Dalam kitabnya Majmu’ Fatawa jilid 4 halaman
373, berkata:
“…dan
apabila ini telah jelas, maka para ulama yang diridhai Allah beserta wali wali
Allah yang makbul di sisi-Nya mengabarkan: Sesungguhnya Muhammad Rasul Allah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam didudukkan oleh Tuhannya di atas Arasy
bersama-Nya.” Ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Fudhail dari Laits dari
Mujahid tatkala menafsirkan: (عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
) (“Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”) Tafsir
ayat tersebut disebutkan juga dari jalur-jalur (thuruq) hadits yg marfu’ dan
yang tidak marfu’. Ibnu Jarir (ath-Thabari) berkata: “Ini tidak menyalahi
hadits-hadits yang berisikan tentang perihal bahwa “tempat yang terpuji” (yang
dimaksud) adalah syafa’at sesuai kesepakatan para imam dari seluruhnya yang
memeluk mengaku beragama Islam. Dia (Ibn Jarir) tidak mengatakan bahwa
pendudukkan-Nya (terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) di atas Arasy adalah
mungkar, tetapi ini diingkari oleh sebagian golongan Jahmiyyah.”
Di sini,
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (semoga Allah memaafkan kita dan
beliau) telah berbuat kesalahan tentang perihal Ibnu Jarir ath-Thabari dalam
kitab tafsirnya. Karena Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari saat itu sedang berhikayat
dan menjabarkan riwayat perkataan-perkataan ulama yang berkaitan dengan
penafsiran ayat tersebut, kemudian beliau memilih bahwa perkataan yang sahih
tentang al-Maqam al-Mahmud adalah bahwa ia adalah syafaat. Silakan pembaca yang
budiman, rujuk sendiri di Tafsir Ath-Thabari selengkapnya, karena yang
dituliskan di sini hanya benang merahnya saja. Beliau berkata dalam jilid 15
halaman 98:
وأولى
القولين في ذلك بالصواب ما صحّ به الخبر عن رسول الله. وذلك ما حدثنا به أبو كريب،
قال: ثنا وكيع، عن داود بن يزيد، عن أبيه، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم ( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) سئل عنها،
قال: “هِىَ الشَّفاعَةُ”.
“..dan
yang paling benar di antara dua perkataan tentang (penafsiran ayat) itu adalah
hadits yang sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hadits
tersebut adalah yang dikabarkan Abu Kuraib, dia berkata: Waki’ mengabarkan kami
dari Dawud bin Yazid, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامًا مَحْمُودًا ) “Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang
terpuji.” Beliau ditanya tentangnya. Jawab beliau: “Itu adalah syafa’at.”
Setelah
itu, Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah juga mencantumkan hadits-hadits lain
yang berkaitan. Di antaranya adalah:
حدثنا عليّ
بن حرب، قال: ثنا مَكّيّ بن إبراهيم، قال: ثنا داود بن يزيد الأوْدِيّ، عن أبيه،
عن أبي هريرة ، عن النبيّ صلى الله عليه وسلم في قوله( عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامًا مَحْمُودًا ) قال: “هو المقام الذي أشفع فيه لأمتي”.
Ali bin
Harb mengabarkan kami, dia berkata: Makkiy bin Ibrahim mengabarkan kami, dia
berkata: Dawud bin Yazid al-Awdiy mengabarkan kami dari ayahnya, dari Abu
Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentang firman-Nya:
(عَسَى
أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) “Mudah-mudahan Tuhan-mu
mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” Beliau bersabda: “Ia adalah tempat di
mana aku berikan syafaat untuk umatku.”
Kemudian
beliau menerangkan bahwa perkataan mengenai Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
didudukkan di atas Arasy-Nya tidak tertolak kebenarannya, baik dari sisi kabar
ataupun sisi akal. Dari sisi kabar, memang tidak ada berita dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak dari sahabatnya dan tidak juga dari
pengikut mereka, yang memustahilkan hal itu. Kemudian, secara logis beliau
boleh duduk di atas Arasy.
Penisbatan
“duduk” di atas Arasy kepada beliau, tidaklah ada masalah. Yang bermasalah dan
tidak boleh bahkan terlarang adalah tatkala “duduk” itu dinisbatkan kepada
Allah. Penafsiran “istawa” dengan makna “Jalasa” yang berarti “duduk” atau
bahasa sopannya “semayam” adalah tafsiran batil menurut syariat dan akal sehat,
juga tidak layak bagi kesucian Allah yang tidak diserupai dan tidak menyerupai
makhluk. Di sisi lain, memang tidak ada riwayat yang menafsirkan demikian,
kalaupun ada, tentu tafsiran tersebut popular di kalangan ulama.
