tinggi dan naik” versi Ahlussunnah Taymiyyah; tetap saja belum tentu sesuai dengan kehendak-Nya. Tetap semuanya adalah takwil. Sebab, definisi takwil itu sendiri adalah memindahkan makna hakiki kepada makna majazi dengan syarat harus ada “qarinah” (praduga), dan “qarinah” dalam hal ini adalah “tasybih” yakni penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Aplikasi pentakwilan: “Istawa”, makna hakikinya menurut bahasa adalah “jalasa” atau “istaqarra”, yakni: duduk; bersemayam; atau menetap. Namun ketika ia dinisbatkan kepada Dzat Ilahiyyah, makna-makna tersebut tidak sesuai dengan kesuciannya dari sifat-sifat keharusan makhluk, karena Dia tak menyerupai dan tidak diserupai makhluk manapun. Sehingga, “qarinah” atau praduga di sini adalah ketika istiwa dimaknai dengan makna hakiki [atau makna yang raajih (kuat)] menurut bahasa, ini akan menyebabkan penyerupaan Allah dengan makhluk. Maka, dicarilah dari makna majazi [atau makna yang marjuuh (lemah)] untuk “istawa” makna layak dengan keagungan-Nya.
Ahlussunnah Asy’ariyyah memilih makna “Istaulaa” atau “Qahara” (menguasai) didukung dengan dalil dari al-Quran: (وهوالقاهرفوق عباده). Sedangkan Ahlussunnah Taymiyyah memilih makna “Irtafa’a” (naik) atau “Alaa” (tinggi) atau bahkan “istaqarra” (menetap). Makna “Irtafa’a” disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari; disebutkan pula al-Baghawi dalam kitab tafsirnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas dan banyak ahli tafsir mentakwil “istawa” dalam firman Allah (الرحمن على العرش استوى) dengan makna “irtafa’a” (naik). Al-Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutkan banyak perkataan tentang makna “istawa” pada ayat tersebut, dari Ibnu Baththal, hingga sampai pada kata-kata: “..dan adapun penafsiran “istawa” dengan makna “Alaa” (tinggi), maka ialah yang sahih. Ia adalah madzhab yang benar dan pendapat Ahlussunnah.” (Fath al-Bari jilid 13 halaman 315).
Tapi dalam kitab yang sama, al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852H) sebelumnya berkata dalam jilid 6 halaman 136: “Keberadaan arah atas dan bawah tidak mengharuskan adanya sebuah kemustahilan bagi Allah untuk tidak disifati Maha Tinggi. Karena sifat-Nya Yang Maha Tinggi adalah dari segi maknawi, dan mustahil sifat itu dari segi inderawi. Maka itu, di antara sifat-Nya ada “Al-’Aalii”; “Al-’Aliyy”; dan “Al-Muta’aalii”. Tapi lawan dari sifat itu tidak ada, meskipun ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.”
Namun adakah pentakwilan semacam itu masih juga dikatakan “mengingkari sifat “istiwa” Allah sepertimana yang mereka tuduhkan kepada para pentakwil sifat Allah sebagai Ahli “ta’thiil” (pengingkar sifat Allah) atau Ahli “tahrif” (pengubah firman Allah), sementara mereka juga mereka juga mentakwil meski dengan merk yang berbeda? Adilkah hal semacam ini?
Bagaimanapun juga, bukan masalah “takwil itu yang benar dan takwil ini yang batil”, tapi kita di sini sudah masuk dalam kawasan “DANGER”. Kita sedang berbicara tentang “sifat-sifat Allah” yang sebetulnya tidak ada celah untuk ijtihad sedikitpun.
Maka, jika diambil jalan tengah, maka jalan tengahnya adalah mengimani sifat “istawa” dengan makna yang Allah kehendaki; menyerahkan makna hakiki “istawa” kepada-Nya Yang Punya Sifat, serta meyakini bahwa Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya sedikitpun. Dan, ini pun tidak bisa dikatakan sebagai mazhab “pembodohan” sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (semoga Allah memaafkan kita dan beliau) dalam kitabnya. Karena sebetulnya sikap ini dilandasi oleh adab dan rasa “takut” kepada Sang Khaliq, karena sepatutnya kita merasa kuatir dan wara’ manakala kita berbicara sesuatu tentang sifat-sifat Allah yang tidak Allah izinkan, yang tidak Allah kehendaki dan ridhai. Bukankah ini salah satu akhlak para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Allah?
Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah rahimahumallah berkata: Para ahli Fiqih semuanya dari timur ke barat sepakat dalam mengimani sifat-sifat (Allah) tanpa ditafsirkan juga tanpa diserupakan (dengan makhluk),” dan dia berkata: “..dan apa-apa yang Allah sifatkan kepada diri-Nya, pembacaannya adalah penafsirannya.” (Disebutkan oleh Al-Lalika`I dalam kitabnya Syarh As-Sunnah)
Imam al-Baihaqi menyebutkan riwayat dengan sanadnya kepada Ishaq bin Musa al-Anshari, dia berkata: “Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata: “Apa-apa yang Allah Tabaraka wa Ta’ala sifatkan kepada diri-Nya di dalam kitab-Nya, pembacaannya adalah penafsirannya, tak seorang pu boleh menafsirkannya dengan bahasa Arab ataupun dengan bahasa Parsi.” Ketika Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang hadits “ru`yah” (melihat Allah di Hari Kiamat); hadits “Nuzul” dan sebagainya, dia berkata: (نؤمن بها ونصدق بها ولا كيف ولا معنى) “Kami mengimaninya dan tanpa (bertanya) “bagaimana”, juga tanpa (mencari-cari) maknanya.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 6 halaman 90 menyebutkan riwayat dari Rabi’ah bin Abdurrahman, guru (syaikh) imam Malik: Ahmad bin Abdullah al-Ajli berkata dalam kitab Tarikh-nya: Ayahku mengabarkan kepadaku, dia berkata: Rabi’ah berkata: “..dan dia (Imam Malik) ditanya “bagaimana Dia istiwa?” Lalu, dia menjawab: (الكيف غير معقول وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق) “Bagaimana (istawa) adalah tidak masuk akal (mustahil); Rasul hanya menyampaikan, dan kita harus membenarkan.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Baarii, menyebutkan atsar tersebut melalui riwayat al-Lalika`I dari Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiyallahu ‘Anha. Maka, dia (Ibnu Hajar) berkata: Abu al-Qasim al-Lalika`I dalam kitab As-Sunnah mengeluarkan (atsar) dari (thariq) jalur al-Hasan al-Bishri, dari ibunya, dari Ummu Salamah, bahwa dia berkata:
الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول والإقرار به إيمان والجحود به كفر
“Istiwa sudah diketahui, bagaimana istiwa-Nya adalah tidak masuk akal (mustahil), mengakuinya adalah iman dan mengingkari-Nya adalah kufur.”
Jadi “Ghoiru Ma’quul” itu artinya mustahil atau tidak masuk akal. Karena “al-Kaif” bukan sifat Allah, melainkan sifat makhluk. (Orang Arab Mesir sendiri kadang ketika bicara suka bilang: “Musy Ma`uuul…Musy Ma`uuul!!” (Maksudnya: kaga masuk akal!! Huruf Qaf di Mesir dirubah pelafalannya menjadi huruf Hamzah.
Banyak riwayat “atsar” tentang istiwa ini seperti dari Imam Malik tersebut, namun lafal (الاستواء معلوم والكيف مجهول..) “Istiwa itu diketahui dan “bagaimana istiwa” tidak diketahui,” sebetulnya tidaklah ada dasarnya. Namun ini yang justeru beredar di kalangan kaum salafiyyah Taimiyyah. (Silakan pembaca yang budiman boleh telaah sendiri mengenai periwayatan atsar ini!) Karena, lafal (والكيف مجهول) mengandung makna bahwa Allah mempunyai sifat “Al-Kaif” namun kita tidak mengetahuinya, sementara sifat ini tidaklah tsabit dalam al-Quran maupun Sunnah Sahihah.
——
Kemudian, Lafal (بلا كيف) bukanlah artinya menyerahkan sifat “KAIF” (bagaimana istiwa-Nya) kepada-Nya, tanpa menyerahkan makna hakiki “istiwa” kepada Yang Punya Sifat. Sebab, ungkapan seperti ini bertolak belakang. Bagaimana menyerahkan perihal bagaimana-nya sesuatu padahal sudah diketahui makna hakikinya?!
Sifat-sifat Allah sudah jelas dan tsabit dalam al-Quran dan Sunnah Shahihah, tapi tidak ada sifat Allah yang bernama “AL-KAIF”. Bahkan, Imam Malik bin Anas rahimahullah menafikannya.