Imam Ibnu
Jarir ath-Thabari berkata:
فإن ما
قاله مجاهد من أن الله يُقعد محمدا صلى الله عليه وسلم على عرشه، قول غير مدفوع
صحته، لا من جهة خبر ولا نظر
“Maka
sebetulnya apa yang dikatakan oleh Mujahid mengenai Allah mendudukkan Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas Arasy-Nya adalah perkataan yang
kebenarannya tidak ditolak dari sisi kabar ataupun dari sisi akal.” Ibnu Jarir
ath-Thabari tidak mengatakan tentang duduknya Allah juga di atas Arasy, tapi
beliau bilang bahwa secara logis, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam boleh
duduk di atas Arasy.
Belum
pernah ditemukan bahwa di sana ada riwayat dari salaf salih yang
terang-terangan mengatakan bahwa makna dari “istawa” adalah “al-Juluus”, yang
berarti duduk atau bahasa sopannya “semayam”. Maka barangsiapa berani
mengartikan “istawa” dengan kata “semayam” maka ia harus mendatangkan dalil yang
sahih lagi akurat.
Ulama
salafi Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengingkari dan membantah akidah
dalam riwayat Mujahid ini, dalam kitabnya “Mukhtashar al-Uluw” pada kata
pengantarnya halaman 20, beliau berkata: “Aku katakan: Aku sudah tahu bahwa (riwayat)
itu tidaklah tsabit dari Mujahid, akan tetapi ada riwayat lain yang sahih
darinya, yang menyalahi riwayat itu sebagaimana yang sudah disebutkan..” “Dan
tindakan menjadikannya satu perkataan yang dikatakan oleh Ibnu Jarir itu
terdapat permasalahan.”
Kemudian
di akhir halaman tersebut beliau berkata: “Singkat kata, sesungguhnya perkataan
Mujahid ini – kalaupun itu benar darinya – tidaklah boleh dijadikan sebagai
“AGAMA” dan “AKIDAH” selama riwayat tersebut tidak mempunyai “syahid” dari
Kitab dan Sunnah. Andai saja si pengarang kitab (Imam Adz-Dzahabi) ketika
menyebutkan riwayat itu, dia tegas menolaknya, (tegas) mengenai
ketidak-layakkannya untuk dijadikan hujjah, dan tidak ragu-ragu.”
Imam
Adz-Dzahabi, murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah sendiri, berkata dalam kitabnya
“Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal” jilid 3 halaman 439: “Di antara yang paling
mungkar dari apa yang datang dari Mujahid adalah perkataannya ketika
menafsirkan (عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا ) dia (Mujahid)
berkata: “Dia dudukkan beliau di atas Arasy-Nya.”
(استوى بلا
كيف) “Dia beristiwa tanpa ditanya bagaimana istiwa-Nya”, adalah perkataan yang
baik. Karena, “Istawa” dalam bahasa Arab punya kemungkinan banyak makna, ketika
dinisbatkan kepada Allah, tentu orang yang masih menggunakan akalnya akan
memilih makna yang pantas bagi Allah, yang jauh dari sifat-sifat materi dan
makhluk lainnya. Dia sendiri yang berfriman dalam al-Quran: (ليس كمثله شىء وهو
السميع البصير). Adapun lafal (بلا كيف), menunjukkan “tanzih” atau ungkapan
mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk; dan juga sebagai “cegahan” bagi
orang yang bertanya supaya tidak membahas dan menyelidiki secara mendalam
tentang Dzat Allah.
Allah Maha
Tahu makna hakiki “istiwa” yang sesungguhnya, karena bagaimanapun kita maknai
“istiwa” dengan makna-makna yang layak bagi Allah, seperti: “berkuasa” versi
kalangan Ahlussunnah Asy’ariyyah; atau “tinggi dan naik” versi Ahlussunnah
Taymiyyah; tetap saja belum tentu sesuai dengan kehendak-Nya. Tetap semuanya
adalah takwil. Sebab, definisi takwil itu sendiri adalah memindahkan makna
hakiki kepada makna majazi dengan syarat harus ada “qarinah” (praduga), dan
“qarinah” dalam hal ini adalah “tasybih” yakni penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya.