قال عبد الملك بن وهب كنا عند مالك بن أنس رحمه الله تعالى فدخل عليه رجل فقال يا ابا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استواؤه قال فأطرق مالك وأخذته الرحضاء ثم رفع رأسه فقال الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وأنت رجل سوء صاحب بدعة أخرجوه
Abdul Malik bin Wahb berkata: “Kami berada di (majelis) Malik bin Anas rahimahullah ta’ala, lalu seorang laki-laki datang kepadanya dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, (الرحمن على العرش استوى)bagaimana Dia beristiwa?” Dia (Abdul Malik bin Wahb) berkata: Lalu (imam) Malik menundukkan kepalanya hingga keringatnya bercucuran, kemudian beliau angkat kepalanya, lalu berkata: الرحمن على العرش استوى sebagaimana yang Dia sifatkan diri-Nya, tidak boleh ditanya: “Bagaimana?” dan “Bagaimana” itu tidak ada pada-Nya. Kamu adalah seorang berperangai buruk yang berbuat bid’ah. Keluarkan dia!”
Kata “istawa” dalam surat al-A’raf: 54: (استوى على العرش) yang ditafsirkan dengan (استقرّ على العرش) “bertempat/menetap di atas Arasy”, yang dinisbatkan riwayatnya kepada Abdullah bin Abbas adalah penisbatan yang batil dan dusta. Sebab, itu diriwayatkan oleh Abu Shalih dan Muhammad bin Marwan al-Kalbiy. Mereka dikomentari oleh para ulama Jarh wa Ta’dil. Imam al-Baihaqi berkata dalam kitabnya “Al-Asma wa Ash-Shifat” halaman 413 – 415: ["Mereka semuanya "matruk" menurut para ulama ahli hadits, riwayat-riwayat mereka mereka tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali, karena banyaknya riwayat-riwayat yang mungkar dan tampaknya kedustaan dalam riwayat-riwayat mereka. Ali bin al-Madini berkata: Aku telah mendengar Yahya bin Sa'id al-Qaththan mengabarkan dari Sufyan, dia berkata: al-Kalbiy berkata: Abu Shalih berkata kepadaku: "Semua apa yang aku kabarkan kepadamu adalah dusta." Diriwayatkan dari Sufyan, dari al-Kalbiy, dia berkata: Abu Shalih berkata kepadaku: "Lihatlah segala sesuatu yang kamu riwayatkan dariku, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'Anhuma, jangan kamu riwayatkan!"
Yahya bin Ma'in berkata: "Al-Kalbiy Laisa bi Syai`" (al-Kalbiy bukanlah siapa-siapa); dan Imam al-Bukhari berkata: "Muhammad bin Marwan al-Kalbiy al-Kufiy kawan al-Kalbiy, ditinggalkan oleh mereka (ulama ahli hadits tentunya---penulis), dan haditsnya tidak boleh ditulis sama sekali.
Aku (maksudnya: Imam al-Baihaqi) berkata: "Bagaimana mungkin perkataan-perkataan semacam ini bisa sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'Anhuma, kemudian tidak diriwayatkan dan tidak diketahui oleh salah seorang pun di kalangan sahabatnya yang terpercaya, padahal mereka amat perlu mengetahuinya. ] —(“Al-Asma wa Ash-Shifat” halaman 413 – 415, disadur secara ringkas)
“Matruk” yang dimaksud di atas adalah apa yang diriwayatkannya ditinggalkan karena tidak bisa dijadikan hujjah; ia adalah martabat Tajrih yang urutan ke-empat sebelum urutan-urutan paling bawahnya lagi, seperti: “Muttaham bi al-Kadzib” (terdakwa pendusta) kemudian “Fulan Wadhdha’”; Fulan Dajjal; Fulan Kadzdzab.” (Si Fulan Pemalsu hadits; Si Pendusta; Si Fulan Pembohong:
Lafal-lafal (إن الله مستقرّ فوق العرش) ; atau ( فوق العرش); atau (إنه خارج العالم) ; kemudian lafal tambahan (بذاته) yang ditambahkan pada: (إن الله تعالى استوى بذاته فوق العرش) sebagai ganti dari nas yang tsabit dalam al-Quran (استوى على العرش) adalah hasil istinbath dan ijtihad, padahal tidak ada ranah ijtihad dalam masalah akidah yang amat sakral dan fundamental semacam ini. Nas dan lafal tambahan semacam itu tidak ada sama sekali di dalam al-Quran maupun Sunnah Sahihah yang disepakati ulama ahli hadits. Yang ada adalah lafal (استوى) dan lafal “istawa” tidak khusus pada Arasy tapi ada di ayat lain juga seperti pada surat al-Baqarah:29: (ثمّ استوى إلى السماء). Maka tidak selayaknya dibenarkan mensifati Allah kecuali dengan apa-apa yang datang dengan nas dan teks sumber agama yang sahih lagi tsabit, bukan dengan hasil ijtihad atau istinbath.