Aplikasi
pentakwilan: “Istawa”, makna hakikinya menurut bahasa adalah “jalasa” atau
“istaqarra”, yakni: duduk; bersemayam; atau menetap. Namun ketika ia
dinisbatkan kepada Dzat Ilahiyyah, makna-makna tersebut tidak sesuai dengan
kesuciannya dari sifat-sifat keharusan makhluk, karena Dia tak menyerupai dan
tidak diserupai makhluk manapun. Sehingga, “qarinah” atau praduga di sini
adalah ketika istiwa dimaknai dengan makna hakiki [atau makna yang raajih
(kuat)] menurut bahasa, ini akan menyebabkan penyerupaan Allah dengan makhluk.
Maka, dicarilah dari makna majazi [atau makna yang marjuuh (lemah)] untuk
“istawa” makna layak dengan keagungan-Nya.
Ahlussunnah
Asy’ariyyah memilih makna “Istaulaa” atau “Qahara” (menguasai) didukung dengan
dalil dari al-Quran: (وهوالقاهرفوق عباده). Sedangkan Ahlussunnah Taymiyyah
memilih makna “Irtafa’a” (naik) atau “Alaa” (tinggi) atau bahkan “istaqarra”
(menetap). Makna “Irtafa’a” disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani
dalam kitabnya Fath al-Bari; disebutkan pula al-Baghawi dalam kitab tafsirnya,
yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas dan banyak ahli tafsir mentakwil
“istawa” dalam firman Allah (الرحمن على العرش استوى) dengan makna “irtafa’a”
(naik). Al-Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutkan banyak perkataan tentang makna
“istawa” pada ayat tersebut, dari Ibnu Baththal, hingga sampai pada kata-kata:
“..dan adapun penafsiran “istawa” dengan makna “Alaa” (tinggi), maka ialah yang
sahih. Ia adalah madzhab yang benar dan pendapat Ahlussunnah.” (Fath al-Bari
jilid 13 halaman 315).
Tapi dalam
kitab yang sama, al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 852H) sebelumnya berkata dalam
jilid 6 halaman 136: “Keberadaan arah atas dan bawah tidak mengharuskan adanya
sebuah kemustahilan bagi Allah untuk tidak disifati Maha Tinggi. Karena
sifat-Nya Yang Maha Tinggi adalah dari segi maknawi, dan mustahil sifat itu
dari segi inderawi. Maka itu, di antara sifat-Nya ada “Al-’Aalii”; “Al-’Aliyy”;
dan “Al-Muta’aalii”. Tapi lawan dari sifat itu tidak ada, meskipun ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu.”
Namun
adakah pentakwilan semacam itu masih juga dikatakan “mengingkari sifat “istiwa”
Allah sepertimana yang mereka tuduhkan kepada para pentakwil sifat Allah
sebagai Ahli “ta’thiil” (pengingkar sifat Allah) atau Ahli “tahrif” (pengubah
firman Allah), sementara mereka juga mereka juga mentakwil meski dengan merk
yang berbeda? Adilkah hal semacam ini?
Bagaimanapun
juga, bukan masalah “takwil itu yang benar dan takwil ini yang batil”, tapi
kita di sini sudah masuk dalam kawasan “DANGER”. Kita sedang berbicara tentang
“sifat-sifat Allah” yang sebetulnya tidak ada celah untuk ijtihad sedikitpun.
Maka, jika
diambil jalan tengah, maka jalan tengahnya adalah mengimani sifat “istawa”
dengan makna yang Allah kehendaki; menyerahkan makna hakiki “istawa” kepada-Nya
Yang Punya Sifat, serta meyakini bahwa Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya
sedikitpun. Dan, ini pun tidak bisa dikatakan sebagai mazhab “pembodohan”
sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (semoga
Allah memaafkan kita dan beliau) dalam kitabnya. Karena sebetulnya sikap ini
dilandasi oleh adab dan rasa “takut” kepada Sang Khaliq, karena sepatutnya kita
merasa kuatir dan wara’ manakala kita berbicara sesuatu tentang sifat-sifat
Allah yang tidak Allah izinkan, yang tidak Allah kehendaki dan ridhai. Bukankah
ini salah satu akhlak para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada
Allah?
Muhammad
bin al-Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah rahimahumallah berkata: Para
ahli Fiqih semuanya dari timur ke barat sepakat dalam mengimani sifat-sifat
(Allah) tanpa ditafsirkan juga tanpa diserupakan (dengan makhluk),” dan dia
berkata: “..dan apa-apa yang Allah sifatkan kepada diri-Nya, pembacaannya
adalah penafsirannya.” (Disebutkan oleh Al-Lalika`I dalam kitabnya Syarh
As-Sunnah)
Imam
al-Baihaqi menyebutkan riwayat dengan sanadnya kepada Ishaq bin Musa
al-Anshari, dia berkata: “Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata: “Apa-apa
yang Allah Tabaraka wa Ta’ala sifatkan kepada diri-Nya di dalam kitab-Nya,
pembacaannya adalah penafsirannya, tak seorang pu boleh menafsirkannya dengan
bahasa Arab ataupun dengan bahasa Parsi.” Ketika Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah ditanya tentang hadits “ru`yah” (melihat Allah di Hari Kiamat);
hadits “Nuzul” dan sebagainya, dia berkata: (نؤمن بها ونصدق بها ولا كيف ولا
معنى) “Kami mengimaninya dan tanpa (bertanya) “bagaimana”, juga tanpa
(mencari-cari) maknanya.”
Al-Hafizh
adz-Dzahabi dalam kitabnya “Siyar A’lam an-Nubala” jilid 6 halaman 90
menyebutkan riwayat dari Rabi’ah bin Abdurrahman, guru (syaikh) imam Malik:
Ahmad bin Abdullah al-Ajli berkata dalam kitab Tarikh-nya: Ayahku mengabarkan
kepadaku, dia berkata: Rabi’ah berkata: “..dan dia (Imam Malik) ditanya
“bagaimana Dia istiwa?” Lalu, dia menjawab: (الكيف غير معقول وعلى الرسول البلاغ
وعلينا التصديق) “Bagaimana (istawa) adalah tidak masuk akal (mustahil); Rasul
hanya menyampaikan, dan kita harus membenarkan.”
Al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Baarii, menyebutkan atsar
tersebut melalui riwayat al-Lalika`I dari Ummul Mukminin Ummu Salamah
radhiyallahu ‘Anha. Maka, dia (Ibnu Hajar) berkata: Abu al-Qasim al-Lalika`I
dalam kitab As-Sunnah mengeluarkan (atsar) dari (thariq) jalur al-Hasan
al-Bishri, dari ibunya, dari Ummu Salamah, bahwa dia berkata:
الاستواء
غير مجهول والكيف غير معقول والإقرار به إيمان والجحود به كفر
“Istiwa
sudah diketahui, bagaimana istiwa-Nya adalah tidak masuk akal (mustahil),
mengakuinya adalah iman dan mengingkari-Nya adalah kufur.”
Jadi
“Ghoiru Ma’quul” itu artinya mustahil atau tidak masuk akal. Karena “al-Kaif”
bukan sifat Allah, melainkan sifat makhluk. (Orang Arab Mesir sendiri kadang
ketika bicara suka bilang: “Musy Ma`uuul…Musy Ma`uuul!!” (Maksudnya: kaga masuk
akal!! Huruf Qaf di Mesir dirubah pelafalannya menjadi huruf Hamzah.
Banyak
riwayat “atsar” tentang istiwa ini seperti dari Imam Malik tersebut, namun
lafal (الاستواء معلوم والكيف مجهول..) “Istiwa itu diketahui dan “bagaimana
istiwa” tidak diketahui,” sebetulnya tidaklah ada dasarnya. Namun ini yang
justeru beredar di kalangan kaum salafiyyah Taimiyyah. (Silakan pembaca yang
budiman boleh telaah sendiri mengenai periwayatan atsar ini!) Karena, lafal
(والكيف مجهول) mengandung makna bahwa Allah mempunyai sifat “Al-Kaif” namun
kita tidak mengetahuinya, sementara sifat ini tidaklah tsabit dalam al-Quran
maupun Sunnah Sahihah.
——
Kemudian,
Lafal (بلا كيف) bukanlah artinya menyerahkan sifat “KAIF” (bagaimana
istiwa-Nya) kepada-Nya, tanpa menyerahkan makna hakiki “istiwa” kepada Yang
Punya Sifat. Sebab, ungkapan seperti ini bertolak belakang. Bagaimana
menyerahkan perihal bagaimana-nya sesuatu padahal sudah diketahui makna
hakikinya?!
Sifat-sifat
Allah sudah jelas dan tsabit dalam al-Quran dan Sunnah Shahihah, tapi tidak ada
sifat Allah yang bernama “AL-KAIF”. Bahkan, Imam Malik bin Anas rahimahullah
menafikannya.