Adapun lafal (بائن من خلقه)dalam kalimat (وإن الله بائن من خلقه) juga tidak ada di dalam al-Quran ataupun Sunnah. Ada di antara ulama salaf salih yang mengucapkan ini tapi itu maksudnya Allah tidak bercampur lebur dengan makhluk-Nya, sebagai bantahan kepada al-Jahm dan pengikutnya (al-Jahmiyyah), bukan artinya “menjauh dengan jarak” Maha Suci Allah. Hal ini ditegaskan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-Asma` wa Ash-Shifat halaman: 410.
Namun, lafal ( فوق العرش) tidak ada di dalam al-Quran tapi maknanya ada di dalam Sunnah, hanya saja pada sanadnya terdapat masalah, berikut ini haditsnya:
حدثنا محمد بن يحيى . حدثنا محمد بن الصباح . حدثنا الوليد بن أبي ثور الهمداني عن سماك عن عبد الله بن عميرة عن الأحنف بن قيس عن العباس بن عبد المطلب قال: – كنت بالبطحاء في عصابة . وفيهم رسول الله صلى الله عليه و سلم . فمرت به سحابة . فنظر إليها . فقال ( ما تسمون هذه ؟ ) قالوا السحاب . قال ( المزن ) . قالوا والمزن . قال ( والعنان ) قال أبو بكر قالوا والعنان . قال ( كم ترون بينكم وبين السماء ؟ ) قالوا لاندري . قال ( فإن بينكم وبينها إما واحدا أو اثنين أو ثلاثا وسبعين ستة . والسماء فوقها كذلك ) حتى عد سبع سماوات . ( ثم فوق السماء السابعة بحر . بين أعلاه وأسفله كما بين سماء إلى سماء . ثم فوق ذلك ثمانية أو عال . بين أظلافهم وركبهن كما سماء إلى سماء . ثم على ظهورهم العرش . بين أعلاه وأسفله كما بين سماء إلى سماء . ثم الله فوق ذلك . تبارك وتعالى )
Hadits ini diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan Abu Dawud, dan lainnya. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya jilid 1 halaman 69, hadits no.193; dan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya jilid 4 halaman 231, hadits no. 4723, melalui (thariq) jalur Sammak dari Abdullah bin Umairah dari al-Ahnaf bin Qais dari al-Abbas. Seseorang bernama Abdullah bin ‘Umairah adalah seorang yang “majhul al-Haal” (keadaanya tidak diketahui) al-Ahnaf saja tidak tahu mengenainya apalagi al-’Abbas. Imam al-Bukhari, imam dan panutan para ahli hadits, berkomentar tentangnya perihalnya dalam kitabnya “at-Tarikh al-Kabir” jilid 5 halaman 159: (لايعلم سماع لابن عميرة من الأحنف) “Tidak diketahui bahwa Ibnu ‘Umairah telah mendengar (kabar ini) dari al-Ahnaf.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya pada jilid 1 halaman 206, dari (thariq) jalur Abdurrazzaq dari Yahya bin al-’Ala` dari Syu’aib bin Khalid dari Sammak bin Harb dari Abdullah bin ‘Umairah dari al-’Abbas paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun Yahya bin al-’Ala` yang terdapat dalam sanad riwayat Imam Ahmad dikomentari oleh Imam Ahmad sendiri, beliau berkata: “Kadzdzaab yadho’ al-Hadits” “(Dia seorang pendusta yang memalsukan hadits)”.
Imam ath-Thahawi dengan kitabnya “al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah”, diakui, baik di kalangan Ahlussunnah Salafiyyah Taimiyyah maupun Ahlussunnah Salafiyyah Asy’ariyyah, meskipun dengan gaya syarah-nya yang berbeda-beda terhadap matannya, bahkan ada sebagian matannya yang berbeda, entah akibat pemalsuan teks untuk mendukung akidah si pemalsu atau karena aspek lain. (Entahlah siapa oknumnya.. hehehe..). Imam Ath-Thahawi dalam naskah matan akidah Thahawiyyah yang disyarah oleh Syaikh Ibn Abi Al-’Izz al-Hanafi, berkata:
والعرش والكرسي حق كما بين في كتابه وهو مستغن عن العرش وما دونه محيط بكل شيء وفوقه
“Arasy dan Kursiy adalah benar (haqq), sebagaimana Dia terangkan dalam kitab-Nya, sedang Dia tidak memerlukan Arasy dan apa-apa yang ada di bawahnya; Dia menguasai segala sesuatu, dan Dia di atasnya.”
Pada naskah matan akidah Thahawiyyah yang lain, Imam Ath-Thahawi berkata:
والعرش والكرسي حق كما بين في كتابه وهو مستغن عن العرش وما دونه محيط بكل شيء و بما فوقه
“Arasy dan Kursiy adalah benar (haqq), sebagaimana Dia terangkan dalam kitab-Nya, sedang Dia tidak memerlukan Arasy dan apa-apa yang ada di bawahnya; Dia menguasai segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya.”
Begitulah ketetapan naskah lafal yang kedua, yakni: (محيط بكل شيء و بما فوقه) khususnya pada naskah Syaikh Al-’Allamah Al-Ghanimi Al-Hanafi, pensyarah akidah Thahawiyyah, wafat tahun 1298H.
Entah! (Mana sih yang benar hehe.. silakan pilih saja sendiri, karena manusia berhak memilih) Tapi, by the way atau betewe, kalau dihayati, apa gerangan yang terjadi dengan tangan-tangan tak bertanggung jawab yang menghilangkan lafal (و بما) guna menetapkan penisbatan (فوق) kembali kepada Allah untuk menyesuaikan pernyataan matan tersebut dengan akidahnya. Padahal, kalimat sebelumnya (siyaqul kalam) yang justeru amat lebih dekat sekali, sama sekali tidak mendukungnya. Kalimat di situ jelas dan nyata-nyata membahas tentang ke-tidak-perlu-an Allah terhadap apa-apa yang ada di bawah Arasy dan apa-apa yang ada di atas Arasy; dan sesungguhnya Dia Maha Menguasai segala sesuatu.
Syaikh Mula Ali al-Qari al-Hanafi tatkala mensyarah kitab al-Fiqh al-Akbar halaman 172, mengatakan: “Walhasil, sesungguhnya si pensyarah (yakni: Syaikh Ibnu Abi al-’Izz al-Hanafi) berkata tentang tingginya “tempat” (bagi Allah) dengan menafikan “tasybih” (penyerupaan-Nya dengan makhluk), dan itu diikuti oleh sekelompok dari ahli bid’ah.”
Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam kitabnya “Inba` al-Ghumar” jilid 2 halaman 97, menyebutkan bahwa di antara para ulama pengikut Ahmad bin Hanbal yang mengingkari Syaikh Ibnu Abi al-’Izz al-Hanafi (pensyarah akidah Thahawiyyah) adalah Zainuddin Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Taqiyyuddin Ibnu Muflih beserta saudaranya.
Ulama salafi yang lama sibuk di bidang hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah, dalam kitabnya “Mukhtashar Kitab al-’Uluw li al-Imam Adz-Dzahabi” ketika menyampaikan kata pengantarnya, –setelah berbicara panjang lebar—”..dan dari penjabaran ini telah jelaslah bahwa dua lafal ini (maksudnya بذاته dan بائن ) tidaklah dikenal di zaman Sahabat ridhwanullah ‘Alaihim, tidak juga (dikenal) di masa Tabi’in, maka penyebutan kedua lafal tersebut adalah hal baru.”
Beliau bilang: “..tidak juga dikenal di masa Tabi’in.”, akan tetapi ketika al-Jahm membuat bid’ah beserta pengikutnya dengan mengatakan bahwa “Allah ada di setiap tempat”, maka retorika penjelasannya menuntut para imam di saat itu untuk melafalkan (بائن) tanpa diingkari oleh seorangpun. Tapi, kata-kata (الله بائن عن خلقه) maksudnya Allah tidak bercampur lebur dengan makhluk-Nya, guna membantah al-Jahmiyyah, bukan maksudnya “menjauh dengan jarak”, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “al-Asma` wa Ash-Shifat” halaman: 410.