قال عبد
الملك بن وهب كنا عند مالك بن أنس رحمه الله تعالى فدخل عليه رجل فقال يا ابا عبد
الله الرحمن على العرش استوى كيف استواؤه قال فأطرق مالك وأخذته الرحضاء ثم رفع
رأسه فقال الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وأنت
رجل سوء صاحب بدعة أخرجوه
Abdul
Malik bin Wahb berkata: “Kami berada di (majelis) Malik bin Anas rahimahullah
ta’ala, lalu seorang laki-laki datang kepadanya dan berkata, “Wahai Abu
Abdillah, (الرحمن على العرش استوى)bagaimana Dia beristiwa?” Dia (Abdul Malik
bin Wahb) berkata: Lalu (imam) Malik menundukkan kepalanya hingga keringatnya
bercucuran, kemudian beliau angkat kepalanya, lalu berkata: الرحمن على العرش
استوى sebagaimana yang Dia sifatkan diri-Nya, tidak boleh ditanya: “Bagaimana?”
dan “Bagaimana” itu tidak ada pada-Nya. Kamu adalah seorang berperangai buruk
yang berbuat bid’ah. Keluarkan dia!”
Kata
“istawa” dalam surat al-A’raf: 54: (استوى على العرش) yang ditafsirkan dengan
(استقرّ على العرش) “bertempat/menetap di atas Arasy”, yang dinisbatkan
riwayatnya kepada Abdullah bin Abbas adalah penisbatan yang batil dan dusta.
Sebab, itu diriwayatkan oleh Abu Shalih dan Muhammad bin Marwan al-Kalbiy.
Mereka dikomentari oleh para ulama Jarh wa Ta’dil. Imam al-Baihaqi berkata
dalam kitabnya “Al-Asma wa Ash-Shifat” halaman 413 – 415: ["Mereka
semuanya "matruk" menurut para ulama ahli hadits, riwayat-riwayat
mereka mereka tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali, karena banyaknya
riwayat-riwayat yang mungkar dan tampaknya kedustaan dalam riwayat-riwayat
mereka. Ali bin al-Madini berkata: Aku telah mendengar Yahya bin Sa'id al-Qaththan
mengabarkan dari Sufyan, dia berkata: al-Kalbiy berkata: Abu Shalih berkata
kepadaku: "Semua apa yang aku kabarkan kepadamu adalah dusta."
Diriwayatkan dari Sufyan, dari al-Kalbiy, dia berkata: Abu Shalih berkata
kepadaku: "Lihatlah segala sesuatu yang kamu riwayatkan dariku, dari Ibnu
Abbas radhiyallahu 'Anhuma, jangan kamu riwayatkan!"
Yahya bin
Ma'in berkata: "Al-Kalbiy Laisa bi Syai`" (al-Kalbiy bukanlah
siapa-siapa); dan Imam al-Bukhari berkata: "Muhammad bin Marwan al-Kalbiy
al-Kufiy kawan al-Kalbiy, ditinggalkan oleh mereka (ulama ahli hadits
tentunya---penulis), dan haditsnya tidak boleh ditulis sama sekali.
Aku
(maksudnya: Imam al-Baihaqi) berkata: "Bagaimana mungkin
perkataan-perkataan semacam ini bisa sahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'Anhuma, kemudian tidak diriwayatkan dan tidak diketahui oleh salah seorang pun
di kalangan sahabatnya yang terpercaya, padahal mereka amat perlu
mengetahuinya. ] —(“Al-Asma wa Ash-Shifat” halaman 413 – 415, disadur secara
ringkas)
“Matruk”
yang dimaksud di atas adalah apa yang diriwayatkannya ditinggalkan karena tidak
bisa dijadikan hujjah; ia adalah martabat Tajrih yang urutan ke-empat sebelum
urutan-urutan paling bawahnya lagi, seperti: “Muttaham bi al-Kadzib” (terdakwa
pendusta) kemudian “Fulan Wadhdha’”; Fulan Dajjal; Fulan Kadzdzab.” (Si Fulan
Pemalsu hadits; Si Pendusta; Si Fulan Pembohong:
Lafal-lafal
(إن الله مستقرّ فوق العرش) ; atau ( فوق العرش); atau (إنه خارج العالم) ;
kemudian lafal tambahan (بذاته) yang ditambahkan pada: (إن الله تعالى استوى
بذاته فوق العرش) sebagai ganti dari nas yang tsabit dalam al-Quran (استوى على
العرش) adalah hasil istinbath dan ijtihad, padahal tidak ada ranah ijtihad
dalam masalah akidah yang amat sakral dan fundamental semacam ini. Nas dan
lafal tambahan semacam itu tidak ada sama sekali di dalam al-Quran maupun
Sunnah Sahihah yang disepakati ulama ahli hadits. Yang ada adalah lafal (استوى)
dan lafal “istawa” tidak khusus pada Arasy tapi ada di ayat lain juga seperti
pada surat al-Baqarah:29: (ثمّ استوى إلى السماء). Maka tidak selayaknya
dibenarkan mensifati Allah kecuali dengan apa-apa yang datang dengan nas dan
teks sumber agama yang sahih lagi tsabit, bukan dengan hasil ijtihad atau
istinbath.