Imam Ibnu al-Jauzi (bukan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah) dalam kitab Daf’u Syubah at-Tasybih halaman 102, mengatakan: “Barangsiapa yang berkata (استوى بذاته) Dia beristiwa dengan dzat-Nya, maka dia telah mengubah-Nya menjadi bagian daripada sifat-sifat materi.”
Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi, murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, berkata dalam kitabnya “Siyar A’lam An-Nubala” jilid 19 halaman 607, tatkala beliau menerangkan tentang biografi Ibn Az-Zaghuni: “Telah kami sebutkan bahwa lafal (بذاته) tidak diperlukan. Lafal tersebut mengasut jiwa, jika ditinggalkan, itu lebih baik. Wallahu A’lam.” Dalam kitab yang sama di jilid 20 halaman 86 tatkala beliau menerangkan tentang biografi al-Hafizh Abu al-Qasim Isma’il bin Muhammad at-Taymi: “Aku katakan: Yang benar adalah bersikap diam dari menyebut (lafal) itu, karena tidak ada nas yang datang. Kalaupun jika kita anggap maknanya benar, tapi kita tidak boleh berbicara sesuatu yang tidak diizinkan Allah dengan sikap takut akan merasuknya sesuatu dari ke-bid’ah-an ke dalam hati. Ya Allah, jagalah iman kami.”
Asy-Syaikh al-Imam Badruddin bin Jama’ah berkata: “…maka barangsiapa yang membuat (sifat) “istiwa” bagi Allah menjadi dipahami seperti sifat-sifat makhluk (muhdats) dan berkata (استوى بذاته) “Dia beristiwa dengan Dzat-Nya” atau berkata: (استوى حقيقة) “Istawaa Haqiqatan” — “Dia beristiwa secara hakiki”.., maka dia telah berbuat “bid’ah” dengan tambahan semacam ini yang tidak tsabit dalam Sunnah tidak juga diriwayatkan dari seorang pun dari kalangan imam-imam yang dipanuti. (kitab “Iidhaah ad-Dalil” halaman 107)
Bahkan, mengenai sikap berpegang teguh pada hadits yang sahih bukan hadits yang dha’if dalam bab akidah, ulama yang terkenal sebagai seorang imam, hafizh, ahli hadits, ahli Fiqih, ahli Fatwa, ahli Ushul, dan Syaikhul Islam, ulama abad ke-7H, Utsman bin Shalahuddin Abdurrahman bin Utsman bin Musa Ibnu al-Kurdi Asy-Syahrazuri, yang populer dengan panggilan Ibn Ash-Shalah dalam kitabnya “Muqaddimah fi ‘Ulum al-Hadits”, beliau berkata: “Menurut para ulama ahli hadits dan lainnya, bertindak “tasaahul” (memudahkan) dalam sanad dan dalam meriwayatkan hadits selain hadits palsu yang merupakan bagian dari macam-macam hadits lemah meskipun tanpa peduli menerangkan perihal kelemahannya adalah boleh, terkecuali dalam (pembahasan) sifat-sifat Allah, hukum-hukum syariat seperti halal, haram, dan lain sebagainya. Bertindak “memudahkan” dalam bab-bab seperti nasihat-nasihat, kisah-kisah, Fadha`il A’mal, semua jenis Targhib wa Tarhib, dan semuanya yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum dan akidah adalah boleh. Di antara orang-orang yang kami riwayatkan dari mereka tentang perihal “memudahkan” dalam bab-bab tersebut adalah Abdurrahman bin Muhdi dan Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘Anhuma. (Muqaddimah Ibn Ash-Shalah, halaman 49)
Akan menjadi lebih baik lagi, kita memberikan nasihat-nasihat, menceritakan kisah-kisah, mengamalkan Fadha`il A’mal, dan semua jenis Targhib dan Tarhib, dengan berpegang pada nas-nas agama yang sahih dan betul-betul tsabit, lebih-lebih dalam bab akidah dan hukum-hukum syariat.
Wallahu Ta’ala A’laa wa A’lam.