Adapun
lafal (بائن من خلقه)dalam kalimat (وإن الله بائن من خلقه) juga tidak ada di dalam
al-Quran ataupun Sunnah. Ada di antara ulama salaf salih yang mengucapkan ini
tapi itu maksudnya Allah tidak bercampur lebur dengan makhluk-Nya, sebagai
bantahan kepada al-Jahm dan pengikutnya (al-Jahmiyyah), bukan artinya “menjauh
dengan jarak” Maha Suci Allah. Hal ini ditegaskan oleh Imam al-Baihaqi dalam
kitabnya al-Asma` wa Ash-Shifat halaman: 410.
Namun,
lafal ( فوق العرش) tidak ada di dalam al-Quran tapi maknanya ada di dalam
Sunnah, hanya saja pada sanadnya terdapat masalah, berikut ini haditsnya:
حدثنا محمد
بن يحيى . حدثنا محمد بن الصباح . حدثنا الوليد بن أبي ثور الهمداني عن سماك عن
عبد الله بن عميرة عن الأحنف بن قيس عن العباس بن عبد المطلب قال: – كنت بالبطحاء
في عصابة . وفيهم رسول الله صلى الله عليه و سلم . فمرت به سحابة . فنظر إليها .
فقال ( ما تسمون هذه ؟ ) قالوا السحاب . قال ( المزن ) . قالوا والمزن . قال (
والعنان ) قال أبو بكر قالوا والعنان . قال ( كم ترون بينكم وبين السماء ؟ ) قالوا
لاندري . قال ( فإن بينكم وبينها إما واحدا أو اثنين أو ثلاثا وسبعين ستة .
والسماء فوقها كذلك ) حتى عد سبع سماوات . ( ثم فوق السماء السابعة بحر . بين
أعلاه وأسفله كما بين سماء إلى سماء . ثم فوق ذلك ثمانية أو عال . بين أظلافهم
وركبهن كما سماء إلى سماء . ثم على ظهورهم العرش . بين أعلاه وأسفله كما بين سماء
إلى سماء . ثم الله فوق ذلك . تبارك وتعالى )
Hadits ini
diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan Abu Dawud, dan lainnya. Diriwayatkan oleh Imam
Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya jilid 1 halaman 69, hadits no.193; dan oleh
Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya jilid 4 halaman 231, hadits no. 4723, melalui
(thariq) jalur Sammak dari Abdullah bin Umairah dari al-Ahnaf bin Qais dari
al-Abbas. Seseorang bernama Abdullah bin ‘Umairah adalah seorang yang “majhul
al-Haal” (keadaanya tidak diketahui) al-Ahnaf saja tidak tahu mengenainya
apalagi al-’Abbas. Imam al-Bukhari, imam dan panutan para ahli hadits,
berkomentar tentangnya perihalnya dalam kitabnya “at-Tarikh al-Kabir” jilid 5
halaman 159: (لايعلم سماع لابن عميرة من الأحنف) “Tidak diketahui bahwa Ibnu
‘Umairah telah mendengar (kabar ini) dari al-Ahnaf.”
Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya pada jilid 1
halaman 206, dari (thariq) jalur Abdurrazzaq dari Yahya bin al-’Ala` dari
Syu’aib bin Khalid dari Sammak bin Harb dari Abdullah bin ‘Umairah dari
al-’Abbas paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun Yahya bin al-’Ala`
yang terdapat dalam sanad riwayat Imam Ahmad dikomentari oleh Imam Ahmad
sendiri, beliau berkata: “Kadzdzaab yadho’ al-Hadits” “(Dia seorang pendusta
yang memalsukan hadits)”.
Imam
ath-Thahawi dengan kitabnya “al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah”, diakui, baik di
kalangan Ahlussunnah Salafiyyah Taimiyyah maupun Ahlussunnah Salafiyyah
Asy’ariyyah, meskipun dengan gaya syarah-nya yang berbeda-beda terhadap
matannya, bahkan ada sebagian matannya yang berbeda, entah akibat pemalsuan
teks untuk mendukung akidah si pemalsu atau karena aspek lain. (Entahlah siapa
oknumnya.. hehehe..). Imam Ath-Thahawi dalam naskah matan akidah Thahawiyyah
yang disyarah oleh Syaikh Ibn Abi Al-’Izz al-Hanafi, berkata:
والعرش
والكرسي حق كما بين في كتابه وهو مستغن عن العرش وما دونه محيط بكل شيء وفوقه
“Arasy dan
Kursiy adalah benar (haqq), sebagaimana Dia terangkan dalam kitab-Nya, sedang
Dia tidak memerlukan Arasy dan apa-apa yang ada di bawahnya; Dia menguasai
segala sesuatu, dan Dia di atasnya.”
Pada
naskah matan akidah Thahawiyyah yang lain, Imam Ath-Thahawi berkata:
والعرش
والكرسي حق كما بين في كتابه وهو مستغن عن العرش وما دونه محيط بكل شيء و بما فوقه
“Arasy dan
Kursiy adalah benar (haqq), sebagaimana Dia terangkan dalam kitab-Nya, sedang
Dia tidak memerlukan Arasy dan apa-apa yang ada di bawahnya; Dia menguasai
segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya.”
Begitulah
ketetapan naskah lafal yang kedua, yakni: (محيط بكل شيء و بما فوقه) khususnya
pada naskah Syaikh Al-’Allamah Al-Ghanimi Al-Hanafi, pensyarah akidah
Thahawiyyah, wafat tahun 1298H.
Entah!
(Mana sih yang benar hehe.. silakan pilih saja sendiri, karena manusia berhak
memilih) Tapi, by the way atau betewe, kalau dihayati, apa gerangan yang
terjadi dengan tangan-tangan tak bertanggung jawab yang menghilangkan lafal (و
بما) guna menetapkan penisbatan (فوق) kembali kepada Allah untuk menyesuaikan
pernyataan matan tersebut dengan akidahnya. Padahal, kalimat sebelumnya
(siyaqul kalam) yang justeru amat lebih dekat sekali, sama sekali tidak
mendukungnya. Kalimat di situ jelas dan nyata-nyata membahas tentang
ke-tidak-perlu-an Allah terhadap apa-apa yang ada di bawah Arasy dan apa-apa
yang ada di atas Arasy; dan sesungguhnya Dia Maha Menguasai segala sesuatu.
Syaikh
Mula Ali al-Qari al-Hanafi tatkala mensyarah kitab al-Fiqh al-Akbar halaman
172, mengatakan: “Walhasil, sesungguhnya si pensyarah (yakni: Syaikh Ibnu Abi
al-’Izz al-Hanafi) berkata tentang tingginya “tempat” (bagi Allah) dengan
menafikan “tasybih” (penyerupaan-Nya dengan makhluk), dan itu diikuti oleh
sekelompok dari ahli bid’ah.”
Imam
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam kitabnya “Inba` al-Ghumar” jilid 2
halaman 97, menyebutkan bahwa di antara para ulama pengikut Ahmad bin Hanbal
yang mengingkari Syaikh Ibnu Abi al-’Izz al-Hanafi (pensyarah akidah
Thahawiyyah) adalah Zainuddin Ibnu Rajab al-Hanbali, dan Taqiyyuddin Ibnu
Muflih beserta saudaranya.
Ulama
salafi yang lama sibuk di bidang hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah, dalam kitabnya “Mukhtashar Kitab al-’Uluw li al-Imam Adz-Dzahabi”
ketika menyampaikan kata pengantarnya, –setelah berbicara panjang lebar—”..dan
dari penjabaran ini telah jelaslah bahwa dua lafal ini (maksudnya بذاته dan
بائن ) tidaklah dikenal di zaman Sahabat ridhwanullah ‘Alaihim, tidak juga
(dikenal) di masa Tabi’in, maka penyebutan kedua lafal tersebut adalah hal
baru.”
Beliau
bilang: “..tidak juga dikenal di masa Tabi’in.”, akan tetapi ketika al-Jahm
membuat bid’ah beserta pengikutnya dengan mengatakan bahwa “Allah ada di setiap
tempat”, maka retorika penjelasannya menuntut para imam di saat itu untuk
melafalkan (بائن) tanpa diingkari oleh seorangpun. Tapi, kata-kata (الله بائن
عن خلقه) maksudnya Allah tidak bercampur lebur dengan makhluk-Nya, guna
membantah al-Jahmiyyah, bukan maksudnya “menjauh dengan jarak”, sebagaimana ditegaskan
oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “al-Asma` wa Ash-Shifat” halaman: 410.
Imam Ibnu
al-Jauzi (bukan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah) dalam kitab Daf’u Syubah
at-Tasybih halaman 102, mengatakan: “Barangsiapa yang berkata (استوى بذاته) Dia
beristiwa dengan dzat-Nya, maka dia telah mengubah-Nya menjadi bagian daripada
sifat-sifat materi.”
Imam
al-Hafizh Adz-Dzahabi, murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, berkata dalam
kitabnya “Siyar A’lam An-Nubala” jilid 19 halaman 607, tatkala beliau
menerangkan tentang biografi Ibn Az-Zaghuni: “Telah kami sebutkan bahwa lafal
(بذاته) tidak diperlukan. Lafal tersebut mengasut jiwa, jika ditinggalkan, itu
lebih baik. Wallahu A’lam.” Dalam kitab yang sama di jilid 20 halaman 86
tatkala beliau menerangkan tentang biografi al-Hafizh Abu al-Qasim Isma’il bin
Muhammad at-Taymi: “Aku katakan: Yang benar adalah bersikap diam dari menyebut
(lafal) itu, karena tidak ada nas yang datang. Kalaupun jika kita anggap
maknanya benar, tapi kita tidak boleh berbicara sesuatu yang tidak diizinkan
Allah dengan sikap takut akan merasuknya sesuatu dari ke-bid’ah-an ke dalam
hati. Ya Allah, jagalah iman kami.”
Asy-Syaikh
al-Imam Badruddin bin Jama’ah berkata: “…maka barangsiapa yang membuat (sifat)
“istiwa” bagi Allah menjadi dipahami seperti sifat-sifat makhluk (muhdats) dan
berkata (استوى بذاته) “Dia beristiwa dengan Dzat-Nya” atau berkata: (استوى
حقيقة) “Istawaa Haqiqatan” — “Dia beristiwa secara hakiki”.., maka dia telah
berbuat “bid’ah” dengan tambahan semacam ini yang tidak tsabit dalam Sunnah
tidak juga diriwayatkan dari seorang pun dari kalangan imam-imam yang dipanuti.
(kitab “Iidhaah ad-Dalil” halaman 107)
Bahkan,
mengenai sikap berpegang teguh pada hadits yang sahih bukan hadits yang dha’if
dalam bab akidah, ulama yang terkenal sebagai seorang imam, hafizh, ahli
hadits, ahli Fiqih, ahli Fatwa, ahli Ushul, dan Syaikhul Islam, ulama abad
ke-7H, Utsman bin Shalahuddin Abdurrahman bin Utsman bin Musa Ibnu al-Kurdi
Asy-Syahrazuri, yang populer dengan panggilan Ibn Ash-Shalah dalam kitabnya “Muqaddimah
fi ‘Ulum al-Hadits”, beliau berkata: “Menurut para ulama ahli hadits dan
lainnya, bertindak “tasaahul” (memudahkan) dalam sanad dan dalam meriwayatkan
hadits selain hadits palsu yang merupakan bagian dari macam-macam hadits lemah
meskipun tanpa peduli menerangkan perihal kelemahannya adalah boleh, terkecuali
dalam (pembahasan) sifat-sifat Allah, hukum-hukum syariat seperti halal, haram,
dan lain sebagainya. Bertindak “memudahkan” dalam bab-bab seperti
nasihat-nasihat, kisah-kisah, Fadha`il A’mal, semua jenis Targhib wa Tarhib,
dan semuanya yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum dan akidah adalah boleh.
Di antara orang-orang yang kami riwayatkan dari mereka tentang perihal
“memudahkan” dalam bab-bab tersebut adalah Abdurrahman bin Muhdi dan Ahmad bin
Hanbal radhiyallahu ‘Anhuma. (Muqaddimah Ibn Ash-Shalah, halaman 49)
Akan
menjadi lebih baik lagi, kita memberikan nasihat-nasihat, menceritakan
kisah-kisah, mengamalkan Fadha`il A’mal, dan semua jenis Targhib dan Tarhib,
dengan berpegang pada nas-nas agama yang sahih dan betul-betul tsabit,
lebih-lebih dalam bab akidah dan hukum-hukum syariat.
Wallahu
Ta’ala A’laa wa A’lam.